BARANGKALI BUKAN TUHAN YANG MEMBUNUHNYA, TAPI POLIGAMI: CERITA PENDEK RAHMI NAMIROTULMINA !






                       
(sumber: www.123rf.com)


”Tuhan bunuhlah aku, sebab aku tidak mungkin bunuh diri!
Doa itu Salamah rapalkan sambil menangis. Isaknya terdengar begitu memilukan. Kenapa luka ini kian hari kian menganga? Perihnya menusuk sampai ketulang iga.
Zeinuddin  suaminya tak pernah tahu, tubuh mungil istrinya selalu basah air mata bila tiba giliran ia harus menginap di rumah Mira, istri mudanya. Sebab esok dan keesokan hari lainnya,  Zein selalu menemukan Salamah dalam bibir yang tetap tersenyum dan Zein tak peduli, meski itu adalah senyum yang lelah untuk disunggingkan .
 “Kenapa abang ga bilang kalau abang menikah lagi?”
 “ Kalau abang bilang, adik ga mungkin izinkan. Adik gak mau ngertiin abang..” Salamah kehabisan kata demi mendengar jawaban suaminya. Bagaimana mungkin,  bang Zein kesayangannya bisa melakukan sesuatu tanpa seizinnya, sementara semua yang Salamah lakukan selalu atas ijin Zein, termasuk menengok ibunya.
 “Bang, adik rindu sama ibu, adik pulang nengok ibu beberapa hari saja bang...”
 “ Ga usah dik, uang tabungan kita kan sudah menipis. Lagi pula ga ada yang mengurus  rumah kalau adik pergi” dan Salamah hanya tersenyum getir sambil mengikis rindunya perlahan lahan.  Begitulah yang dipahami Salamah, pernikahan telah mengikat satu dengan yang lainnya. Sehingga apapun bentuknya, persetujuan dari pasangan diperlukan sebagai penanda bahwa kita masih menganggapnya ada.
Selain mudah mencucurkan airmata. Salamah juga banyak memaku waktunya didepan cermin. Bukannya berdandan, Salamah lebih banyak mengutuki dirinya. Uban dirambutnya, flek hitam dan kerutan halus diwajahnya, mata yang  keruh dan bergaris kuning.  Lalu payudaranya yang menggelambir terhisap tiga anaknya, bokongnya yang kian tipis, dan badannya yang kerempeng membuat urat urat ditangannya menonjol sebagai bukti bahwa ia telah melakukan banyak pekerjaan kasar dan tentu saja merusak penampilannya sebagai perempuan.
 “Ya Tuhan..” Rintihnya.
 “Aku baru tahu, kalau aku tidak cantik lagi”. Keluhnya. Dan Salamah memang tidak menyadari banyak hal telah hilang dari dirinya. Tanpa disadari , waktu telah mengambil badannya yang sintal dengan payudara yang bulat dan pinggulnya yang kokoh. Waktu telah mengambil kulitnya yang kencang, pipinya yang merona dan matanya yang bening. Tentu saja Salamah tak menyadarinya sebab ia hanyut pada urusan ketiga anak laki lakinya. Hanyut pada urusan masakan yang tidak pernah berhasil merebut selera suaminya. Hanyut pada urusan rumah yang selalu susul menyusul datangnya. Dan hanyut pada urusan burung peliharaan suaminya yang perlu mendapat perlakuan khusus melebihi penderita epilepsi.  Salamah bukannya tidak senang dengan semua urusan yang dikerjakannya tanpa perhitungan. Hanya saja, semenjak suaminya menikah lagi. Salamah merasa semua yang dikerjakannya sia sia. Kesia siaan mendatangkan penyesalan dan penyesalan melahirkan air mata. Salamah menangis lagi.
Namun itu bukan bagian yang paling getirnya. Ada hal getir lainnya yang membuat Salamah tidak ingin bertemu dengan malam. Malam dimana seharusnya Salamah dan Zein menganyam bintang diranjang.  Zein tidak pernah berubah. Bibirnya yang hangat adalah bara yang panas. Pelukan zain adalah rengkuhan yang menenggelamkan kesepian. Zein tetap dengan pesona dan geloranya yang berapi api. Tapi salamah ingat. Dengan  ciuman yang sama, dengan sentuhan yang sama, dengan pelukan yang sama itulah, ada perempuan lain yang juga dibuat Zein terengah engah di ranjang. Dan salamah, cemburu! Setelah itu salamah hanya merasakan onggokan daging beku menimpa nimpa tubuhnya. Teramat beku. Setelah selesai, dikamar mandi, Salamah akan menangis tersedu sedu.
Apalagi yang bisa menutupi luka akibat penghianatan di dalam sebuah pernikahan? Apalagi yang bisa menutupi luka akibat perselingkuhan yang diakhiri dengan pernikahan diam diam? Anak anak. Ya anak anak. Salamah berusaha yakin, Zein bisa saja mencintai perempuan lain selain dirinya. Tapi Zein tidak mungkin mencintai anak anak lain selain anaknya. Namun kenyataan berkata lain, Zein juga mencintai anak orang lain. Anak zain, bukan anak Salamah.
‘”Anak yang lahir dari Mira, bukan anakku” Tegas Salamah di dalam hatinya. Salamah merinding, membayangkan nasib yang bergerak tidak adil pada kehidupan anak anaknya.
 “Apa salah anakku, sehingga untuk mendapatkan cinta ayahnya, dia harus berebut dengan orang lain?” Tidak. Salamah tidak bisa membiarkan ini. Hatinya perih mendidih menyadari bahwa kehidupan anaknya telah dibagi oleh ayahnya sendiri. Salamah menggigil. Setelah itu badannya terguncang guncang menangis.
 “Bisa apa aku?” Rintihnya lagi.
Malam merapat diteras rumah Salamah. Bulan memeluk tangis Salamah dalam sunyi. Bila Tuhan tak juga membunuhnya esok pagi, barangkali Tuhan memberi kesempatan padanya untuk pergi ke Pengadilan Agama. Barangkali....

Kuaro, Agustus 2017

*Untuk mereka yang mencintai tangisan istri


Comments