DAWUK: MAHFUD DAN MANUSIA UDIK



Saya terlambat persis setengah jam. Sampai di Boenga Ketjil sekitar jam setengah sembilan. Saya tak habis-habisnya mengutuki diri sendiri. Acara yang sudah saya gadang-gadang sejak seminggu sebelumnya, bahwa saya harus hadir dan mengikutinya dari awal hingga akhir, ternyata berjalan tak sesuai dengan harapan. Hal itu karena  SelaSastra ke-20 kali ini spesial bagi saya; Membincang buku Dawuk karya Cak Mahfud Ikhwan. Beliau penulis yang berasal dari daerah yang sama dengan saya, Lamongan. Ada semacam penggilan gaib di sana. Ada kebanggaan yang aneh yang tak bisa saya ungkapkan. Ada ikatan yang tak kasat mata. Saya merasa begitu dekat,  seakan akan kami saudara. Tentu saja, karena kami sama-sama cucunya Mbah Lamong.

Di depan berjajar tiga orang. Cak Mahfud berada di ujung kanan.  Gus Binhad Nurrohmat ada di tengah, beliau selaku pengulas malam itu. Dan di sebelah kiri ada Mas Anjrah Lelono Broto sebagai pengatur lalu lintas acara. Kepala Suku, Mas Andhi Kephix , selaku tuan rumah, berada di antara peserta diskusi tepat di depan Cak Mahfud. Kurang lebih 20 orang peserta diskusi yang datang. Entah karena romantisme saya dengan Lamongan atau kekaguman saya kepada Cak Mahfud atau sebab yang lain, dengan penerangan lampu yang agak samar, diskusi terasa sangat intim. Ada pendar-pendar aneh yang saya rasakan di dada hehehe.. Para peserta  juga terlihat gayeng sambil sesekali menyeruput kopi. Suasana yang ideal. Seakan sengaja  dipersiapkan khusus untuk ngerasani Mat Dawuk dengan lika-liku kisah percintaannya dengan Inayatun. Setidaknya inilah sisa perbincangan yang saya dengar. Saya benar-benar menyesal. Saya justru melewatkan hal  yang paling inti dari acara; pemaparan Gus Binhad atas pembacaan Dawuk. Tentu saja tulisan ini bukan untuk mengulas novel Dawuk.. Karena, sampai review ini saya tulis, Dawuk pesanan saya belum juga datang. Saya sekedar ingin berbagi  bagian diskusi yang saya ikuti.

Cak Mahfud sedang asyik menceritakan bagaimana proses melahirkan tokoh-tokoh di dalam karyanya. Beliau mengaku agak kesulitan dalam menciptakan karakter para tokohnya. Setiap malam riset di berbagai angkringan di Jogja. Bergumul dengan bermacam orang dengan latar belakang yang berbeda-beda. Kebanyakan adalah orang tua. Mereka mempunyai perbendaharaan cerita yang tak habis-habisnya untuk digali. Mulai dari cerita mistis sampai yang romantis. Dari yang lucu sampai yang saru. Dari sinilah, dengan buku catatan yang selalu ia bawa, ia mengumpulkan bahan-bahan untuk kemudian ditulis di rumah.
" Kita tidak akan mungkin bisa menemukan karakter hanya di satu daerah. Warto Kemplung, misalnya. Saya tidak bisa menemukanya di Jogja. Tokoh seperti ini hanya ada di Lamongan, hahaha... Tokoh  A saya dapat di daerah B, tokoh B saya dapat di daerah C. Begitu seterusnya."

Selesai berbincang perihal karakter, ia beralih kepada bahasa atau dialog para tokoh yang ia gunakan. Sebenarnya ini menanggapi komentar Gus Binhad yang mengatakan bahwa  bahasa yang digunakan di dalam Dawuk sangatlah bagus. Dimana Cak Mahfud tidak terpancing untuk menggunakan bahasa daerah secara spesifik di dalam novelnya seperti yang dilakukan penulis-penulis kebanyakan. Penulis-penulis yang terlalu mengumbar bahasa daerahnya, menurutnya, kurang baik. Bagaimanapun, bahasa tulis sama sekali berbeda dengan lisan. Ada banyak ekspresi bahasa lisan (daerah) yang tidak terwakili oleh tanda baca dalam bahasa tulis.

