SUGIH TANPA BANDHA





_Sugih tanpa banda_
_Digdaya tanpa aji_
_Trimah kanti pasrah_
_Sepi pamrih tebih ajrih_

_Langgeng tanpa susah_
_Tanpa seneng_
_Anteng mantep_
_Sugih jeneng_


Sungguh lirik lagu itu telah mengiris-iris hati ini sejak semalam tadi. Menginspirasi, tetapi sangat menyinggung akan kepribadianku. Sadar bahwa tujuan hidup adalah selamatnya di kehidupan, dunia dan akhirat. Sementara, aku sendiri betapa masih jauh dari pesan dari lagu itu.

_Sugih tanpa banda._ Kekayaan memang tak selamanya dikaitkan dengan harta. Karena kekayaan sesungguhnya ada di hati, bukan di tangan. Kekayaan yang ada di hadapan namun tak terinfaqkan ke jalan tuhan maka itu hanya akan menjadi beban. Aku terusik dengan kalimat itu. Kekayaan di hadapan belum ku raih namun imajinasi merayakan kekayaan diri semakin menyelimuti hati. Seolah hidupku takkan pernah ada henti.

_Digdaya tanpa aji._ Lain dulu lain sekarang. Kedigdayaan kini bukanlah kedigdayaan fisik. Digdaya bukan lagi soal _okol_ melainkan ada di dalam akal. Namun itupun belum cukup, jika akal yang cerdas tak diimbangi dengan hati yang suci. Kebaikan hati akan menjauhkan lawan dan mendatangkan banyak kawan. Seribu teman terlampau kurang, seorang musuh teramat banyak. Akupun menjadi lebih terusik saat mengaca hati ini. Betapa kusamnya hati ini. Nafsu duniawi terlampau tebal menjadi selimut debu dalam kalbu. Lalu, di manakah digdayaku bisa ku dapat?

_Trimah kanti pasrah, sepi pamrih tebih ajrih._ Ketika hatiku semakin kusam dan tertebalkan debu nafsu angkaraku, sikap pasrah pada ilahi semakin jauh kurasakan. Betapa aneka kerisauan dan kekhawatiran yang awalnya hanya menjadi kerikil di jalanan berliku, kini telah berubah menjadi batu-batu gajah penghalang jalanku menuju ridho-Nya. Oh Tuhan, melalui jalan mana lagi untuk ku menuju-Mu jika nafsu angkaraku betapa membuatku semakin jauh dari-Mu? Aku masih jauh untuk menjadi seperti kekasih-kekasih-Mu yang tak pernah punyai resah dan khawatir. Kepasrahan mereka benar-benar menunjukkan keimanan dan kecintan mereka pada-Mu. Aku ingin seperti kekasih-kekasih-Mu.

_Langgeng tanpa susah, tanpa seneng. Anteng mantep sugih jeneng._

Tak jarang aku salah menilai keadaan. Saat aku dilimpahi oleh-Mu aneka keberlimpahan, aku merasa senang. Aku menganggap doaku Kau ijabah. Aku menduga itulah buah doa dan amalku. Tak sedikitpun aku berfikir bahwa itu adalah ujian dari-Mu. Ujian, akankah aku bersyukur atas kurnia-Mu, ataukah kufurkah aku dalam kurnia-Mu.

Saat derita ini mendera, aku sering menduga-Nya, bahwa Dia tak lagi berpihak padaku. Saat ada pilihan jeneng (pengabdian) dengan jenang (kekayaan) aku lebih memilih  yang kedua. Pikiranku terlalu pendek dan egoku terlalu kuat hingga mata batin ini betapa membutakan pandangan bahwa hidup _(urip)_ itu seharusnya menyala _(urup)_ dengan memilih mengabdi pada-Nya dan mau berbagi sesama.

ABDUL LATIF, praktisi perbankan, tinggal di sleman

Comments