JALUNG MERANG



Jalung Merang berlari sekuat tenaga lalu melompat. Seketika menggunakan kekuatan ibunya serta merta ia berubah wujud menjadi seekor tebengang (enggang). Melesat terbang  tinggi ke angkasa.

Secepatnya ia harus menyusul rombongan perahu Jalung Bilung. Ia harus bergegas, karena rombongan besar itu berangkat untuk melakukan prosesi lamaran. Lamaran kepada kekasih yang amat dicintainya, Urai Belawan.

Jalung Merang dan Jalung Bilung sebenarnya sahabat lama. Jalung Bilung juga sudah mengetahui Jalung Merang mempunyai seorang kekasih yaitu Urai Belawan. Gadis yang kabar kecantikan dan kehalusan tutur perilakunya telah menembus pekatnya belantara rimba, hingga terdengar jauh ke desa-desa terdalam di lekuk-lekuk aneka sungai. Maka tak heran, banyak pemuda penasaran akan kebenaran berita itu.

Rombongan besar Jalung Bilung singgah di desa Jalung Merang. Sebagai sahabat Jalung Merang menyambutnya dengan gembira, juga menyediakan tempat tinggal dan makanan. Suatu kali Jalung Bilung bersenda gurau,  “Aku mendengar kekasihmu sangat terkenal, jujur aku jadi penasaran dengan rupa Urai Belawan,” tutur Jalung Bilung kepada Jalung Merang.

Belakangan dari salah seorang anggota rombongan itu Jalung Merang mengetahui rombongan besar itu berangkat untuk melamar Urai Belawan. Jalung Merang  sakit hati, marah namun ditahan dan tidak ditampakkannya. Meski sahabatnya itu tidak jujur tentang tujuannya. Ia sebagai sahabat tetap menyediakan keperluan untuk rombongan itu seperti sebelumnya.

Dalam benak Jalung Bilung, selama ikatan perkawinan belum ada. Sah saja seorang lelaki melamar gadis. Ia tak menyampaikan niat itu kepada Jalung Merang, sebab tak ingin menyakiti hatinya. Namun, menurutnya Jalung Merang terlampau lambat mengambil tindakan. Seorang laki-laki sejati dinilai dari ketangkasan dalam mengambil keputusan dan langkah. Bukan janji berkepanjangan. Sudah selayaknya gadis semahsyur Urai Belawan, diperebutkan para pemberani. Dalam perang dan perebutan cinta, segala jalan boleh ditempuh. Termasuk jalan menikung sekali pun jika perlu.

Jika lamaran diterima ia akan bersyukur, sebuah pesta sudah ia bayangkan. Jika ditolak tak masalah, laki-laki harus tahu diri. Terpenting adalah mencoba. Apalagi ia membawa rombongan besar, pasti kampung Urai Belawan sungkan menolak sebuah niat baik dan serius seperti itu. Kawin dengan Urai Belawan punya peluang besar.

Jalung Merang dan Urai Belawan diketahui sudah dijodohkan sejak kecil. Jalung Merang sudah lama berniat melamar Urai Belawan. Namun ibunya meminta bersabar, juga memintanya untuk lebih dulu membantunya membuka ladang. Demi bakti kepada ibunya, Jalung Merang menunda rencana perkawinannya.

Itulah, melihat kegundahan anaknya melihat rombongan Jalung Bilung memasuki sungai Mara Rian, menuju kampung Urai Belawan. Muncul iba dan rasa bersalah di hati ibu Jalung Merang. Sebab itulah ia merapal mantra untuk mengubah Jalung Merang menjadi tebengan. Juga begitu enggang jelmaan Jalung Merang itu melesat menyusul Jalung Bilung, ia mengirimkan satu rombongan melalui alur sungai yang berbeda guna melamar Urai Belawan bagi putranya yang berbakti.

Di atas langit Jalung Merang berkoak-koak, beberapa kali ia merintangi jalan rombongan Jalung Bilung. Rombongan itu sempat mendengar suara tebengan itu. Namun mereka tetap melanjutkan perjalanan, sebab menurut mereka suara tebengan itu tidak alami.

Bagi orang-orang ini,  yang telah lama akrab dengan hutan. Alam semesta, baik makhluk hidup maupun mati memiliki roh. Sebab keakraban serta keterkaitan hidup yang begitu erat dengan alam, menurut mereka alam dapat melakukan komunikasi dengan manusia. Bahkan bagi mereka alam merupakan sumber petunjuk atau alamat. Yang kemudian menjadi adat. Pengabaian terhadap petunjuk semesta menurut adat, dipercaya bisa berakibat fatal.
Kepercayaan ini disebut amen-amen, atau disebut juga adat puen. Di dalamnya terdapat pantangan amen, yaitu jika melihat atau mendengar suara dari mahluk tertentu, atau dari arah tertentu bisa dijadikan petunjuk, apakah maksud dari perjalanan bisa terlaksana atau tidak. Bahkan tanda-tanda tertentu dianggap bisa mencelakakan. Semacan nyahuq, dalam adat Benuaq.

Mengetahui rombongan itu tetap melanjutkan perjalanan, Jalung Merang lalu melemparkan tali mandaunya, sembari merapal mantra yang diajarkan ibunya. Lalu tali mandau itu berubah menjadi tudo' bala pipa bala (ular berkepala dan berekor merah) yang merupakan pantangan perjalanan. Melihat ular itu rombongan Jalung Bilung membatalkan perjalanan, mereka memutar arah. Kembali.

Jalung Merang yang masih berupa tebengan, dengan cepat ia sampai di kampung gadis pujaannya. Lalu ia terbang rendah ke jendela Urai Belawan. Urai Belawan menangkapnya, serta merta enggang itu berubah menjadi Jalung Merang. Mereka berdua melepas rindu. Rindu yang sangat.

Tak lama datanglah rombongan yang dikirim ibu Jalung Merang, lamaran dilakukan. Tentu langsung disetujui, sebab memang mereka telah sepakat atas perjodohan di masa lalu. Pernikahan dilakukan segera, pesta dilaksanakan dengan tempo yang sesingkat-singkatnya. Kemeriahan pun hadir.

Rombongan Jalung Bilung yang menunggu waktu baik di kampung Jalung Merang, terheran-heran ketika rombongan Jalung Merang yang membawa pasangan pengantin baru itu tiba.

“Bagaimana bisa Jalung Merang mendahuluiku, sebab saat aku berangkat ia masih membuka huma. Perahuku pun punya pendayung paling cepat,” pikir Jalung Bilung.

Mengetahui Jalung Merang berhasil mendapatkan Urai Belawan, Jalung Bilung merasa kecewa dan marah. Ia merasa dicurangi. Namun atas nama persahabatan, itu tidak ia tunjukkan kepada Jalung Merang dan keluarganya. Lagi pula ia sadar telah tidak jujur mengenai maksud perjalanannya sebelumnya.

Ia maju memberi selamat kepada pasangan pengantin baru itu. Merupakan laku ksatria adalah memberi selamat pada pemenang.

Akhir cerita, Jalung Bilung kemudian menikahi adik perempuan Jalung Merang. Betapa, ikatan persahabatan berubah menjadi ikatan kekeluargaan. Dengan berbagai liku dan coretan perasaan manusiawi diantara keduanya. ~


CHAI SISWANDI, budayawan Kutai kalimantan timur

Comments