VERBA VOLANT SCRIPTA MANENT



Salah satu rangkaian Festival Naskah Nusantara III adalah sebuah talkshow yang diselenggarakan pada hari Rabu (27/9) kemarin. Talkshow ini dimoderatori oleh seorang filolog UI, Mas Mumu. Adapun pembicaranya adalah Prof. Sapardi, Dr. M. Rohmadi, Dalang Wayang Jantur, Mas Agus Bimo Prayitno dan Penyair Sosiawan Leak. Adapun Dr. Firman sebagai salah satu pembicara belum dapat hadir pada acara ini. Tema talkshow adalah 'Naskah Kuno dalam Perspektif Pustakawan, Pegiat Literasi, Sastrawan, Seniman dan Penyiar'.

Berikut adalah ringkasan perbincangan dalam talkshow tersebut. Tentu saja saya tuliskan sesuai ingatan dan kalimat saya sendiri.

Mas Mumu membuka talkshow dengan dengan pernyataan bahwa menjadi filolog di Indonesia adalah pekerjaan yang berat. Hanya ada 300 filolog di Indonesia, sedangkan jumlah naskah mencapai 28.000. Seorang filolog tampak asik dengan dunianya sendiri. Sebab Kerja keras mereka yang suntuk memang membutuhkan waktu yang panjang. Bahkan ada yang mencapai 5-10 tahun hanya untuk meneliti satu naskah saja. Itu pun tidak lantas membuat para filolog menjadi kondang dan terkenal. Bisa Anda bayangkan, betapa besar cinta para filolog itu kepada naskah kuno.

Dr. Rohmadi dalam talkshow ini menjelaskan tentang peran perpustakaan dalam dunia pernaskahan. Salah satu tugas perpustakaan adalah mendokumentasikan dan mempublikasikan naskah kuno. Apabila Anda berkenan untuk melihat hasil dokumentasi dan publikasi naskah kuno dapat mengunjungi web perpus UNS. Beliau juga berpesan untuk menjadikan perpustakaan sebagai rumah kedua.

Mas Bimo menjelaskan tentang wayang Jantur merupakan wayang yang terinspirasi dari dongeng kuno. Khususnya dari cerita-cerita Panji. Beliau juga bercerita tentang bagaimana harus dudah-dudah naskah kuno untuk mencari versi asli dari cerita Nthit. Seorang Pangeran yang berubah menjadi orang desa. Juga kisah tentang pertunjukan Janturan kolosal yang melibatkan 550 seniman.

Prof. Sapardi memulai pembicaraan dengan sebuah pengakuan bahwa 'Saya bukan filolog. Namun Saya tertarik pada naskah-naskah kuno. Beliau adalah salah satu pendiri Manasa,  Masyarakat Penaskahan Nusantara. Dulu Sebelum Manasa punya kantor sendiri, rumah dinas beliaulah yang menjadi 'sarang' Manasa.

Prof. Sapardi menyatakan kurang lebih demikian.
Sebelum ada naskah kita sudah punya dongeng. Orang mengatakan sebagai sastra lisan. Sastra kok lisan. Ini Ngawur. Tapi sampai sekarang masih juga digunakan.

Para penulis naskah itu menulis guna merekam apa yang kita punya. Kerja mentransfer bunyi ke dalam aksara adalah masalah besar. Contohnya adalah bunyi kokok ayam jago. Di sunda berbeda dengan di Jawa. Berbeda juga dengan di Inggris.

Ketika kita mulai menulis apa yang kita punya. Kita terpengaruh dari luar. Ramayana, Mahabarata. Pengaruh dari Barat. Dan pengaruh itu selalu berasal dari barat. Barat itu mana? Barat itu India, Arab, Eropa, Latin.

Namun pengaruh dari barat itu tidak diterima mentah-mentah oleh orang Nusantara. Semua disesuaikan dengan kebutuhan. Khususnya Jawa. Orang Jawa senang ngawur. Mahabarata India tidak pernah mengenal semar, gareng, petruk, bagong. Srikandi di India itu lelaki, di Indonesia perempuan. Kitab Ramayana berjumlah puluhan dan semuanya lain-lain (berbeda). Satu cerita dapat berubah menjadi bermacam-macam. Tergantung oleh siapa ditulis, kapan ditulis dan untuk siapa ditulis. Di India Ramayana memiliki ribuan versi. Setiap kampung punya versinya sendiri.

Jaman dulu literasi belum seperti sekarang. Masih lisan. Orang belajar dengan cara magang. Orang-orang seperti Ranggawarsita belajar kepada pujangga sebelumnya, Yasadhipura.

Katanya dulu pujangga menulis untuk raja. Mana ada raja Jawa baca. Kan sontoloyo ini. (saya terbahak dengan pernyataan ini. Sebuah sindiran yang sangat khas Jawa. Saya tahu beliau ingin menyatakan bahwa sangat sedikit raja Jawa yang membaca. Diantara raja Jawa yang membaca setahu saya adalah Sultan Agung, Sinuwun Paku Buwana III, Sinuwun Paku Buwana IV, Sultan Abdul Hamid Herucokro, dan Sri Sultan HB IX. Silakan Anda tambahkan daftarnya :D)

Prof. Sapardi masih melanjutkan pembicaraannya. Dari pembicaraan tersebut, Berikut saya tuliskan semacam quote dari beliau.

Sastra lama sangat berguna untuk mengetahui suasana pada saat ditulis.

Karya sastra Indonesia yang baik adalah curian dari naskah lama.

Apa cerita yang baru di dunia ini? Tidak ada. Tentang cinta. Tentang kesedihan. Semua cerita begitu dari dulu. Cerita menjadi baru kalau Anda pelintir. Anda jegal. Inilah hakikat karya sastra.

Hak ki untuk mengubah sesuatu yang sudah terjadi. Oleh dua orang jadi dua cerita. Tiga orang jadi tiga cerita. Inilah tafsir. Inilah hakikat karya sastra. Kita menerima peristiwa dengan cara yang berbeda-beda. Tugas sastra adalah menyampaikan tafsir.

Selanjutnya Mas Sosiawan Leak memprovokasi audiens dengan pertanyaan. Apakah Anda tahu ada 1200 naskah kuno yang ada di Inggris?  Apakah Anda tahu Ratu Juliana pada tahun 1970 mengembalikan Negarakrtagama? Apakah Anda tahu Raja Jogja terpaksa hanya menerima mikrofilm dari naskah kuno yang dirampok Raffles? Apakah Anda tahu perpusnas tahun 1991 juga mendapatkan mikrofilm? Lantas bagaimana nasib mikrofilm itu?

Mas Leak menyatakan bahwa kita adalah korban atas jarak antara filosofi kuno dengan masa sekarang.

Melalui pernyataan tersebut, pada dasarnya beliau ingin mengingatkan meski naskah itu berada di luar negeri, jangan sampai esensi atau spirit dari naskah itu hilang dan tidak dimiliki oleh anak cucu keturunan para penulis naskahnya.

Mas Leak juga menyoal Undang undang naskah kuno yang dibuat tahun 2007 itu masih dalam perspektif anggaran. Tampaknya beliau juga ingin menyampaikan pentingnya pemerintah tidak abai dalam masalah pernaskahan ini. Maka salah satu tugas museum adalah membakukan.

Saya tulis ini sebagai catatan untuk diingat. Sebagaimana pepatah Latin Verba Volant Scripta Manent. Yang terucap menguap. Yang tertulis abadi. Semoga bermanfaat. Terima kasih.

EKO WACHID PURWANTO,  dosen Univeraitas ahmad dahlan yogyakarta

Comments