Saya turut mengamini satu kolom Budiman Sudjatmiko untuk seri buku Tempo: Gie dan Surat-surat Yang Tersembunyi. Setidaknya sejak 1987 (pertama Lupus dibukukan), anak muda usia SMA menemukan satu role model baru selain si Boy (Catatan si Boy) anak muda borjuis konservatif: banyak pacar, sekolah di Amerika Serikat, suka pesta, memasang tasbih di mobilnya, punya teman transgender (Emon yang diperankan almarhum Didi Petet) untuk diolok-olok. Sosok idola itu adalah: Lupus.
Maka, meski Lupus juga fiktif ia cepat menjadi idola kebanyakan. Digambarkan berasal dari keluarga menengah-bawah, yatim yang ibunya berusaha katering, easy going, punya pacar Poppi yang paket lengkap (pinter, cantik, kaya, namun tegas), setia kawan, ngocol berat dan punya kesalehan yang moderat. Ia mudah terasa akrab dengan kehidupan keseharian kita.
Pun begitu dengan saya, masa-masa SMA saya diwarnai oleh buku-buku karangan Hilman itu. Tentu, juga komik-komik Jepang mulai Dragon Ball, Kindaichi, Detektif Conan, Legenda Naga, juga The Pitcher. Itu semua didapatkan dengan menyewa di satu tempat rental komik Bigfans di Jl Pemuda II, Samarinda.
Kadang untuk bisa membaca seri baru, saya dan teman yang juga punya hobi ngomik, rela jalan kaki dari SMAN 2 di Jalan Kemakmuran ke Jalan Pemuda, menyisihkan duit angkot hanya untuk menyewa komik dan seri Lupus. Sambil pura-pura lewat depan rumah Bu Netty guru bahasa Inggris yang baik hati yang tinggal tak jauh dari tempat penyewaan buku itu.
“Siapa tau aja, liat kami jalan betis, ntar ditawari es teh gratis wkkk...,”cerdik saya. Rencana itu gagal.
Malah besoknya pas guru mengajar saya ketangkapan baca The Pitcher, komik yang bercerita soal Magoroku Kai pemain baseball yang punya lemparan unik. Habislah buku satu tas (komik dan seri Lupus) yang saya sewa dengan jaminan kartu pelajar disita sekolah. Rasanya kayak ketangkapan kasus narkoba. Seisi kelas melihat ke saya sebagai terpidana.
Kuatir sekali saat itu, bagaimana saya harus mengganti buku-buku tadi. Bisa coreng saya punya nama baik diantara perental buku. Duh.
Di ruang guru saya rontok, mengiba-iba sejadi-jadinya, mengemis di meja wali kelas agar bisa mengembalikan buku-buku yang disita.
Pokoknya kasihan sekali lah mengingat keadaan saya waktu itu: item, kurus, jelek, rambut keriting pula, memohon-mohon di depan guru laki-laki. Alamak, nista sekali. Kehinaan yang tak tertanggungkan.
Namun di sisi lain, saya merasa bersyukur. Jaman saya sekolah handphone masih barang mewah. Jangankan internet komputer pun saya masih gaptek. Selain film kartun, masked rider, serta jagoan yang keren-keren waktu itu. Juga kumpul bareng teman, main basket (jangan kuatir: saya sendiri pun gak percaya saya pernah main basket). Hiburan saya lari ke komik dan seri Lupus. Saya tak tahu sekarang ini, masih adakah orang yang membaca Lupus?
Membaca Lupus-nya Hilman mungkin mirip membaca buku kekinian, semacam Dilan-nya Pidi Baiq. Tak terlalu tebal. Sama-sama enak dinikmati saat santai, meredakan kepenatan setelah kerja yang tak putus-putus, dengan obrolan-obrolan ringan, kocak dan mengocok perut. Pas sekali dibaca saat libur seharian seperti hari ini.
Sesekali saya tertawa sendiri.~
CHAI SISWANDI, budayawan Kutai kalimantan timur
Comments
Post a Comment