LITERASI ADALAH KUNCI




LITERASI ADALAH KUNCI
Oleh Sri Narwanti (guru MAN Yogyakarta 2)

“Berita palsu hanyalah gejala. Penyakit sesungguhnya adalah berkurangnya keinginan mencari bukti, mempertanyakan sesuatu, dan berfikir kritis”
(Davis Kushner)

Kutipan di atas sangat pas untuk menggambarkan situasi disekitar kita tentang maraknya berita palsu yang beredar. Berita palsu sering juga dikenal dengan istilah hoax. Hoax menurut Hadi Suratman bukan merupakan singkatan melainkan kata dalam bahasa Inggris yang berarti: tipuan, menipu, berita bohong, berita palsu atau kabar burung. Sederhananya dapat dikatakan bahwa hoax merupakan kata yang berarti ketidakbenaran suatu informasi.
Namun dalam rangka memahami informasi yang beredar disekitar kita, idealnya pemahaman kita tidak hanya berhenti pada hoax saja. Istilah semacam misinformasi, disinformasi, framing, satir serta scam patut kita pahami juga, agar saat memperoleh informasi kita tidak mudah “tersesat”.
 Disinformasi dalam kbbi.web.id adalah penyampaian informasi yang salah (dengan sengaja) untuk membingungkan orang lain. Sedangkan misinformasi berbeda dengan disinformasi, perbedaannya terletak pada tujuannya. Misinformasi memang semata-mata menyebar informasi yang salah tanpa maksud apa-apa, sementara disinformasi dengan sengaja menyebar informasi yang keliru untuk membuat informasi yang asli berkurang kebenarannya, tujuannya agar publik tidak lagi meyakini informasi tersebut. Kemudian framing, secara harfiah framing merupakan pembingkaian. Framing pada dasarnya tidak berbohong namun informasi yang disampaikan dibelokkan secara halus melalui penyeleksian informasi, penonjolan aspek tertentu, pemilihan kata, bunyi atau gambar, hingga meniadakan informasi yang seharusnya disampaikan.  Dengan framing suatu berita yang sama seringkali menimbulkan persepsi yang berbeda, tergantung tujuan framing tersebut.
Istilah berikutnya adalah satir, satir sebenarnya termasuk dalam genre sastra yang berasal dari Yunani dengan maksud sindiran. Pada umumnya satir didefinisikan sebagai sebuah sindiran yang membuat seseorang berpikir. Dan satir juga bisa menjadi sebuah humor segar hingga membuat seseorang tertawa geli. Sindiran dan ironi dalam beberapa kasus telah dianggap sebagai sumber yang paling efektif untuk memahami kehidupan masyarakat. Secara historis, satir menjadi populer untuk menghilangkan prasangka dan cemoohan kepada para tokoh politik, tokoh ekonomi, dan tokoh agama terkemuka yang terikat kekuasaan . Dalam beberapa kasus satir seringkali menjadi tameng informasi yang tidak benar dalam rangka menghasut atau memprovokasi berdasarkan isu tertentu. Namun ada juga kasus, dimana tujuan utamanya adalah satir namun dipahami secara berbeda oleh pembaca, sehingga menimbulkan misinformasi.
Dan yang terakhir adalah scam, scam pada dasarnya termasuk hoax, dimana dijalankan oleh scammers untuk menipu atau memperdaya korban. Dalam dunia maya, scam muncul dalam berbagai variasi sesuai perkembangan teknologi, contoh scam bisa berwujud hadiah undian, umpan penipuan, email spoofing, phishing, atau permohonan meminta bantuan darurat.