"Karena menulis membutuhkan grammer, sedang lisan tidak. Orang bicara tak lagi memikirkan pola kalimat. Tak ada subyek predikat obyeknya." Mas Anjrah mencoba menambahkan.

Cak Mahfud kemudian menjelaskan panjang lebar mengenai pengalamanya dalam proses pemilihan bahasa. Sebagai penulis dengan semangat kedesaan, ia mengaku menemui cukup banyak dilema dalam membangun dialog antar tokohnya; yang di sini adalah orang-orang Lamongan. Cerita-cerita yang ia tulis hampir seluruhnya berlatar tanah kelahirannya. Dan ini tidak mudah.  Lamongan, paparnya, termasuk daerah yang mempunyai banyak ekspresi dalam dialog. Tanda baca terlalu terbatas dan tentu saja umum penggunaanya. “Nah, dari sini saya mulai memainkan narasi untuk menyampaikan hal-hal yang berbau daerah. Kalau soal gaya bicara, saya jaga betul supaya pembaca tetap mendapatkan rasa Lamongan-nya.”

Pertanyaan pertama dari peserta adalah apakah Cak Mahfud tidak bosan dengan gaya dan setting pedesaan yang selama ini diambil dan adakah  Cak Mahfud ke depanya akan tergoda menulis sebuah cerita yang mengambil setting perkotaan seperti yang akhir akhir ini ramai dilakukan oleh penulis yang lain. Cak Mahfud dengan gayanya yang santai menjawab bahwa sebenarnya ia pernah menulis yang demikian hanya saja gagal. Ia mengaku tidak bisa membohongi diri sendiri. Selain rasa cintanya dengan kampung halaman, ia juga merasa sangat berjarak dengan kehidupan kota. Meski, sekarang ia juga menjadi masyarakat kota.
Diskusi semakin menarik ketika Gus Binhad nyeletuk "Mahfud ini orang kota tapi manusia desa. Ini jelas berbeda."

Cak Mahfud begitu intim dengan kehidupan perdesaan. Hal ini bisa kita lihat pada novel pertamanya yang ia tulis sekitaran tahun 2003, Ulid Tak Ingin ke Malaysia. Ia bukan hanya memotret kehidupan perdesaan di pesisir pantai utara Jawa melalui tokoh Ulid-nya melainkan memposisikan diri berada tepat di tengah-tengah masyarakat desa itu sendiri. Menjadi bagian dari mereka. Menjadi saksi pergeseran nilai-nilai sosial yang terjadi di sana. Detail dan apa adanya, tanpa tendensi mencoba mendramatisir seolah perdesaan hanya soal kemiskinan belaka. Romantisme tetap ada namun dipaparkan dengan slengekan ala desa.

Ada perbedaan dalam gaya penyampaian antara Cak Mahfud dengan beberapa penulis pendahulunya, dimana ia benar-benar lebur secara total. Gus Binhad mengeritisi mereka, para pendahulu tersebut, masihlah berjarak. Bagaimana kehidupan sebuah desa digambarkan seakan akan hanya melulu soal kedamaian, kesunyian, kesuburan, kesejahteraan, dlsb. Cak Mahfud menolak itu semua. Laiknya di kota, desa juga memiliki segudang masalah dan keruwetan yang tak kalah pelik. Entah secara individu maupun sosial. Kalau sekarang kota sedang trend dengan skandal perselingkuhan, misalnya, desa dari dulu sudah ada. Tentu dengan cara yang tak kalah cerdas dengan perselingkuhan ala kota. Sampai di sini, Gus Binhad perlu membacakan beberapa paragraf pada novel Dawuk sebagai penguat. Lantas tergelak. Diam, melirik Mas Anjrah sejenak dan tergelak lagi. Ternyata orang-orang desa itu lebih cerdik dalam hal perselingkuhan, pungkasnya. Sontak seluruh ruangan menjadi riuh rendah dengan gelak tawa.

