KEUTAMAAN SHALAT TEPAT WAKTU (KAJIAN ADAB 3)



Bismillâhirrohmânirrohîm.
Alhamdulillâhirobbil `Âlamîn.
Allohumma sholli `alâ Sayyidinâ Muhammadin an-Nabiyyil Ummiyyi, Imâmil Hudâ wa âlihi wa shohbihi wasallim. Ammâ ba’du.

Hadits ke-1 dalam Kitab al-Adab adalah hadits dalam keseluruhan Shohih Bukhori, diberi nomor  5970. Hadits itu berbunyi demikian:

حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ الْوَلِيدُ بْنُ عَيْزَارٍ أَخْبَرَنِي قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا عَمْرٍو الشَّيْبَانِيَّ يَقُولُ أَخْبَرَنَا صَاحِبُ هَذِهِ الدَّارِ- وَأَوْمَأَ بِيَدِهِ إِلَى دَارِ عَبْدِ اللَّهِ- قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ: ((الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا)). قَالَ ثُمَّ أَيُّ قَالَ: ((ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ)).
قَالَ ثُمَّ أَيّ قَالَ: ((الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ)). قَالَ: حَدَّثَنِي بِهِنَّ وَلَوِ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي.حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ الْوَلِيدُ بْنُ عَيْزَارٍ أَخْبَرَنِي قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا عَمْرٍو الشَّيْبَانِيَّ يَقُولُ أَخْبَرَنَا صَاحِبُ هَذِهِ الدَّارِ- وَأَوْمَأَ بِيَدِهِ إِلَى دَارِ عَبْدِ اللَّهِ- قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ: ((الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا)). قَالَ ثُمَّ أَيُّ قَالَ: ((ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ)).
قَالَ ثُمَّ أَيّ قَالَ: ((الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ)). قَالَ: حَدَّثَنِي بِهِنَّ وَلَوِ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي.

Artinya: “...Dari al-Walid bin Aizar dia berkata: “Aku mendengar Abu Amr asy-Syaibani berkata: “Pemilik rumah ini –seraya menunjuk dengan jari telunjuk rumah Abdullah- mengabarkan kepada kami, dia berkata: “Aku pernah bertanya kepada Nabi shollallohu `alaihi wasallam: “Apa perbuatan yang paling dicintai Alloh `Azza wa jalla.” Nabi bersabda: “ash-Sholâtu `alâ waqtihâ.” Aku bertanya: “Kemudian apa?” Nabi bersabda: “Birrul wâlidain.” Aku bertanya: “Kemudian apa?” Nabi bersabda: “al-Jihâd fî sabîlillâh.” Abdullah berkata: “Beliau menceritakan kepadaku hal-hal itu. Kalau aku meminta tambahan kepada beliau, niscaya beliau akan menambahkannya kepadaku.”

Yang dimaksud dengan perawi bernama Abdullah di situ, menurut Imam Badruddin Aini adalah Abdullah Ibnu Mas`ud. Hadits itu juga dikeluarkan oleh Imam Bukhori dalam Kitâb al-Mawâqitish Sholât (hadits No. 527), “Bâb al-Jihâd wa Siyar” (hadits No. 2782), dan Kitâbut Tauhîd (No. 7534) pada “Bâb wa sammâ an-nabî ash-sholât `amalân”; Imam Muslim mengeluarkan di dalam Kitâb al-Îmân (No. 85); Imam Tirmidzi juga mengeluarkan dalam al-Birr wash Shilah (No. 1898) dan dalam “Kitab ash-Sholat” (No. 173); dan Imam Nasa’i juga mengeluarkan hadits ini; Imam ad-Daruquthni di dalam “Kitâb al-`Ilâl” (No. 684 dan No. 9819), Musnad al-Haitsam (No. 897) (Syarah Ibnu Mulaqqan, VI: 125-126).

