ABAD PUISI ESAI





Abad ini adalah abad pembalikan dan pembenturan segala hal yang dulu dengan sepenuh jiwa dijaga jaraknya yang dulu tabu dicampurkan. Abad ‘elgebete’ adalah abad tanpa batas yang tidak menuntut kesetiaan pada nilai melainkan kepada jumlah pengikut dan anggota ditambah penjelasan sekedarnya yang bertubi-tubi.

Individualisme pada abad ini mencapai puncaknya menjadi kesendirian yang sekaligus gerombolan. Abad ini abad saat dekadensi tidak mudah dilekatkan dalam setiap pengrusakan atau pembongkaran, karena pengrusakan dan pembongkaran kini telah mendapat makna baru sebagai pendobrak kebekuan anti pembusukan. Pengrusakan dan pembongkaran kemudian dimaknai sebagai hal mulia, perbaikan sesuatu yang sudah bobrok untuk dibangun kembali.

Puisi yang semula seni bahasa yang dikarang menjadi laksana kristal alit dengan jutaan pendar makna samar menggoda, saat ini digelapkan lalu kemudian selanjutnya diterus-terangkan. Esai yang semula lugas tanpa renda kini muncul dengan berbagai hiasan rupa. Ketelanjangan yang dengan susah payah ditutupi kini dengan beringas dilucuti.

Keributan yang terjadi saat ini di kalangan penyair, kalau boleh dikatakan demikian – yang diakibatkan munculnya karya puisi yang menamakan dirinya sebagai ‘puisi esai’, ini adalah sebuah peristiwa pembenturan yang berbenturan.

Hal seperti itu sesungguhnya bukan hal baru di sini karena hal tersebut dalam bentuk yang berbeda tetapi sama moral dasarnya, telah terjadi secara rutin di kota-kota besar terutama di Jakarta, yaitu; kesemrawutan lalu-lintas. Jalan raya yang cukup lebar dan telah dilengkapi dengan berbagai sarana pengaturan tidak berfungsi untuk digunakan dengan nyaman oleh pengendara mobil dan motor. Faktor jumlah kendaraan yang banyak sering menjadi kambing hitam atas kesemrawutan ini sekalipun semua tahu, bahwa pangkal kesemrawutan tersebut bukanlah akibat dari pada jumlah melainkan pada nilai kualitas.

Lalu lintas penciptaan karya seni saat ini seharusnya memanfaatkan populasi yang ada. Dengan cara melakukan berbagai pengaturan komunikasi, informasi dan diskusi. Otonomisasi setiap kepentingan dan keyakinan di era digital ini memerlukan kerja baru berupa forum kendali mulut. Keluhan masa lalu bahwa banyak kritik seni yang bagus ditulis tetapi sedikit sekali masyarakat yang mau membacanya, kini tengah terjadi sebaliknya.

Faktor ekonomi dan politik yang terus berlomba mencari posisi dalam seni, adalah peluang yang menantang. Politisasi kesenian yang banyak terjadi tentu sedikit yang mau menyadari untuk menggerakkan perlawanan ke arah dalam, karena memang politisasi adalah pembiusan sehingga ketidaksadaran adalah target utama. Politisasi kesenian harus dihadapi dengan ekonomisasi kesenian karena pada abad ini, ekonomi adalah titik lemah politik.

Lagi pula, sudah wajar jika abad ini di sini para seniman menyerukan, bahwa unsur misteri yang terjadi pada proses kesenian seharusnya hanya ada di dalam karya seninya, tidak perlu lagi ada merambahi sampai ke wilayah pengupahannya yang juga diliputi misteri. Ekonomi dalam kesenian bukan kewajiban akan tetapi hak. Bagi yang tidak membutuhkan ekonomi, tak perlu hal tersebut diperbincangkan terlalu jauh. Kita harus tetap menghargai para pertapa, dan para pertapa tentu tak pantas berkeluh-kesah
.
Abad ini abad serba-boleh, karenanya diperlukan plug-in pengatur desis di setiap individu dan gerombolan untuk menjaga agar frekwensi tinggi tidak overload. Setiap profesional harus terus kreatif bebas berkarya sesuai profesinya termasuk perlawanan dan eksplorasinya. Perbedaan itu peluang bukan jurang.

Jakarta, 20 Januari 2019

Embie C Noer, SUTRADARA SENIOR DAN PEMUSIK PENERIMA PIALA CITRA



(ilustrasi quellete/ yuk ke bagian bawah blog dan klik iklannya untuk informasi berharga dan mencerahkan)

Comments