MARADONA DAN IDOLANYA





Di Mexico ’86, Maradona adalah pusat dunia, bahkan dunia itu sendiri. Tapi, di hadapan Bochini, ia adalah bocah lugu yang berjumpa pahlawan super pujaannya. 

Bilardo membentuk timnya dengan Maradona sebagai jantungnya. Keseluruhan tim itu bekerja untuk Maradona. Bahkan, Bilardo mesti menyertakan seorang pemain setengah renta, botak, dan telah berusia tigapuluh tiga, untuk menuruti rajukan pemain terpentingnya.

Ricardo Bochini, lahir 1954, seperti kebanyakan pemain bola panutan di Argentina, tak punya tampilan mengesankan. Wartawan Hugo Asch menggambarkannya sebagai “cebol, canggung, dingin, letoy, dan tanpa kharisma.” Sementara Jonathan Wilson, penulis sejarah sepakbola Argentina, ketika menemui Bochini di usia senjanya, mendapati seorang kakek botak yang sangat pemalu, kikuk, dan sulit ditanya. Tapi, Bochini adalah pemain paling dipuja dalam sejarah klub Indipendiente, yang diberinya liga gelar domestik dan sepuluh gelar internasional. Kepadanyalah, atribut la pausa, sebuah momen di mana seorang pemain membuat pertandingan seakan membeku sesaat ketika ia memegang bola, menunggu teman setimnya bergerak, sebelum mengirim umpan mematikan—sesuatu yang lahir dari dan sangat khas dengan sepakbola Argentina—disematkan. Dan dengan memujanya, Diego Maradona melewati masa bocahnya.

Ketika Cesar Luis Menotti, pelatih Argentina di Piala Dunia ’78, tak memasukkan nama Maradona, kala itu masih berusia tujuhbelas, sang calon superstar menangis tersedu-sedu seperti biasa ia lakukan ketika ia masih bocah dan timnya kalah. Namun, yang membuat Maradona sulit memaafkan Menotti (meskipun ia dan timnya memenangkan piala dunia pertama untuk Argentina), karena ia juga tak memasukkan Bochini.

Carlos Bilardo, seorang pemuja eksakta dalam sepakbola, yang dianggap ada di kutub yang sama sekali bertentangan dengan sepakbola filsafati ala Menotti, menyertakan Bochini, pemain yang telah menua dan belum semenit pun merasakan Piala Dunia, dalam tim ’86-nya. Dan melihat bagaimana kemudian “bakat besar” Bochini dimanfaatkan Bilardo, sulit mengelak bahwa keberadaan sang idola di Mexico adalah demi menyenangkan Maradona.

Bochini dimainkan—dan itu adalah satu-satunya saat ia memainkan Piala Dunia-nya—ketika Argentina telah unggul 2-0 atas Belgia di semifinal. Ia menggantikan Buruchaga ketika pertandingan memasuki menit 85. Ketika Bochini masuk lapangan, Maradona berlari mendekat, memutarinya. “Suhu, kami semua menunggumu,” kata sang pemuja.       

MAHFUDZ IKHWAN, penulis novel LARIS DAWUK

Comments