Beberapa Penyebutan Amal yang Paling Disukai

Redaksi hadits di atas menggunakan kata ahabbu ilâllôh.. Redaksi semakna juga disebutkan di beberapa tempat lain, menggunakan kalimat ayyul Islâm khoir (manakah sebaik-baik perbuatan dalam Islam), yang menyebutkan beberapa amal perbuatan; ada juga yang menggunakan redaksi ayyul `amal afdhal, dan ada yang menggunakan kata ahabbu, tetapi jenis perbuatan yang dicintai Alloh itu berbeda dari tiga jenis hal di atas.

Contoh yang menggunakan redaksi ayyul Islam khoir adalah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhori dalam “Kitâb al-Îmân” pada “Bâb Ith`âmu Tha`âmi minal Islâm”, hadits No. 12, yaitu:

Artinya: “Dari Abdulloh bin Umar, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Kanjeng Nabi: “Manakah perbuatan yang baik dalam Islam?” Nabi menjawab: “Engkau memberi makan, dan mengucapkan salam kepada yang engkau kenal dan tidak engkau kenal.”

Contoh yang menggunakan redaksi ayyul `amal afdhal, adalah hadits riwayat Imam Bukhori  pada “Kitâb al-Îmân” dalam “Bâb man Qôla innal îmân huwal a’mâl”, yaitu:

Artinya: “Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shollallohu `alaihi wasallam ditanya tentang Islam, manakah amal yang paling utama? Maka Rasulullah shollallohu `alaihi wasallam menjawab: “Iman kepada Alloh dan Rasul-Nya.” Lalu ditanya lagi: “Lalu apa?” Nabi menjawab: “al-Jihad fi sabîlillâh.” Lalu ditanya lagi: “Kemudian apa lagi?” Nabi shollallohu `alaihi wasallam menjawab: “Haji mabrur.”

Dalam redaksi ayyul Islam afdhol, disebutkan oleh Imam Bukhori, dalam hadits No. 11, sebagai berikut:

Artinya: “Dari Abu Musa  berkata: “Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, manakah perbuatan Islam yang paling utama.” Nabi bersabda: “Seseorang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya.”

Contoh yang menggunakan redaksi ahabbi dalam bentuk lain dari hadits di atas, seperti  riwayat Imam Thobroni dalam Mu’jam al-Ausath, di bawah ini:

Artinya: “Dari Abu Said al-Khudhri, berkata: “Bersabda Rasulullah shollallohu `alaihi wasallam: “Maukah kalian semua aku beritahu dengan perbuatan yang menyebabkan kalian lebih dicintai Alloh?” Kami berkata: “Ya, Rasulalloh –sesungguhnya kami menyangka bahwa beliau akan menamai terhadap seseorang-, maka berkata Rasulullah shollallohu `alaihi wasallam: “Sesungguhnya Allah lebih mencintai kalian, yaitu yang lebih mencintai manusia.” Dan maukah kalian semua aku beritahu tentang perbuatan yang lebih dibenci Alloh?” Ya Rasulallah –kami mengira bahwa beliau akan menyebut terhadap seseorang-, maka Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya orang yang lebih dibenci Alloh adalah orang yang membenci manusia” (Imam Thabrani, Mu’jam al-Ausath, Darul Haramain, 1425 H./1995 M, VII: 136, hadits No. 6019).

Dari beberapa model penyebutan amal perbuatan yang dicintai, lebih baik, dan lebih utama itu, tampaklah Kanjeng Nabi menyebutkan hal-hal yang berbeda untuk amal-amal yang berbeda, dan bagi penanya yang berbeda; atau audiens yang berbeda. Menurut Imam Badruddin Aini dalam `Umdatul Qôrî:

“Saya katakan, perbedaan-perbedaan itu dilihat dari sudut waktu-waktu, keadaan-keadaan, atau mereka yang hadir, dan didahulukan (jenis-jenis amal tertentu) di dalam setiap tempat apa yang layak dan sesuai dengannya atau dengan mereka” (`Umdatul Qôrî, XXII: 82).

