PERNIKAHAN



Bismillah. Izinkan saya ceritakan sebuah kisah.
Semingguan lalu saya keluar sama istri dan anak-anak. Di jalan saya melihat sebuah bak truk bertuliskan Tibo Urip. Angan saya langsung meloncat ke masa kecil. Saat terluka karena senang playon dan ngunduh layangan. Ada satu tanaman bernama Cocor Bebek yang suka saya cari. Sewaktu saya kecil, tanaman ini banyak tumbuh liar di tanah lapang dan pinggir sungai. Kadang juga dipakai sebagai tanaman hias. Cocor bebek inilah yang saya gunakan getahnya sebagai salah satu obat alternatif penutup luka. Cocor bebek atau kalanchoe pinnata ini saya kenal dengan nama Tibo Urip. Sebab saat daunnya jatuh, ia akan hidup dan tumbuh.
Berkaitan dengan kejatuhan ini, saya lalu teringat Kintsugi. Kintsugi dikenal juga dengan nama Kintsukuroi yang berarti memperbaiki dengan emas. Saat keramik atau barang pecah belah terjatuh kemudian retak dan pecah maka benda tersebut diperbaiki dengan merekatkannya kembali menggunakan pernis khusus yang dicampur dengan emas. Barang yang retak dan pecah tersebut berubah menjadi barang yang muncul dengan nuansa baru. Bersepuh emas. Perbaikan ini dilakukan berdasar penghargaan terhadap kepingan barang yang terjatuh. Barang tersebut biasanya memiliki sejarah panjang dalam kehidupan pemiliknya. Sejarah panjang kebersamaan inilah yang memiliki harga dan tak ternilai.
Sependek pengetahuan saya, sejarah Kintsugi bermula saat Shogun Ashikasa Yoshimasa memecahkan mangkuk teh kemudian mengirimkannya ke Cina untuk diperbaiki. Rupanya mangkuk tersebut hanya diklem dengan logam. Beliau pun meminta salah satu pengrajin di Jepang untuk memperbaiki. Klem logam itu diganti dengan emas. Hasilnya mangkuk teh itu jadi lebih indah dibanding sebelum pecah.
Demikian pula dalam pernikahan. Tidak selamanya seperti akhir cerita kartun romantis: bahagia selamanya. Maka Tibo Urip dan Kintsugi dapat kita jadikan pelajaran. bahwa ada kalanya kita jatuh. Ada saatnya kita tumbuh. Tidak pernah jatuh terus. Yang ada adalah upaya untuk tumbuh terus. Berdasar pola Tibo Urip bisa kita terjemahkan bahwa saat kita jatuh adalah saat kita tumbuh. Sementara berdasar teknik Kintsugi, kita senantiasa bisa menerima kejatuhan, keretakan dan kepecahan. Hanya saja kita tak boleh beerhenti pada jatuh, retak dan pecah. Harus mau diklem. Dan diklem itu butuh proses merekat. Butuh proses mengutuh. Transformasi inilah yang membedakan nilai akhir. Sebagaimana dalam kinstugi, retak dan pecah itu membuat semakin indah. Bukankah kita lebih sering bertemu dengan orang hebat dengan retak dan kejatuhan yang lebih banyak dari retak dan kejatuhan kita sendiri. Kita hampir tidak pernah bertemu orang hebat dengan masa lalu yang datar. Maka demikianlah kita, Adinda; kita juga pernah jatuh, lalu bangun, hidup dan tumbuh. Hari ini bisa engkau lihat, bahwa kejatuhan, retak dan pecah itu membuatku semakin tampan. Membuatmu semakin cantik. Maka dengan ketampanan yang tak tertandingi sekamar ini – hari ini sebelas tahun pernikahan kita dalam hitungan tahun masehi – kubisikkan padamu:
I love you. And I Will always love you.

WACHID EKO PURWANTO, dosen universitas ahmad dahlan (UAD)

Comments