Dari bebrapa pengertian di atas, mungkin membuat sedikit bingung dan malah menjadi rumit. Namun idealnya kita tahu dan mengenalnya. Paling tidak  dengan pengertian tersebut kita jadi bisa mengenali informasi yang kita terima masuk kategori yang mana. Kemudian mampu membimbing kita untuk bereaksi dan menyikapinya secara bijaksana. Kenapa bijaksana? Sebab apapun bentuknya informasi yang tidak benar seringkali memiliki dampak yang berbahaya. Baik itu bertemakan politis, kesehatan, maupun SARA. Maka sudah selayaknya ketika memperoleh informasi hal pertama yang kita lakukan adalah membaca tuntas informasi tersebut terlebih dahulu. Jangan hanya karena judul yang bombastis kemudian mudah bagi kita untuk segera menyebarkannya. Selain membaca tuntas hal lain yang bisa kita lakukan ketika memperoleh informasi adalah mencoba memahami, mempertanyakan apakah berita yang beredar itu benar atau tidak. Tentu ini memerlukan ketrampilan tersendiri. Ada berbagai tips sederhana untuk mengecek benar tidak nya informasi, yaitu biasakan berhati-hati ketika menemukan informasi dengan judul yang cenderung bombastis dan provokatif. Kedua cermati situs yang menyampaikan informasi tersebut, apakah situs yang terpercaya atau malah produsen hoax. Ketiga cek sumber informasi, seringkali info tertentu mencatut nama tokoh besar, disinilah kita ditantang untuk cermat. Langkah selanjutnya cek foto yang ditampilkan, beberapa hoax seringkali mengambil foto yang tidak sesuai dengan berita yang disampaikan. Terakhir  kita  bisa  bergabung dalam grup-grup anti hoax atau akses web yang menyampaikan klarifikasi tentang hoax.
Jadi, dengan lebih kritis kita akan terbiasa untuk menyaring terlebih dahulu sebelum sharing. Hal tersebut bisa menjadi kontribusi kita untuk menghalau massifnya peredaran informasi yang tidak benar. Tentu bukan perkara mudah, beberapa pengalaman pribadi yang saya alami cukup variatif. Ada suka dan banyak duka pula. Dalam beberapa sosial media, dan grup-grup jejaring sosial  yang saya ikuti, ketika saya mencoba mempertanyakan informasi yang di share teman di grup atau bahkan menyampaikan klarifikasi tentang hoax, sering mendapat reaksi yang beragam. Ada yang bisa menerima, tapi tak jarang juga ada reaksi yang kurang menyenangkan. Bahkan ada juga yang berujung pada diskusi yang panjang. Bagi saya pribadi intinya sebenarnya bukan untuk sok-sok an merasa paling tahu dan paling benar, tetapi lebih pada membiasakan diri menjadi lebih literate ( melek literasi).
Bagaimana literasi kita?
Literasi pada dasarnya bukan sekedar membaca. Literasi adalah kemampuan mengakses, memahami dan menggunakan informasi secara cerdas. Gaung literasi sepertinya cukup kencang sejak digulirkannya Gerakan Literasi Sekolah pada tahun 2015. Gerakan yang cukup revolusioner dalam rangka membangun dan membiasakan minat baca. Gerakan ini juga merupakan amanat Permendikbud No 23 tahun 2015 tentang pembiasaan budi pekerti. Gerakan Literasi sekolah awalnya dilatarbekangi rendahnya minat baca dari masyarakat Indonesia.  Hal ini berdasarkan hasil riset yang dilakukan World’s Most Literate Nation yang menyatakan bahwa Indonesia menempati posisi ke 60 dari 61 negara.
Lalu apa hubungannya dengan hoax? Pertama kita lihat dari sisi, getolnya masyarakat kita menyebar hoax. Menurut Ketua Masyarakat Indonesia anti Hoax Septiaji Eko Nugroho getolnya masayarakat menyebar hoax berkaitan dengan penggunaan teknologi yang tidak dibarengi dengan budaya kritis melihat persoalan. Data menunjukkan bahwa Indonesia termasuk lima besar pengguna smartphone di dunia, namun tingkat literasinya kedua terbawah setelah Bostwana. Dari dua data tersebut, akhirnya yang dominan muncul di dunia maya masayarakat kita adalah nafsu berkomentar. Bahkan, Indonesia pernah dinobatkan sebagai Negara paling cerewet di Twitter. Jadi, literasi yang rendah namun penggunaan smartphone cukup besar, bahkan aktif berkomentar di sosial media. Maka yang terjadi adalah, banjirnya informasi hoax dan mudahnya berkomentar tanpa dasar dan analisa yang tepat. Hal seperti inilah yang kerap memunculkan aroma panas di dunia maya/ sosial media.