Imam Zakariya al-Anshori juga menyebutkan alasannya:

“Sesungguhnya jawaban Kanjeng Nabi Muhammad yang berbeda, disesuaikan dengan perbedaan keadaan-keadaan para penanya, maka ketahuilah, (karena mereka) memiliki hajat masing-masing kepadanya, atau disebabkan karena perbedaan waktu” (Minhatul Bari, IX: 154).

Hal ini menjelaskan betapa Kanjeng Nabi Muhammad menjawab pertanyaan atau menyampaikan sesuatu kepada para sahabat yang bertanya, atau orang Arab Badui yang bertanya, sesuai dengan kondisi, situasi,atau keadaan tingkat spiritual yang bertanya. Ini adalah bentuk dari kearifan dalam menyampaikan risalah Islam yang rahmatan lil`alamin bagi umatnya, bagi orang perorang dan kelompok-kelompok masyarakat di mana Islam disampaikan, tidak dipukul rata, disampaikan dengan penekanan amal-amal tertentu yang berbeda, untuk orang-orang yang berbeda.

3 Jenis Amal

Makna kata al-a’mâl pada hadits di atas, menurut Imam Zakariya al-Anshari adalah al-a’mâl al-badaniyah, dan karena ini menjadi tidak bertentangan dengan khabar Nabi: “afdholul a’mâl îmân billâh” (Imam Bukhori, hadits No, 26). Ibnu Mulaqqan juga menyebutkan: “Kedua, yang dimaksud di sini dengan kata al-`amal adalah amal badan dan anggota tubuh, dan karena itulah ada jawabnya, dengan kalimat ash-sholâtu `alâ waqtihâ, dan (tentu ini juga mengisyaratkan)  perlu niat di dalamnya secara lazim (Ibnu Mulaqqan, VI: 130).

Karena itu, amal-amal yang dilakukan itu, juga menyangkut amal hati, seperti khudhu’, ikhlas, niat yang benar, yang menuntut ketundukan kepada Alloh. Dari sudut ini, Alloh mencintai mereka yang mengerjakan ash-sholâtu `alâ waqtihâ, berbuat baik kepada orang tua, dan jihad di jalan Alloh, adalah perbuatan lahir tetapi sekaligus juga buah, dan harus diiringi amal hati. Bukan semata-mata perbuatan lahir saja, karena hal-hal lahir yang tidak dibarengi dengan ketundukan, keimanan, dan amal hati belum disebut menjalankan amal itu secara baik.

Ash-Sholâtu `alâ  Waqtihâ

Ada beberapa hadits Kanjeng Nabi Muhammad, selain menggunakan redaksi ash-sholâtu `alâ waqtihâ, juga menggunakan riwayat liwaqtihâ. Riwayat Imam Bukhori dalam “Kitâb at-Tauhîd” menggunakan redaksi liwaqtihâ. Riwayat yang lain-lain, ada hadits yang menggunakan redaksi fî awwali waqtihâ, dan li awwali waqtihâ.

Soal waktu sholat itu, dalam pengertian hukum fiqh sangat diperhatikan, karena jenis-jenis sholat, telah ditentukan waktu-waktunya. Sementara para ahlu sufi jauh lebih dari itu, memperhatikan setiap waktu-waktunya dengan disiplin, untuk terus menyambungkan diri dengan Alloh, bukan hanya di waktu-waktu tertentu, tetapi di seluruh waktunya. Memperhatikan waktu-waktu sholat itu, dalam Al-Qur’an demikian: “Sesungguhnya sholat itu memiliki waktu yang ditetapkan bagi orang beriman” (QS. an-Nisa’ [4]: 103). Waktu-waktu sholat itu kemudian disebutkan dalam banyak hadits Kanjeng Nabi Muhammad, yang dalam waktu-waktu itu kemudian membedakan jenis-jenis sholat tertentu dan kaifiyahnya, caranya.

