H U J A N: PUISI AWAN



Hujan. Apa yang kaurasakan jika mendengar kata hujan?
“Dingin!”
“Apa lagi?”

*****

Lalu pandangku lepas jauh, menembus langit. Putih. Ah, bukan, itu kelabu. Kulambungkan lamunku kian jauh. Begitu saja, lepas ….

Awan yang semula putih berseri, tebal bak kapas bergumpal-gumpal.  Di waktu-waktu dalam tempo-tempo yang sempat kupandang, terbentuk ia beraneka rupa; kadang merupa sayap burung, kadang seperti sebuah topi, kadang serupa hamparan sabana, terlebih sering, berbentuk abstrak yang kukadang-kadang serupa wajahmu.

Lalu bebunga langit—kusebut gumpal-gumpal gemawan sepuitis itu—menebal, kian tebal, berubah kian kelabu, lalu turun sebagai panah-panah hujan. Jatuh di halaman ….



Entah berapa lama sebelum kata-kata ini kembali mengalir. Pertanyaannya yang terakhir itu; "apa lagi?", membuat aku—kurasa juga kau—merenung. Saat ini, di luar sedang hujan.

Aku menatap ribuan atau mungkin jutaan titik-titik air yang berebut turun ke tanah. Semua yang di luar sana basah.  Dedaun, rumputan, bunga-bunga, dua batang pohon rambutan, sangkar burung merpati yang tak pernah ditempati kecuali ketika betinanya bertelur dan mengerami—kau juga suka merpati, bukan? Makhluk yang katanya tak pernah ingkar janji itu—juga tanah, yang begitu tabah menadah basah. Semua basah. Semua yang tak beratap basah.

Semua yang tak beratap ....

Seperti sepasang matamu, yang mendambakan seraut wajah, sebagai langit, tempat melabuhkan sejauh pandang kerinduan.

Lalu hujan ini, segar membasahi kesendirianmu ....


December Rain, 2017


(ambau.id/ilustrasi malezzbanget blogger)

Comments