KEUTAMAAN NABI MUHAMMAD DAN WALI ALLAH



Alkisah, suatu hari di penghujung Oktober 1244 (642 H), Maulana Jalaluddin Rumi berkendaraan (naik kuda) keluar dari madrasah tempatnya mengajar di kota Konya (Quniyah) bersama beberapa muridnya. Pada saat perjalanan pulang, kebetulan mereka melewati sebuah penginapan milik seorang saudagar gula dan tiba-tiba seorang lelaki tak dike-nal muncul di hadapannya, lalu memegang tali kendali kudanya seraya berkata, “Wahai pemimpin muslim, manakah yang lebih agung, Abu Yazid ataukah Nabi Muhammad?”

Maulana Rumi menjawab, “Sungguh sebuah pertanyaan yang sulit, laksana tujuh surga hancur terkoyak-koyak dan jatuh berantakan ke bumi. Kebakaran besar muncul dalam diriku dan menimbulkan nyala api di otakku. Di sana aku melihat gumpalan asap mencapai tiang-tiang singgasana Tuhan. Maka, aku menjawab, ‘Nabi adalah sosok yang paling agung dari seluruh manusia, kenapa mesti membicarakan Abu Yazid?’”

Lelaki misterius itu kembali bertanya, “Bagaimana mungkin Nabi menjadi manusia paling agung? Rasulullah pernah bersabda, ‘Kami belum mengenal-Mu dengan cara sebagaimana mestinya Engkau dikenal.’ Sedangkan Abu Yazid, dia bahkan berani berkata, ‘Mahasuci diriku! Betapa agungnya Aku dan Aku adalah Kuasa dari segala kuasa!’”

Maulana Rumi pun menjawab lagi, “Kahausan Abu Yazid telah terpuaskan hanya dengan satu tegukan. Dia akan mengatakan telah cukup dengan satu tegukan itu, kendi pemahamannya telah terisi. Pencahayaannya hanya sebanyak yang muncul melalui cahaya langit dari rumahnya. Nabi, pada sisi lain, meminta agar diberi lebih banyak untuk minum dan senantiasa merasakan dahaga. Dia berbicara tentang kehausan, bahkan terus memohon agar ditarik lebih mendekat lagi.”

Konon, setelah mendengar jawaban tersebut, lelaki asing itu serta-merta menangis dan jatuh tak sadarkan diri. Lalu, Maulana Rumi bergegas turun dari kudanya dan memerintahkan murid-muridnya agar membawa lelaki itu ke madrasah tempat mereka menimba ilmu. Setelah lelaki itu siuman dari pingsannya, dia menundukkan kepalanya di atas lutut Sang Guru Besar, Maulana Jalaluddin Rumi. Sejenak Maulana Rumi merengkuhnya, lalu keduanya pergi. Selama berbulan-bulan mereka mengasing-kan diri dari keramaian, siang dan malam dalam kebersamaan sepanjang waktu, keduanya hanya mengurung diri di dalam kamar milik Shalahuddin Zarkub ad-Dukak. Selama masa itu, tak seorang pun yang berani mengusik dan menengok mereka, kecuali sang pemilik kamar. Lelaki asing itu kelak dikenal sebagai seorang darwisy pengelana dari Tabriz bernama lengkap Muhammad bin Ali bin Malik Daad atau lebih populer dengan panggilan Syamsi Tabriz. Sang sufi nyentrik inilah yang kemu-dian menjadi guru spiritual Maulana Rumi dan yang secara drastis mengubah jalan hidupnya hingga kelak ia dikenal sebagai seorang penyair-sufi besar dunia asal Persia.