Hubungan dengan pembahasan hadits ash-sholâtu `alâ waqtihâ ini, timbul pertanyaan: apakah itu bermakna, di awal waktu atau di sembarang waktu yang masih masuk kategori waktu sholat. Menurut Ibnu Mulaqqan, kalangan ashhab ar-Ra’yi, melihat bahwa sholat di akhir waktu lebih utama, kecuali bagi seorang yang sedang haji…” (tanpa menyebutkan alasannya). Akan tetapi kebanyakan melihat bahwa di awal waktu lebih utama, alasanya: “Keempat, didalamnya terkandung keutamaan awal waktu, karena bentuk kata ahabbu menuntut  hubungan di dalam istihbâb…, dan riwayat hadits soal fî awwali waqtihâ jauh lebih jelas, ashrah” (Ibnu Mulaqqan, “Kitab as-Sholât” dalam bab “Fadhlush sholât `alâ waqtihâ”, VI: 130)

Di dalam madzhab Sayafii, menurut Imam Abu Yahya Zakariya al-Anshori, dalam Kitab Fathul Wahhâb bi Syarhi Manhaji at-Tullâb:

“(Disunnahkah menyegarakan) walau sholat Isya (pada awal waktu), karena ada hadits dari Ibnu Masu`d, saya bertanya kepada Nabi: “Apakah amal-amal yang paling utama?” Nabi bersabda: “ash-Sholatu li awwali waqtihâ, yang diriwayatkan Imam Daruquthni dan selainnya, al-Hakim berkata hadits itu sesuai dengan syarat Shahihain dan  lafazh di dalam Shohihain adalah liwaqtihâ” (edisi Menara Kudus, t.t., I: 31).

Riwayat-riwayat soal awal waktu, yang disebut Ibnu Mulaqqan sebagai ashrah (lebih jelas), menjadikan riwayat ash-sholatu alâ waqtihâ itu dimaknai menjadi di awal waktu sholat. Riwayat lain soal awal waktu ini disebutkan misalnya oleh Imam al-Husain Ibnu Mas`ud al-Baghawi dalam Kitab Sayrhus Sunnah (al-Maktabah al-Islami, Cet. II, 1403/1983), Berut, II: 177), dalam menjelaskan hadits No. 344, yang mengetengahkan hadits demikian:

Artinya: “…manakah amal yang lebih uatama?” Nabi menjawab: “Ash-Sholâtu li awwali waqtihâ.”

Hadits tentang awal waktu itu, diriwayatkan Imam Baghowi juga dari jalur al-Walid bin Aizar. Menurut Imam Baghawi, redaksi dengan menggunakan model ini, juga diriwayatkan al-Hakim di dalam Mustadrak yang dishahihkan dan disetujui adz-Dzahabi; juga diriwayatkan ad-Daruquthni. Hadits di awal waktu itu memiliki syawahid (hadits yang memperkuatnya, dalam riwayat Imam Ahmad, Imam at-Tirmidzi, dan Imam Abu Dawud) (Imam Baghawi, Syarhus Sunnah, II: 177, catatan kaki No. 1).

Ibnu Mulaqqan juga mengatakan: “Ibnu Huzaimah, Ibnu Hibban dan al-Hakim meriwayatkan hadits dengan redaksi: ayyul `amâl afdhal? Qâla: ash-Sholâtu fî awwali waqtihâ. Al-Hakim berkata: “(Hadits itu) memenuhi syarat sebagaimana syarat dalam hadits Shahihain (Bukhari-Muslim); dan memiliki syawahid, banyak penguat hadits lain” (Ibnu Mulaqqan, VI: 126).

Akan tetapi hal itu belum diperinci, apakah itu bermakna sholat sendirian atau jama`ah. Dalam madzhab Syafi`i, sholat berjama`ah itu hukumnya, seperti yang ada dalam Kitab:

1. Imam zakariya al-Anshari dalam Fathul Wahhâb bi Syarhi Manhaji at-Tullâb menyebutkan dalam bab sholat jama`ah: “…(Sholat jama’ah itu fardhu kifayatin) karena ada khabar riwayat mâ min tsalâtsatin fî qaryatin…” (I: 59).

