MAX HAVELAAR



Buku ini kubaca waktu masih sekolah di STM Tarakan, sekitar tahun 2000. Kupinjam dari Perpustakaan sekolah.

Betapa lirih cerita di dalamnya, sendu, haru, sedih, benci, jengkel, marah, murka bercampur menjadi satu. Mengisahkan penjajahan belanda yang picik dan kejam di Banten.

Buku ini adalah buku pertama yang memberi aku perasaan nasionalisme, kebencian mendalam pada penjajahan belanda. Namun,  belakangan baru aku tahu bahwa penulisnya adalah orang belanda.

Tertera di sampul buku, nama penulisnya adalah multatuli. Itu nama samaran dari Edward Douwes Dekker. Ia adalah pegawai pada perusahaan belanda di sumatera pada tahun 1842. Lalu tak lama ia pindah ke Banten. Selama masa-masa kerjanya inilah dia menyaksikan kekejaman belanda. Kemudian setelah ia pulang ke belanda, ia menulis buku berjudul Max Havelaar pada 1860, yang menceritakan kekejaman Belanda. Ia menggunakan nama samaran karena takut ditangkap pemerintah belanda.

Max Havelaar kemudian menjadi bacaan yang diminati di eropa hingga tahun 1900an. Terutama oleh orang-orang sosialis.

Salah satu orang sosialis belanda yang membacanya adalah Henk Sneevliet, sebelum ia datang ke Jawa. Dan tampaknya isi buku itu mengguncang jiwanya.

Di puncak karir, sebagai tokoh partai politik dan ketua serikat buruh kereta api di belanda, ia mengundurkan diri dan lalu tinggal di Jawa bersama istri dan kedua anaknya.

Demikianlah pengaruh Buku yang ditulis Edward Douwes Dekker terhadap tokoh komunis pertama di Indonesia.

(Adapun cucu Edward Douwes Dekker, Ernest Douwes Dekker, di kemudian hari membentuk partai pertama di indonesia yang mencita-citakan kemerdekaan, yakni Partai Indische Partij.)

Anda belum pernah baca buku ini? Sungguh disayangkan. Tapi tidak apa, ini salah satu sajak indah yang dimuat dalam buku tersebut, berjudul Saijah dan Adinda.
------------------

Saijah dan Adinda
Oleh: Multatuli

Aku tidak tahu di mana aku akan mati.

Aku pernah melihat laut lepas di Pantai Selatan, ketika aku di
sana membuat garam bersama ayahku;
Jika aku mati di lautan, dan mereka membuang jasadku ke air dalam, hiu-hiu akan datang.
Mereka akan berenang mengelilingi mayatku, dan bertanya:
“Yang mana dari kami sebaiknya menelan tubuh ini, yang tenggelam ke dalam air?”—
Aku tidak akan dengar.

Aku tidak tahu di mana aku akan mati.
Aku pernah melihat rumah Pak Ansu yang terbakar, yang telah dia bakar sendiri karena dia sudah gila.
Jika aku mati dalam rumah yang terbakar itu, kayu yang membara aku terjatuh ke mayatku,
Dan di luar rumah akan ada orang-orang yang berteriak dengan nyaring, sambil melemparkan air untuk memadamkan api.
Aku tidak akan dengar.

Aku tidak tahu di mana aku akan mati.
Aku pernah melihat Si Unah kecil jatuh dari pohon kelapa, ketika dia sedang memetik sebuah kelapa untuk ibunya.
Jika aku mati dari pohon kelapa, aku akan terbaring mati di kaki pohon, di semak-semak, seperti Si Unah.
Ibu tidak akan menangisiku, karena dia sudah meninggal.
Tetapi yang lainnya akan menangis dengan suara nyaring: “Lihat, di sana terbaring Saijah!”
Aku tidak akan dengar.

Aku tidak tahu di mana aku akan mati.
Aku pernah melihat jasad Pak Lisu, yang meninggal karena umur tua, karena rambutnya berwarna putih.
Jika aku mati karena umur tua, dengan rambut putih, para wanita yang berduka akan berdiri mengitari jasadku.
Dan mereka akan meretap dengan nyaring, seperti para wanita yang berduka mengelilingi jasad Pak Lisu.
Dan para cucu juga akan menangis, sangat nyaring—
Aku tidak akan dengar.

Aku tidak tahu di mana aku akan mati.
Aku sudah melihat banyak orang di Badur mati.
Mereka dibungkus dengan kain putih, dan dikubur dalam tanah.

Jika aku mati di Badur, dan mereka menguburku di luar desa, di sebelah Timur di balik bukit, di mana rerumputan begitu tinggi,
Ketika Adinda melewati jalan itu, dan keliman sarungnya dengan lembut akan menyapu rumput yang dilewati…

Maka aku akan dengar.

RAGA  CANDRADIMUKA,  budayawan kalimantan utara

Comments