ADAKAH TEMPAT PUISI DI KUBANGAN PASCA KEBENARAN?



Terpaan-terpaan tranformasi besar, revolusi, dan atau perubahan dahsyat senantiasa silih berganti di dunia dan kehidupan kita. Membuat wajah dunia dan kehidupan kita beralih rupa dengan cepat, mendasar, dan mencengangkan. Sesudah diterpa bertubi-tubi oleh pelbagai rupa revolusi industri,  globalisasi dan transnasionalisasi, teknologi komunikasi dan informasi atau revolusi digital, sekarang dunia dan kehidupan kita diempas tsunami informasi. Empasan tsunami informasi yang disokong teknologi komunikasi dan informasi, revolusi digital, dan globalisasi-transnasionalisasi menimbulkan luapan dahsyat informasi, silang-sengkarut informasi, bahkan turbulensi informasi, tak jarang tubrukan-tubrukan informasi. Ini diperparah oleh semangat memuja kecepatan, ketergesaan, keringkasan, kepraktisan, dan kelebatan yang membuahkan kedangkalan berpikir (kata Nicholas Carr), keogahan bermenung diri (refleksi dan kontemplasi, kata Negroponte), dan kesebentaran atau kesesaatan, dan kesebatangkaraan di dalam kebersamaan (alone together, kata Turkle). Tak ayal, dunia dan kehidupan kita mengalami keguyahan norma dan nilai, kerabunan pandangan jauh ke depan, dan bahkan kekacauan standard kebenaran. Pendek kata, dunia dan kehidupan kita kehilangan gravitasi dan kiblat nilai rasionalitas, moralitas, bahkan estetik.

Latar seperti itulah mungkin yang menjadikan kita terhembalang atau terpelanting ke dalam masa pasca-kebenaran (post-truth era, kata Keyes). Dalam masa pasca-kebenaran ini kita menyaksikan berbiaknya kebohongan, kepalsuan, isapan jempol, dan sejenisnya, mula-mula di dunia politik, lalu media,  dan kini nyaris dunia-kehidupan publik kita. Sekarang kita gegap-gempita seolah tengah merayakan masa pasca-kebenaran. Tak heran, pada tahun 2016, Oxford Dictionary menobatkan pasca-kebenaran sebagai terma tahun ini. Demikianlah, kini kita tengah menyaksikan pesta pora masa pasca-kebenaran di mana ketakjujuran, kebohongan, kepalsuan, muslihat, dan sejenisnya diyakini sebagai fakta-realitas alternatif berkat kecanggihan kemasan emotif, sensitif, dan menjanjikan. Sementara itu, fakta dan realitas sesungguhnya yang sejati dipinggirkan, bahkan diragukan dan ditampik.

Di tengah kubangan masa pasca-kebenaran tersebut, masihkah puisi berharga dan bermakna dalam dunia dan kehidupan manusia? Bukankah dunia dan kehidupan kita sedang penuh sesak dilanda banjir bandang fiksionalitas, imajinasi, dan fantasi yang digelontorkan masa pasca-kebenaran? Justru sekarang fiksi dan puisi menjadi berharga dan bermakna kembali bagi dunia dan kehidupan kita. Kenapa? Fiksi dan puisi masih beralaskan kejujuran, ketulusan, dan kejutan yang menyenangkan kita, sedang masa pasca-kebenaran malah menyodorkan kebohongan, kepalsuan dan tipuan. Fiksi dan puisi yang dipanggil susastra kini malah menjadi suaka kejujuran, ketulusan, dan kejutan yang konstruktif bagi kehidupan sastra. Maka tak eloklah bersastra pada saat geram dan marah-marah: tak cantiklah bersastra hanya pada saat berkobar api amarah: dan tak baiklah hanya menulis sastra untuk menumpahkan rasa kesal dan laku hujat. Dalam masa paaca-kebenaran sekarang, sastra perlu dipulangkan sebagai ruang ekspresi dan manifestasi homo ludens.


DJOKO SARYONO, GURU BESAR UNIVERSITAS NEGERI MALANG


(ilustrasi stedelijk museum/ yuk ke bagian bawah blog dan klik iklannya untuk setiap informasi berharga dan mencerahkan)

Comments