Pak Gepeto menjadi terkenal di seluruh dunia karena dia membuat boneka dari kayu yang panjang hidungnya bukan main, lebih panjang dari hidung Mbah Petruk yang kita kenal. Boneka ciptaan Pak Gepeto itu diberi nama Pinokio. Anak-anak di seluruh dunia tahu siapa Pinokio.
Dia boneka yang tiba-tiba hidup. Popularitasnya membuat Pak Gepeto bisa numpangterkenal. Dalamduniasastradandunia penciptaan pada umumnya, tak terlalu aneh bila sang pencipta kalah terkenal dibandingkan ciptaannya. Hasil karya Pak Gepeto ini berkebalikan dengan idiom Jawa karena boneka ini menjadi manusia, sedangkan dalam idiom Jawa, manusia bisa ”dibikin” menjadi sekadar boneka. Orang Jawa yang kecerdasan batiniahnya tumpul sehingga dia menjadi bagaikan boneka tanpa perasaan bisa membuat orang menyebutnya––dengan rasa marah–– ”lempung kepanjingan nyowo”, boneka dari tanah liat yang bernyawa tapi tak memiliki perasaan.
Makin lama saya percaya, semua politikus kita, hampir tanpa kecuali, hanyalah boneka. Ada yang menjadi boneka bagi ambisi politiknya, ada yang menjadi boneka bagi nafsunya untuk terkenal, ada lagi yang menjadi boneka karena ingin menjadi orang kaya, syukur bila bisa menjadi kaya dalam waktu singkat. Tapi ada juga yang menjadi boneka bagi hasrat yang menggebu-gebu untuk menjadi orang terpandang dan ada pula yang menjadi boneka karena rasa penasaran yang menyalanyala: benarkah dia tak punya sedikit pun nasib baik untuk menjadi presiden?
Terhadap ambisi politik, nafsu untuk terkenal, keinginan untuk kaya, hasrat menjadi orang terpandang maupun rasa penasaran yang menggelisahkan, kita sering tak berdaya. Kita seperti diombang-ambingkantakmenentu. Denganbegitu kita sering tidak menjadi tuan bagi diri kita sendiri, melainkan menjadi hamba. Kita seolah menjadi mainan, seperti boneka. Ironi hidup sering agak memalukan: sebenarnya kita sudah menjadi budak, tapi kita merasa sebagai tuan. Sering kita masih merasa bahwa kita telah berada di suatu wilayah keabadian, padahal sebenarnya kita sudah nyungsep di dalam comberan kefanaan yang hina.
Tak mengherankan bila di sekitar kita ini selalu ada saja boneka yang tak menyadari bahwa dirinya hanyalah boneka. Boneka macam ini pun bisa saja dengan pongah menuding orang lain sebagai boneka. Tahukah kita ini jenis boneka macam apa? Aliansi politik mengubah manusia, politisi, menjadi boneka yang tak punya pilihan bebas. Ini jenis boneka demi ambisi politik, nafsu untuk terkenal, keinginan menjadi kaya, hasrat untuk menjadi terpandang, sekaligus menjadi boneka bagi rasa penasaran dalam memandang nasib pribadinya, mengapa tiap saat selalu kalah.
Apakah dirinya khusus dicipta untuk menjadi orang kalahan? Apa pun kategorinya, saya kira, boneka ya boneka. Dia telah mereduksi kemuliaan-kemuliaan dan keagungan sendiri. Dia bukan lagi individu yang mandiri dan otonom. Tapi mengapa di dunia ini ada saja orang yang bersikap seperti maling berteriak maling? Etika keagamaan dan politik itu intinya mengajak kita menghormati orang lain. Politisi yang terhormat memenuhi aturan etis itu. Di mata politisi yang terhormat, lawan politik pun dihormati. Itu dulu, ketika Indonesia belum bangkrut secara politik.