2. Imam Abu Ishaq asy-Syirazi dalam al-Muhadzab fî Fiqhil Imâm asy-Syâfi`î (I: 176) menyebutkan ada dua pendapat di kalangan Ashab kami: Fardu Kifayah berdasarkan riwayat Abu Darda’ dan ada yang berpandangan sunnah berdasarkan riwayat Abu Hurairah.

3. Imam al-Ghazali dalam al-Wasîth fîl Madzhab (Darus Salam, 1417/1997, II: 221) menyebutkan: “sholat jama`ah itu mustahabbah, bukan wajib, kecuali dalam sholat Jum’at; dan sholat Jum’at itu wajib menurut Dawud dan Imam Ahmad; dan berkata sebagian sahabata kami: “Sholat jama`ah adalah fardhu `alal kifayah.”

4. Imam ar-Ruyani dalam kitab Bahrul Madzhab (II: 391):

“Mengabarkan kepada kami Malik, dan menyebutkan khabar: dan ini sebagaimana dikatakan: “Ketahuilah bahwa Rasulullah Saw sholat selama 13 tahun di Mekkah tanpa jama`ah, karena para sahabatnya ditindas dan tercerai berai, mereka sholat di rumah masing-masing, dan ketika berhijrah ke Madinah Nabi mendirikan sholat jama`ah. Dan jama`ah itu wajib di dalam sholat Jumat atas setiap orang (laki-laki yang memenuhi syarat maksudnya) tanpa ada perbedaan, karenanya tidak syah sholat jumat tanpa jama`ah. Adapun selain itu dalam sholat fardhu berbeda pendapat di kalangan Ashab kami: pertama, sebagian besar Ashab kami, berpendapat hukumnya adalah fardhu kifayat, seperti hukum menjawab salam dan mengubur mayit…”;

Dan di antara shabat kami, ada yang berpendapat, hukumnya sunnah mu’akkadah; dan yang utama tidak meninggalkannya dan senantiasa menjaganya, dan apabila meninggalkannya, maka dia meninggalkan keutamaan yang banyak dan balasannya. Tentang ini berpendapat ats-Tsauri, Malik, Abu Hanifah dan Imam al-Auza’i. Dan diceritakan dari Auza’i, Ahmad,  Abu Tsaur, Dawud, Ibnul Mundzir, Muhammad bin Ishaq, dan Ibnu Huzaimah, berpendapat bahwa: sholat jama`ah itu wajiba ain, dan barangsiapa meninggalkannya tanpa udzur, berdosa.”

Berjama`ah yang dijalankan di awal waktu, menjadi lebih utama, karena mendapatkan dua hal: dapat memenuhi awal waktu seperti yang dikehendaki hadits Kanjeng Nabi; dan ganjaran jama’ah, seperti banyak dianjurkan oleh hadits-hadits Kanjeng Nabi soal sholat jama`ah.  Akan tetapi bagaimana kalau tidak bisa menemukan jama`ah di awal waktu dan kondisi menuntut sesuatu, seperti kondisi cuaca sangat panas.

Menurut Imam al-Ghazali, yang utama melakukan sholat dua kali: Apabila di awal waktu dia sholat sendiri, dan menemukan setelahnya sholat jama`ah, menurut Imam al-Ghazali, dia mengerjakan sholat sendiri, dan kemudian kemudian mengerjakan sholat berjama’ah: “Yang kelima, barang siapa sholat jama`ah maka dia tidak disunnahkan untuk mengulanginya di dalam jama`ah yang lain menurut pendapat yang shahih. Dan apabila ia sholat sendiri, maka ulangilah dengan sholat berjama`ah” (al-Wasîth fîl Madzhab, II: 232).

