HOAX, KITA DAN MUI: DI BALIK DAPUR PEMBLOKIRAN KONTEN NEGATIF (1)



Informasi hoax termasuk lima besar konten yang paling banyak dilaporkan masyarakat kepada tim kami. Total 6835 informasi seputar hoax baik yang bersumber dari akun media sosial maupun dari web site dilaporkan masyarakat sejak Januari hingga Agustus 2017 [terlampir di gambar].

Konten hoax yang diadukan masih berkutat soal politik dan isu sosial, seperti fitnah, ujaran kebencian, dan informasi bohong. Yang sangat memprihatinkan, beberapa konten hoax turut disebar oleh beberapa tokoh politik atau tokoh agama yang mempunyai basis masa besar di media sosial. Meski akhirnya diklarifikasi, efek atau dampak negatif informasi yang disebar tidak bisa serta merta ditarik kembali karena sudah terlanjur menjadi bola liar untuk terus dikonsumsi lebih banyak orang.

+++
Beberapa laporan konten negatif di bulan Agustus juga berisi Informasi seputar tragedi Rohingya yang seringkali disajikan secara berlebihan tanpa menganalisa terlebih dahulu apakah itu hoax atau informasi yang valid.

Sangat disayangkan empati dan dukungan masyarakat Indonesia yang begitu besar terhadap isu Rohingya terkontaminasi dengan banyaknya konten hoax tentang Rohingya.

Beda pendapat soal bagaimana kita membantu atau menanggapi isu Rohingya boleh-boleh saja, tapi bukan berarti boleh dengan cara menyebar informasi hoax!

Terlepas dari itu, kami juga layak mengapresiasi beberapa media mainstream, komunitas, dan media online partai islam (PKS) dan media online lainnya yang turut meluruskan berita-berita hoax tersebut yang akhirnya turut meredam penyebaran konten hoax seputar tragedi di Rohingya.

+++
Dari sebuah diskusi para 'koki' di dapur kami, ada fakta unik tentang bagaimana hoax tersebar cepat di Indonesia.

Hoax terkadang sengaja diproduksi untuk dikonsumsi terbatas di komunitas atau kelompok tertentu. Tapi tiba-tiba jadi viral disebabkan banyak orang yang bermaksud baik mengklarifikasi, tapi sayangnya klarifikasi dilakukan dengan cara memposting ulang konten hoax di ruang terbuka seperti di wall media sosial atau di group-group percakapan.

Alhasil konten yang tadinya hanya dapat diakses terbatas, menjadi terakses secara luas dan tersebar tanpa bisa dikendalikan.

Jika cara kita mengklarifikasi konten hoax itu salah, maka yang terjadi  justru kita turut menjadi bagian dari yang menyebarkan konten hoax!

Tidak heran jika kita menemukan hoax yang bisa bertahan lebih dari 3 tahun padahal sudah berulang kali diklarifikasi kebenarannya oleh banyak pihak.

+++
Modus penyebaran konten hoax saat ini semakin cerdas. Mereka menggunakan cara yang tidak jauh beda dengan cara para pembuat konten provokasi SARA maupun propaganda radikaslisme.

Mereke memainkan teknik hit and run! Konten diproduksi di wall media sosial, di capture, setelah itu konten asli di wall medsos dihapus, kemudian konten yang sudah dicapture disebarkan melalui group aplikasi percakapan. Efeknya konten menjadi viral cengan cepat bak bola salju.

Dan ketika konten ramai-ramai dilaporkan ke tim kami untuk dimintakan penghapusan dari media sosial, tim kami tidak berhasil menemukan jejak konten tersebut di media sosial sebagaimana yang terlihat dalam capture yang diadukan karena mereka langsung menghapusnya.

Mereka memanfaatkan penghuni group aplikasi percakapan yang jempolnya lebih cepat dari otaknya untuk memviralkan konten yang mereka produksi.

Siapa model penghuni group yang demikian? Ya sebagian diantaranya adalah kita!

+++
Tanpa bermaksud menyinggung isu gender, saya pernah menceritakan kekuatan luar biasa dari kaum perempuan dalam memviralkan konten di media sosial. Militansi mereka bisa mengalahkan kaum laki-laki dalam urusan berbagi informasi.

Saya pernah mengamati ada banyak emak-emak yang sangat rajin dan selalu punya waktu membagikan informasi yang kadangkala kecepatan membagikannya bahkan melebihi kecepatan membaca konten yang dibagikan itu sendiri. :)

Ketika ada yang mengingatkan bahwa mereka menyebar informasi hoax, mereka hanya diam, tidak ada permintaan maaf dan tidak ada klarifikasi ulang ke group dimana mereka sebarkan informasi tersebut untuk menjelaskan bahwa informasi itu hoax.

Kecepatan mereka menyebarkan informasi hoax tidak dibarengi dengan kecepatan mengklarifikasi dan kecepatan meminta maaf! :)

+++
Melihat statistik aduan tentang hoax dan fakta-fakta di media sosial, saya jadi ragu apakah fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang haramnya membagikan informasi bohong di media sosial benar-benar diikuti oleh warga muslim yang notabene sebagai warga mayoritas internet di Indonesia.

Boleh saja anda menyatakan tidak takut dengan sanksi hukum negara untuk kemudian terus menyebarkan berita hoax atau ujaran kebencian, tapi setidaknya anda harus berhenti menyebarkan berita hoax atau ujaran kebencian karena takut dengan sanksi hukum tuhan!

Dalam hukum agama, informasi yang benar sekalipun jika dirasa tidak baik atau tidak memberi manfaat untuk disebarkan maka kita dianjurkan untuk tidak menyebarkan! Apalagi jika informasinya tidak benar dan tidak baik. Tidak ada alasan untuk disebarkan!

Jika hendak mengklarifikasi suatu informasi, jangan gunakan ruang publik, saran saya gunakan jalur privat untuk mengklarifikasi, itupun hanya kepada orang atau pihak yang kita anggap bisa memberikan jawaban/klarifikasi akurat.

+++
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam!” (HR Bukhori Muslim)

Wallahu ‘a lam

—Menunggu maghrib—


TEGUH ARIFIYADI, pegawai negeri sipil

Comments