OBSESI MUTU PENDIDIKAN JERMAN: OLEH-OLEH DARI JERMAN (1)




Siapa sangka Jerman yang di mata dunia (paling tidak di mata orang-orang Indonesia) selalu diagung-agungkan sebagai negara wahid urusan teknologi ternyata mempunyai obsesi meningkatkan mutu pendidikan dan digitalisasi karena merasa dua hal tersebut adalah beberapa hal diantara yang harus ditingkatkan.

Ketika ngobrol ringan di sela-sela waktu sarapan, saya tanya ke Frank, laki-laki senja usia pensiunan yg menjadi translator kami (karena kebanyakan speaker pakai bahasa Jerman), "Apa yg menjadi isu utama di Jerman saat ini Frank?".  Dia jawab dengan yakin, "Pendidikan dan Teknologi".

Belum selesai aku menyampaikan kekagetan, dia sudah menyambar bercerita panjang lebar alasan kenapa dua isu tersebut yang harus digarap oleh pemerintah Jerman. Khas orang tua, dia menceritakan masa lalunya yang tinggal di salah satu kota kecil di Thuringen, dan bagaimana dunia pendidikan belum beranjak dari masanya. Katanya masih sangat banyak sekolah-sekolah umum (negeri) yang kualitasnya sangat buruk baik dalam hal kurikulum maupun sarana-prasarana. Masih banyak guru-guru yang mengajar dengan metode lama (monolog) dan tidak bisa menggunakan sarana teknologi, bahkan banyak sekolah masih menggunakan black board. Dia mencontohkan guru SMA anaknya, ketika anaknya mengusulkan menggunakan aplikasi baru untuk pelajaran matamatikanya, sang guru kebingungan, dan minta dijarin anaknya tersebut. Walaupun gaptek tapi untungnya gurunya terbuka untuk mau dijari muridnya 😀.


Siang harinya, kebetulan banget kami mendapatkan kesempatan berkunjung ke salah desa 'terpencilnya' Jena, Thuringen. Di sana selain berdiskusi dengan calon kandidat DPR lokal, kami juga berkesempatan berkunjung ke salah satu sekolah swasta di desa tersebut.

Tour di sekolah tersebut dipandu oleh salah satu guru dan pengurus yayasan sekolah. Di awal penjelasannya, dia menyebutkan bahwa kurikulum sekolah tersebut mengadopsi kurikulum sekolah Findlandia. Dia mengatakan bahwa di Jerman kurikulum pendidikan masih cukup tertinggal dibanding negara lain. Tapi sebagai sekolah swasta yg juga mendapatkan support budget dari pemerintah sekolah ini harus tetap mengikuti standar pemerintah dan juga dalam hal ujian. Sekolah yg diperuntukan bagi usia TK sampai SMP ini adalah sekolah full-day school, untuk usia SD - SMP mereka belajar di kelas dari jam 8 - 13.00 kemudian jam 14.00 dilanjut semacam ekstrakurikuler. Sepertihalnya obrolan pagi tadi dengan Frank, sebagai sekolah swasta sekolah ini juga belum banyak menggunakan teknologi dalam pengajarannya, bahkan masih menggunakan blackboard dan kapur tulis tentunya. Salah satu ruang khusus yg dipergunakan sebagai semacam ruang praktikum yang mendapat sentuhan teknologi baru saja dibuat, bahkan ketika kami berkunjung dan masuk ke ruang tersebut bau cat temboknya masih menyengat.

Apa yang dikatakan Frank terkait isu pendidikan sedikit banyak sudah saya buktikan. Dan terkait dengan isu teknologi saya juga sejak awal sudah merasakan. Di Jerman tidak seperti di negara Eropa lainnya, di sini terutama di kota kecil seperti Thuringen akses internet (wifi) sangat sulit. Bahkan ketika kami makan siang di restoran yg sangat mahal (karena tempatnya di tower paling atas dan bisa menyaksikan kota Jena dr ketinggian), akses wifi-nya sangat buruk. Dan pantes saja, saya menemukan poster kampanye salah satu calon DPRD Thuringen yang mengangkat isu digitalisasi. Dalam poster tersebut bertuliskan "Digital First. Bedenken Second",  konon sih kata temen Jerman artinya begini  "Digitalisasi terlebih dahulu, aman kemudian".

"Dari masalah pendidikan dan teknologi lalu bagaimana Jerman bisa memproduksi barang-barang 'canggih' yang mendunia?, tanyaku kepada Frank pada kesempatan santai lainnya. Dia bilang itu salah satu kelemahan Jerman, industri adalah industri, pendidikan dan layanan teknologi untuk masyarakat hal yang berbeda. Aku belum juga puas dengan jawaban Frank, eh kami harus buru-buru masuk ruangan. 😅🙈

Kalau Jerman negara canggih di mata dunia saja belum puas dan selalu memperbaiki kualitas pendidikannya, bagaimana kita?, harusnya berlipat-lipat energi yg dikerahkan untuk terus memperbaiki dunia pendidikan.


MAGHFIROH ABDULLOH MALIK,  peneliti tinggal Di Jakarta.

Comments