Kini politisi besar sudah pergi dan tak pernah kembali. Apa yang sekarang tersisa hanya politisi kecil. Kalau sekarang ada yang kelihatan besar, mungkin hanya suaranya, ambisinya, dan segenap keserakahannya. *** Saya bukan politisi, bukan orang partai, bukan pula suatu organ partai, dan bukan bagian apa pun dari apa yang disebut kampanye partai. Tapi sikap politik saya memihak secara tulus pada kebenaran yang saya yakini. Dengan begitu jelas, sikap ini tidak meminta bayaran uang atau hadiah jabatan karena ketulusan tak bisa dinilai dengan harta dunia dalam corak apa pun.
Juga tidak ditukar dengan puji-pujian dan tepuk tangan yang belum tentu tak menjebak. Pendirian politik ini boleh jadi juga merupakan gambaran bahwa saya pun hanya boneka. Tapi saya boneka bagi aspirasi kultural yang berkembang sejak lama, yang mendambakan agar negeri ini dipimpin lagi oleh orang yang siap untuk mengabdi pada kesejahteraan bangsa, khususnya kaum miskin yang hingga kini belum tahu bagaimana rasanya menjadi tidak miskin. Jika ada orang menilai sikap politik ini sebagai kampanye, ada baiknya ditegaskan, pemihakan ini lebih dalam dari sekadar kampanye yang kehilangan kiblat ideologis, yang sibuk menjelekkan pihak lain.
Sebagai warga negara saya sedang memainkan ideologi kerakyatan dan sikap yang jelas membela agar ideologi itu diterapkan dalam tindakan politik yang jelas. Apa salahnya bila ada politisi, yang diberi mandat oleh ketua partai atau suatu keputusan musyawarah partai, menjadi wakil suara nilai-nilai, suara ideologi, dan representasi perjuangan partainya? Jarang orang bersedia menjadi sejenis lilin yang siap menerangi kegelapan di sekitarnya dengan risiko punah di ”sini”, tapi abadi di ”sana”? Hanya politisi besar yang siap menjalani casting peran seperti itu.
Hanya partai yang masih agak waras yang masih ingat akan perlunya mengatur peran ini, peran itu, agar ideologi partai itu tak membekudanmenjadibatuyang bisu terhadap jerit kaum miskin dan rakyat pada umumnya, yang tersia-sia dalam masa kepemimpinan yang tak peduli pada negara, bangsa, dan rakyat sendiri. Mulialah boneka yang berperan demi kesejahteraan rakyatnya. Mulialah boneka yang menunjukkan bahwa dirinya masih merupakan wujud tersambungnya idealisme masa lalu, yang agung dan besar, dengan kehidupan politik partai hari ini. Boneka seperti ini berapa harganya? Ini pun tak diperjualbelikan.
Di dunia politik, masih ada idealisme yang mengambang di depan hidung, yang bisa diterjemahkan menjadi apa yang disebut ”praksis pembebasan” untuk bangsa. Duit tak selalu relevan dalam perjuangan sejati seperti itu. Ini baru menjadi boneka untuk partai, untuk golongan, untuk bangsa. Nabi-nabi, para rasul, dan orang-orang suci menjadi boneka Tuhan untuk menunjukkan bahwa hidup ini berada di bawah kendali kepemimpinan ”langit” yang agung dan mereka semua, yang mulia-mulia tadi, sungkem,
sujud dengan jiwa taat, sendiko dawuh, dan tak merasa hina menjadi boneka Tuhan. Jelas bahwa boneka itu barang agung dan mulia dan bukan kata benda, bukan kata jadian, bukan pula kata jadi-jadian. Boneka ini kata kerja, yang mengabdi, tapi memilih pengabdian mulia bagi kemuliaan manusia, negeri, dan warganya. Siapa mau menghina boneka sesudah tahu bahwa kita ini hakikatnya hanya boneka belaka?
MOHAMAD SOBARY, budayawan
Comments
Post a Comment