Di antara dua sholat itu yang fardhu dihitung yang mana, menurut Imam al-Ghazali: “pertama, tidak meniatkan untuk sholat yang kedua dengan sholat fardhu, tetapi zhuhran naflan (sholat dhuhur yang dipandang sunnah); kedua, sesungguhnya salah satunya adalah fardhu, bukan karena ain sholatnya, yang dihitung oleh Alloh terserah mana yang dikehendaki dari keduanya, dan dalam hal ini sholat yang kedua juga diniati fardhu” (al-Wasîth fîl Madzhab, II: 223)

Bila berhubungan dengan cuaca panas atau buruk, menurut Kitab al-Hâwî al-Kabîr fî Fiqhil Madzhabil Imâm asy-Syâfi`î, wahuwa Syarah Mukhtashor al-Muzanî (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1414/1994) karangan Imam Mawardhi, diperinci begini:

1. Lebih utama mengakhirkan sholat apabila terjadi cuaca keadaan panas, syaratnya dua: cuaca panas itu memang sangat panas; dan atau akan diadakan jama`ah yang orang-orangnya datang dari jauh, dan seperti ini adalah sholat Dhuhur (dhuhur di akhir waktu lebih utama).

2. Adapun apabila panasanya hanya ringan, atau keadaan cuaca di negara itu dingin, atau hanya bisa sholat sendirian, atau jama`ah yang dihadiri bukan oleh orang-orang yang jauh, maka dalam kondisi seperti ini, yang utama adalah menyegerakan sholat (artinya di awal waktu). Pendapat ini berdasarkan riwayat Imam Syafii berdasarkan dari hadits Abu Hurairah, yang juga diriwayatkan oleh Imam Bukhori (hadits No.537 dan 3260) dan riwayat Imam Muslim.

3. Adapun dalam sholat Ashar, lebih utama menyegerakan sholat, bahkan dalam keadaan panas sekalipun, berdasarkan hadits dari Fadholah az-Zuhrani dari ayahnya, dan hadits dari Imam Ali, untuk menjaga sholat wushtho.

4. Adapun sholat Maghrib, menyegerakannya itu lebih utama, berdasarkan hadits dari Sayyidah Siti Aisyah.

5. Adapun sholat Isya itu dua pendapat: pertama, menyegerakan sholat Isya’ lebih utama (seperti yang telah disebutkan dalam Kitab Fathul Wahhab di atas), karena ada riwayat khusus soal ini dari sahabat Nu’man bin Bisyr; dan ada yang mengakhirkan berdasarkan riwayat Abu Said al-Khudri (Imam al-Mawardhi, al-Hâwî al-Kabîr, II: 64-65).

Dalam Kitab al-Hawî al-Kabîr itu juga disebutkan perkataan Imam Syafi`i berhubungan dengan orang yang  mengakhirkan waktunya (dalam sholat), disebut sebagai seorang yang muqshir: “Sesungguhnya Keridhoaan Alloh  itu bagi orang-orang Muhsinin; dan  memperoleh ampunan Alloh itu (al-Afwu) menyerupai sesuatu yang diperuntukkan bagi al-Muqshirun,” yang dikutip dari al-Umm (I: 68) dan Kitab Ikhtilâful Hadîts (V: 208).

Menurut Imam Mawardhi, perkataan Imam Syafi`i itu maknanya “secara dhohir merujuk bahwa orang yang mengakhirkan sholat sampai di akhir waktunya, disebut muqshirun, dan ini tidak dimaksudkan arti dhahirnya. Di dalam Ashab kami (mazhab Syafi’i) hal ini dita’wilkan menjadi dua arti: pertama, sesungguhnya dia disebut muqshirun (orang yang meringkas, memendekkan), ganjaran menjalankan sholat di awal waktu; kedua, sesungguhnya dia itu menjadi seorang muqshirun, seandainya tidak ada ampunan Alloh dalam bolehnya mengakhirkan waktu (Imam al-Mawardhi, al-Hâwî al-Kabîr, II: 66).