Hiruk pikuk desa tentu berbeda dengan kota tapi tidak lantas menilainya seolah-olah desa hanya melulu tentang kehidupan permai. Pandangan inilah yang menjadi titik pembeda Cak Mahfud dengan penulis penulis lain. Penulis yang hanya menggambarkan desa sebagai sebuah romantisme sendu, sesungguhnya ia hanya berdiri di luar, jauh entah dimana. Ia hanya memandanginya tanpa ikut merasakan. Sedang Cak Mahfud, ia ikut berlumpur-lumpur di sana.

"Ide Dawuk sebenarnya muncul hampir bersamaan ketika saya menulis Ulid" ucap Cak Mahfud setelah suasana agak tenang. "Ada sebuah realitas lain di pedasaan yang mendorong-dorong saya minta ditulis. Namun saya menahannya."

Ia tidak mungkin memaparkan hal-hal yang seharusnya dikonsumsi orang dewasa melalui si kecil Ulid. Maka lahirlah Dawuk sebagai jawaban atas kegelisahan-kegelisahan yang tak bisa dipikulkan kepada Ulid. Ulid harus selesai dengan jalannya sendiri. Dunianya sendiri. Dunia anak-anak seperti kebanyakan. Bermain di jubung, ngemong adiknya yang masih kecil, menggembala kambing, mengaji, main macan-macanan, dlsb.

Sebelum acara benar-benar usai, saya sempatkan bertanya. Pertanyaan yang memang sudah saya siapkan sejak di perjalanan menuju Boenga Ketjil mengenai Ulid Tak Ingin ke Malaysia juga beberapa karya sesudahnya. Adakah lewat karya-karya itu semua Cak Mahfud ingin memperkenalkan Lamongan ke masyarakat luas, khususnya daerah pesisir pantai utara. Seperti yang telah dilakukan penulis asal Belitung dengan Laskar Pelanginya. Kita semua tahu Lamongan adalah sumur ide yang tak habis-habisnya ditimba oleh Cak Mahfud. Lamongan jelas mendapatkan tempat spesial di hatinya, meski sudah bertahun-tahun tinggal di Jogja.

"Wah, ini nanti melebar jadi  pembahasan proyek." Cak Mahfud langsung merespon pertanyaan saya itu masih dengan gayanya yang kocak dan ceplas-ceplos.
Setelah terdiam sejenak Cak Mahfud pun angkat bicara.
"Lamongan. Gimana, ya..." ia menggaruk-nggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. "Ya, kalau tulisan saya bisa seperti yang diharapkan, sih tidak apa-apa. Lha, kalau sebaliknya malah jadi runyam, ha...ha..." hadirin ikut tergelak.
"Kalau tidak, bisa-bisa malah kena pasal pencemaran nama baik." Gus Binhad berkelakar.

Cak Mahfud hanya ingin bergembira dengan karya-karyanya. Menulis senyaman mungkin dan sukur-sukur menjadi best seller. Tidak ada tendensi lain kecuali memang tema-tema yang digarapnya kebetulan saja berada di Lamongan. Ia tegaskan lagi bahwa gaya dan tema seperti itulah yang menjadi passionnya.

Sebelum acara benar-benar ditutup, moderator mempersilakan Cak Mahfud untuk closing statement. Sejenak kemudian Cak Mahfud menebar senyumnya ke muka hadirin dan dengan gayanya yang khas akhirnya ia tutup dengan dua kalimat singkat;
"Silakan beli Dawuk dan selamat membacanya."

MANSUR MUHAMMAD, budayawan

Comments