Literasi dan berfikir kritis
Lalu apa yang harus dilakukan. Pertama, literasi. Literasi merupakan kunci. Kunci untuk membangun kebiasaan dan membangun karakter. Anak-anak kita perlu untuk terus dikenalkan dengan membaca, setelah kenal kemudian dibiasakan. Memang bukan perkara mudah, butuh upaya yang konsisten dan berkelanjutan. Dan juga butuh keteladanan, keteladanan dari orang tua dan juga guru di sekolah.
Dengan membaca kita akan terbiasa berfikir sistematis, dan dengan terbiasa berfikir sistematis kita akan terpacu berfikir kritis. Bukankah menurut Heather A. Butler berfikir kritis itu bisa dilatih. Bagaimana melatihnya? Menurut Erzhal Risan Wikata berfikir kritis dilatih dengan mulai banyak membaca dan tidak berhenti pada satu sumber saja. Bukankah ini lingkaran yang menarik. Dimulai dengan membaca, membaca lebih dari satu sumber, kemudian tentu saja tidak berhenti mempertanyakannya, analisis baru mengambil kesimpulan.
Peran guru
 Guru dalam perannya sebagai fasilitator pembelajaran, idealnya mampu menjadi teladan dan juga pembimbing dalam berfikir kritis. Bukankah tantangan pembelajaran pada Abad 21 ini salah satunya adalah berfikir kritis. Pembiasaan berfikir kritis harusnya bukan sekedar perangkat yang muncul dalam skenario pembelajaran di RPP. Namun juga dalam tataran praktis kegiatan pembelajaran.
 Dalam praktisnya guru harus mampu menghadirkan proses pembelajaran yang mampu menumbuhkan minat baca dan melatih berfikir kritis. Hal-hal sederhana yang bisa dilakukan oleh guru antara lain;
Pertama, mulai dari guru terlebih dahulu. Jika anak-anak diharapkan rajin membaca, maka gurupun idealnya menjadi sosok yang gemar membaca. Menjadi sosok yang berfikiran terbuka serta terbiasa berfikir analitis juga.
Kedua, mengkayakan sumber belajar saat KBM. Sumber belajar bisa dari buku, bisa dari berita di media massa maupun online, video kasus, kisah nyata dan lain sebagainya. Dengan sumber belajar yang kaya, guru dan siswa akan terbiasa dengan literasi media juga.
Ketiga, sharing bersama siswa tentang living books. Living books secara sederhana adalah buku yang bermutu, dimana isinya kaya akan wawasan dan juga inspirasi. Dengan sharing tentang living books, guru sudah mengkayakan sumber belajar serta membiasakan siswa cinta membaca.
Keempat, menjadi sahabat yang nyaman untuk berbagi informasi. Dengan perasaan nyaman, tentu akan mendorong diskusi yang sehat dan timbal balik antara guru dan siswa. Diskusi yang sehat juga akan menjadi latihan yang bagus untuk berfikir kritis.
Jadi, dengan langkah-langkah sederhana tersebut, harapannya anak dan guru sama-sama cinta membaca. Setelah cinta kemudian terbiasa membaca, dan dengan sering membaca menjadi terbiasa juga berfikir sistematis. Dan terakhir setelah mampu berfikir sistematis, ia juga akan terbiasa mempertanyakan sesuatu dan berfikir kritis. Dan semoga hal ini mampu menjadi salah satu upaya meredakan massif nya peredaran hoax.

DAFTAR PUSTAKA
Hadi suratman via http://www.pontianakpost.co.id/hoax diakses 8 November 2017

http://www.komunikasipraktis.com/2016/12/pengertian-framing-cara-media.html diakses 8 November 2017

http://www.hoaxes.id/2017/01/definisi-hoax-dan-perjalanan-sejarahnya.html diakses 8 November 2017

https://kbbi.web.id/disinformasi diakses 8 November 2017


Comments