CATATAN:

Ada beragam versi mengenai cerita hagiografis tersebut. Dalam versi Annemarie Schimmel, misalnya, diceritakan bahwa tokoh yang pingsan justru Jalaluddin Rumi sendiri. Namun, kita tidak akan mendiskusikan masalah tersebut. Dalam konteks ini, satu hal penting yang hendak kita soroti adalah pandangan Maulana Rumi mengenai figur Rasulullah ketika diperbandingkan dengan sosok seorang tokoh sufi besar selevel Abu Yazid al-Busthami. Dalam pandangan Rumi, para Nabi dan Rasul Allah tidaklah selayaknya diperbandingkan dengan golongan manusia lainnya. Sebab, jika diperbandingkan dengan semua wali Allah yang derajatnya paling tinggi sekalipun, kedudukan dan kemuliaan para Nabi dan Rasul Allah itu tetap lebih tinggi derajatnya karena mereka memang tak akan tertandingi oleh golongan manusia mana pun. Sungguhpun secara kasatmata tampaknya mereka sama seperti manusia lainnya, tetapi secara spiritual semua Nabi dan Rasul Allah itu adalah insan-insan yang paling sempurna (al-insân al-kamîl).

Allah swt. berfirman, "Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia dan sebagiannya Allah meninggikannya) beberapa derajat. Dan Kami berikan kepada Isa putra Maryam beberapa mukjizat serta Kami perkuat dengan Ruhul Qudus'" (QS. 2: 253).

Di antara para Rasul Allah yang telah ditinggikan derajatnya di sisi-Nya adalah lima orang rasul yang lazim disebut sebagai Ûlul ‘Azmi, yaitu para rasul pilihan yang memiliki tingkat kesabaran lebih tinggi dibandingkan dengan Rasul Allah lainnya dalam menghadapi ujian berat dari kaum penentangnya. Mereka, yang jika disebutkan secara runtut berdasarkan periode kenabiannya, adalah: (1) Nuh as., (2) Ibrahim as., (3) Musa as., (4) Isa as., dan (5) Muhammad saw. Namun, dalam sebuah syair disebutkan secara hierarkis berdasarkan tingkat keutamaan mereka masing-masing: Muhammad, Ibrahim, Musa Kalimullah, Isa dan Nuh adalah Ûlul ‘Azmi, ketahuilah!  Dengan demikian, di antara kelima Rasul Ûlul ‘Azmi tersebut, Nabi Muhammad saw. menempati posisi yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah. Tidak ada lagi Nabi dan Rasul Allah yang lebih tinggi derajatnya setelah beliau—apalagi jika kita bandingkan dengan para wali dan manusia umumnya. Bahkan, kedudukan Rasulullah lebih tinggi daripada para Malaikat Allah.

Syekh Muhammad Amin al-Kurdi berkata dalam kitab "Tanwir al-Qulub"-nya, “Dalam urutan keutamaan, setelah Rasulullah Muhammad saw. secara berturut-turut ditempati oleh Nabi Ibrahim as., Nabi Musa as., Nabi Isa as., kemudian Nabi Luth as. Urutan selanjutnya adalah para rasul selain mereka, lalu para nabi, kemudian para penghulu malaikat (Jibril as., Mikail as., Israfil as., dan Izra’il as.). Kemudian, urutan selanjutnya adalah empat khalifah Islam pertama (al-Khulafâ ar-Râsyidîn), lalu para malai-kat selain yang empat, baru manusia biasa lainnya.”

Dengan demikian, jika kita bersandar pada hierarki tersebut, boleh jadi yang dimaksudkan oleh Syekh al-Kurdi bahwa para wali Allah termasuk dalam kelompok manusia biasa—tentu dengan kedudukan dan keutamaan yang lebih tinggi daripada manusia umumnya. Namun, jika para sahabat Rasulullah boleh dikategorikan sebagai wali-wali Allah, niscaya keempat sahabat yang disebut al-Khulafâ ar-Râsyidîn adalah wali Allah yang paling utama di antara para wali Allah lainnya. Selanjutnya, berturut-turut ditempati para sahabat yang dijamin Rasulullah masuk surga, para sahabat lainnya, para tabi’in, para tabi’it tabi’in, para ulama yang setia mengikuti jejak Rasulullah, orang-orang shalih, dan seterusnya hingga seluruh mukminin dan muslimin. Akan tetapi, tentu saja urutan yang dikemukakan di sini bukanlah susunan hierarkis yang pasti dan karenanya tidak bisa dijadikan patokan. Sebab, tidak ada yang lebih mengetahui rahasia tersebut selain Allah al-‘Alîm sendiri, Dia yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu—wallâhu a’lam.

JAMAL T. SURYANATA, BUDAYAWAN BANJARMASIN

Comments