SULUH



Tidak banyak di masa lalu tulisan mengenai sejarah maupun budaya di Kalimantan yang ditulis oleh orang lokal. Sebab itu tulisan semacam itu menjadi langka dan sangat berharga. Dan setelah melalui lobi-lobi (yang sulit), saya bisa mendapatkan buku langka ini: Suluh Sedjarah Kalimantan oleh Amir Hasan Kiai Bondan. Cetakan pertama. Kertasnya agak lapuk, mudah sobek.

Amir Hasan-Kiai Bondan lahir di Marabahan 10 Februari 1882, ia menyusun buku tersebut selama 28 tahun, tepatnya sejak 1925 sampai 1953 di Banjarmasin. Meski secara umum lebih banyak berbicara mengenai sejarah kerajaan di Kalimantan Selatan, tapi juga secara ringkas mengambil riwayat- riwayat dari beberapa (salasilah) suku bangsa di Kalimantan. Ditambah dengan keterangan-keterangan dari orang-orang tua terdahulu dan dengan catatan bahasa Indonesia, juga buku-buku Belanda.

Amir Hasan cukup beruntung sebab selain terdidik untuk menulis, ia termasuk putra Banjar pertama yang mengenyam pendidikan di sekolah Europese Lagere School (ELS) tahun 1893, kemudian sempat melanjutkan ke STOVIA namun tidak tamat. Juga memiliki jaringan dengan lingkungan kerajaan Banjar. Neneknya Aluh Hamidah sejak muda sampai dewasa berdiam di dalam keraton Kerajaan Banjar di Martapura. Selain itu, ia sempat mengorek keterangan dari P.J.M. Pangeran Hidajat, pangeran Banjar yang diasingkan di tempat pengasingannya di Cianjur. Amir Hasan juga memiliki hubungan yang baik dengan Dr. W.Kern, ahli bahasa yang punya akses dan kapasitas memberikan keterangan terkait sumber-sumber tertulis Belanda.

Sekadar informasi, Kern merupakan ahli bahasa Melayu, termasuk dialek pesisir Borneo. Ia meninggal di Banjarmasin, merupakan tempat tugasnya terakhir pada 8 Juni 1946. Ia juga pernah melakukan penelitian soal Kutai. Salah satu karyanya yang berharga yang sering dirujuk mengenai Kutai yakni; Commentaar op de Salasilah Van Koetai.

Di dalam Suluh Sedjarah Kalimantan, selain sejarah kerajaan seperti Kutai zaman Mulawarman, Wenlai/ Pho-Ni atau Bot-Nei yang kemudian menjadi Brunei. Ia juga memuat peristiwa-peristiwa menarik di Kalimantan, misalnya ada catatan Abdoul Feda dan Edris pengarang bangsa Arab di jaman purba menyebut pulau Kalimantan dengan sebutan Sobormah. Kemudian Al Biruni menerangkan bahwa pulau Sobormah itu disebut oleh bangsa Hindu zaman purba Soewarna Dwipa (Pulau Emas).

Ada pendapat serupa oleh Bondan Winarno "maknyus", dalam buku jurnalistik investigasinya yang terkenal, Bre-X Sebungkah Emas di Kaki Pelangi, yang menjelaskan Swarna Dwipa/pulau emas itu sebutan untuk Sumatera, namun menurutnya lebih pas jika untuk Kalimantan. Rupanya di dalam buku klasik karya Amir Hasan, apa yang jadi pendapat Bondan Winarno sudah pernah disampaikan. Dan justru lebih mengena sebab berupa pernyataan bukan dugaan.

Hal lain yang juga unik dalam buku ini, Amir Hasan menyusun Tarich/kronik, tak hanya tarich raja-raja Banjar tapi juga tarich warna macam/ semacam kronik berbagai peristiwa yang terjadi di Kalimantan. Ia memuat kronik yang cukup lengkap berbagai kerajaan di Kalimantan dari waktu ke waktu sejak abad ke 5 sampai tahun 1953.

Misalnya ia mencatat masehi abad ke 5, “Menurut kitab Pusaka Djawa Sangkala, anak Batara Angga Djali menyebut nama pulau Kalimantan pulau Kantjana. Pada abad yang ke lima pengaruh bangsa Hindu yang beragamakan Brahma, di bawah Raja Mulawarman anak Acwawarman dan cucu Kudangga (Kudungga, pen), telah mengembangkan  pengaruhnya terutama di bagian sebelah Kalimantan timur (Kutai).”

Dia juga mencatat antara tahun 1304-1378 Ibnu Batuta (Ibnu Batutah, pen) ketika merantau di Kepulauan Indonesia menyebut nama Kalimantan timur bagian pesisir, Moel Djawa dan bagian utara (Bulongan) disebut Kamara.

Ini sangat menarik buat saya, jangan-jangan pesisir Kalimantan timur yang dimaksud Moel Jawa itu adalah Muara Jawa. Akan sangat mengejutkan jika ternyata nama Muara Jawa bermula sejak abad 14, dan nama itu berasal dari pengembara legendaris, Ibnu Batuta. Itu yang disebut anak-anak jaman now: w.o.w!

Dalam tarich ini juga kita bisa menemukan informasi pada 1668, orang-orang Bugis mula-mula berdiam di Samarinda yang menjadi ketua mereka Pua Adi (Pua Ado, pen). Namun ia juga menambahkan keterangan Samarinda didirikan oleh Pangeran Tarawei pada 1730. Hmm...semakin menarik, kan?

Dan paling penting buat saya ada keterangan soal Kota Bangun, yakni pada 1874, Adji Siti (Raja perempuan di Kota Bangun-Kutai), berpakaian sebagai pahlawan laki-laki. Sering turut berkelahi dengan suku-suku bangsa Dayak di watas kerajaan Banjar dan dengan Dayak Heban (apakah Iban?, pen).

Keterangan yang amat sedikit mengenai makam Aji Siti, perempuan yang merupakan pemimpin Kutai di Kota Bangun pernah rasanya disinggung dalam buku Dari Swapraja ke Kabupaten, Kutai. Dan banyak peristiwa lain yang di muat dalam Suluh Sedjarah Kalimantan oleh Amir Hasan Kiai Bondan ini.

Sungguh bagi saya, buku tua ini benar-benar memberi keterangan-keterangan yang saya dambakan.

Sesuai judulnya, ia benar-benar suluh!.~

CHAI SISWANDI, budayawan kutai

Comments