Faedah Sholat bagi al-Mushollin

Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhori di atas, menjalankan ash-sholatu `alâ waqtihâ disebut amalan yang paling dicintai Alloh. Keutamaan menjalankan sholat telah dibuktikan oleh orang-orang sholih sepanjang perjalanan umat Islam, dengan memenuhi perintah Alloh itu, di kalangan ahli sholat, minal `âbidîn, agar memperoleh kecintaan Alloh; bukan hanya dalam menjalan sholat maktubah yang 5 kali; tetapi juga dalam sholat-sholat sunnah. Karena di dalam sholat itu, menurut Imam Baghawi dalam Sayarhus Sunnah  (II: 177-179, dalam “Bâbu Fadhlish Sholawâtil Khomsyi),  disebutkan begini:

1. Dapat menjadi wasilah untuk mencegah kekejian dan kemunkaran, dan menjadi penghapus kejelakan-kejelekan, berdasarkan surat al-Ankabut ayat 45:

2. Sholat disebut bagian dari kebaikan-kebaikan yang menghapus kejelekan-kejelekan,  innal hasanât yudhibnas sayyi’ât, berdasarkan riwayat Ibnu Mas`ud, ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi, di dalam menjelaskan surat Hud ayat 114, lalu orang itu berkata: “…apakah ini (ayat ini) untukku? Nabi bersabda: “Untuk semua umatku” (Imam al-Baghawi, Syarhus Sunnah, hadits, No. 346). Hadits ini diberi keterangan muttafaq `alaih.

3. Berdasarkan riwayat Abu Hurairah: “Sholat lima waktu, dan Jum’at ke Jum’at yang berikutnya, adalah menghapus dosa di antara keduanya selagi bukan dosa bosar (Imam al-Baghowi, Syarhus Sunnah, hadits No. 345).

4. Berdasarkan Riwayat dari Abu Hurairah, diumpamakan seperti adzab siang hari yang masuk ke pintu kita, dan kita mandi untuk membersihkannya sehari lima kali, dan sholat adalah mandi kita itu. Haditsnya berbunyi begini:

  Selain itu, sholat itu memiliki faedah-faedah bagi yang menjalankannya, bagi dirinya, hatinya dan akhiratnya:

1. Amal yang pertama akan dihisab, sebagaimana riwayat Imam Abu Dawud dalam hafdits No. 864:

2. Salah satu yang membedakan antara keimanan dan kekafiran, berdasarkan hadits Imam Muslim, No. 82:

3. Disebut sebagai tiang dalam agama, berdasarkan hadits Imam Tirmidzi (No. 2616) dan Ibnu Majah (No. 3973):

4. Sholat menyejukkan hati, berdasarkan hadits Imam Ahmad (No. 12315, 12316, dan 13079) dan Imam Nasa’i (No. 3950).

5. Sholat menjadi nur bagi orang beriman, berdasarkan riwayat Imam Muslim (No. 223) dan Imam Ahmad (No. 6576).

6. Sholat dapat menjadi wasilah penolong kita (pertolongan Alloh datang kepada kita), sebagaimana disebutkan dalam surat al-Baqoroh [2]: 45.

7. Menjadi media berasyik-asyik dengan Alloh (yunâji rabbahu) berdasarkan riwayat Imam al-Bukhari (No. 508).

8. Menjadi media untuk mengingat Alloh, yang secara khusus disebut dalam Al-Qur’an dengan lidzikrî, seperti disebutkan dalam surat Thoha ayat 14.

Maka menjadi jelaslah bagi orang Islam dan beriman, berkewajiban untuk selalu menjaga dan mendirikan sholat lima waktu, sebisa mungkin di awal waktunya dengan berjamaah; dan kalau tidak bisa karena sesuatu hal di awal waktu dan tidak bisa berjamaah karena udzur (seperti sakit, angin kencang dan keadaan bahaya lain), harus berusaha menjaga sholatnya agar tidak kehilangan waktu dan keluar waktu sholat dalam keadaan belum sholat, meskipun sendirian. Akan tetapi, semua perintah tentang sholat selalu digabung: keharusan untuk bersabar; beriman dan berinfaq; zakat dan amar ma’ruf; dan pula dihubungankan dengan keharusan untuk khusyu’ (khôsyi`în)  dan menjaganya (yuhâfizhûn).

Arjû al-Musyaffa’, ya Rabbi sholli `ala Sayyidinâ Muhammad. Walhamdulillâhi Robbil `Âlamîn wal Musta`ân.

NUR KHALIK RIDWAN,  pengasuh majlis shalawat dan pengajian

Comments