RAHMI : CERITA PENDEK RAHMI NAMIROTULMINA






(sumber: www.123rf.com)

Rawatlah Puisi ini
Simpan di tempat teduh
Jangan sampai terbakar angkara
Atau tergenang air mata
Biarkan menjadi kata kata lembut
yang bertenaga yang bara
Sekaligus menyimpan lautan cinta
Simpan ditempat teduh
Rawat dan kabarkan atas nama sang maha puisi  (Hasta Indriyana)

                Seperti katamu, dan aku setuju. Bila kita jatuh cinta pada seseorang yang tidak mungkin dimiliki, Puisi ini layak dibaca berulang kali sebagai nasehat .
Beginilah seharusnya aku memperlakukan cintaku padamu. Menyimpannya di tempat yang teduh. Menyejukkannya dari apapun yang bisa menghanguskan. Seperti obrolan, rayuan, bahkan pertemuan-pertemuan yang memungkinkan kita selalu bersilang pendapat. Menyelamatkannya dari cucuran tangisan manjamu, atau belas kasihan laki laki yang rapuh sepertiku. Seharusnya aku membiarkan cinta ini menjadi lebih lembut dari selimut bulu manapun, sampai sampai semua puisi bisa hangat  dalam pagutannya. Setelah itu Cintaku padamu, tak perlu kukabarkan pada siapa siapa, termasuk padamu. Aku hanya akan mengabarkannya kepada yang memberi perasaan. KepadaNya.  Kepada  yang Maha Puisi. Sungguh, percayalah padaku. Aku akan merawat cintaku padamu, maka aku menulis chat ini untukmu
                “ Maaf dik, nanti malam mas ngisi pengajian. Jadi gak bisa ketemu adik. Sekali lagi mas minta maaf, jaga dirimu.
                Aku tahu, kamu online dan chatku bercentang biru. Kamu membacanya dan sudah pasti kamu tidak membalasnya. Dan....yah...foto profilmu menghilang dari layar whatsappku. Rupanya kamu benar benar menekan menu blokir. Kamu benar-benar melakukan seperti yang kamu katakan lewat chatmu
                ‘” Mas, nanti malam ya,  Jam 8 di kafe Paranada. Belakang Malioboro. Google Map nya nanti kushare. Kalo gak dateng, aku marah besar. Aku bersungguh sungguh. Aku marah besar. Aku gak ngancem nih. Aku blokir kalo mas gak dateng.
 Bagaimana perasaanmu melakukan itu? Kuharap kamu hanya jengkel alay dan bisa sembuh dengan menulis status di beranda facebookmu. Kamu harus sembuh dari perasaan marahmu padaku, supaya kamu bisa menjalani hari-harimu dengan bahagia sama persis seperti sebelum kita terhubung di media sosial.
                Lalu bagaimana perasaanku? Aku kesulitan mendiskripsikan perasaanku karena ternyata mataku basah. Ya, laki laki yang mulai dikeroyok uban ini menangis sebab diblokir whatsapp nya oleh seorang perempuan. Langit dan bumi terkekeh menyaksikannya. Tapi aku tak menghalangi air mataku menderas begitu rupa. Sebab bagiku air mata ini adalah air mata kemenangan yang kutunggu sebagai perayaan. Ya, aku menang. Dengan kemenangan ini aku menyelamatkan pernikahanmu. Aku mengawetkan pernikahanku dan sekali lagi aku bisa merawat cintaku padamu.
                Kebersamaan kita dulu, mustahil kubumbui asmara. Mustahil kubumbui gelora. Mustahil kubumbui cinta. Kamu terlalu kecil waktu itu. Umurmu belum genap 13 tahun. Jari jarimu mungil waktu itu dalam kepalan tanganku. Tubuhmu ringan waktu itu dan bebas bergelayutan di punggungku kapan pun kamu mau. Dan tentu saja bibirmu masih sesuka hati berbisik di telingaku, dan aku tahu kamu tidak tahu bahwa itu membangkitkan hormon lelakiku ketika nafasmu yang hangat menyentuh bulu halus di bawah telingaku.  Waktu itu aku hanya memejamkan mata dan membisiki hati dan otakku.
                Kamu adikku.” otakku menjinakkan segalanya. Membuat hubungan kita menjadi wajar seperti adik dan kakak. Tapi hatiku tetap pada pendiriannya.
                Aku jatuh cinta padamu”. Dan waktu tidak berhenti hanya karena ada cinta yang disembunyikan. Aku dan kamu bergeliat di kehidupan kita masing masing. Dan entah bagaimana takdir menyeretku menjauh darimu dan tanpa terasa aku melupakanmu. Sampai puluhan tahun kemudian Facebook merekatkan  kita lagi.
                Ternyata cintaku padamu bukan lupa, hanya terlupakan. Bukan mati, hanya pingsan barangkali untuk sementara waktu . Seiring rabuk Like, Komen, inbox, chat whatsapp, BBM, cintaku padamu menyubur kembali bagai jejamuran yang tumbuh pada batang kayu lapuk. Kita bergumul dalam ruang kosong bernama rindu.
                Mas, aku kangen banget. Puluhan tahun kita gak ketemu. Pokoknya kalau aku ke jogja kita harus ketemu.” begitu seringnya chat itu kamu kirim.
“Adik mau apa kalau kita ketemu?”
Standar seorang adik yang baru ketemu kakaknya donk..cium tangan trus menceritakan berita berita baik, biar kakaknya bangga. Gituu.” Dan aku jarang meresponnya sebab menurutku rinduku padamu jauh lebih dahsyat dari rindumu padaku. Jauh lebih rumit untuk kusebut sebagai rindu seorang kakak pada adiknya. Dan aku khawatir, pertemuan itu tak mampu menampung ledakan rinduku padamu.
Sungguh aku pernah berhari-hari dikepung gelisah, mencari seribu cara untuk menghapus senyummu dari mataku. Dari bangun tidurku sampai menjelang tidurku, bahkan di tidurku senyummu melekat bagai lintah. Aku hanya melihatmu. Aku hanya mengingatmu.
 Aku ingin menghabiskan sarapan denganmu. Aku ingin menyeduh teh untukmu.  Aku ingin membaca buku di sampingmu. Aku ingin menonton film sambil memelukmu. Aku ingin menyambut pagi, menghabiskan senja denganmu. Ya, hanya denganmu. Kamu tahu artinya? Artinya aku ingin hidup bersamamu. Segala tentangmu. Tentang pelukan, tentang belaian, tentang senyuman aku ingin berasal darimu. Aku ingin bersamamu. Sampai istriku bertanya.
 Abi kenapa?  Sering hilang konsentrasi.  Ada masalah di kampus? Mahasiswa bikin ulah ya? Atau mahasisiwi yang bikin ulah?” Dan istriku mulai cemas. Mencemaskan sesuatu yang  hanya diterka-terkanya.
Dan aku tak bergeming . Semua masih atas namamu. Sampai suatu ketika aku menatap foto anakku memeluk ibunya. Matanya berkata padaku.
Jangan memisahkanku dari ibuku.” Saat itulah aku mulai lunglai. Aku bisa memelukmu sebagai istriku, tapi anakku tidak akan bisa memelukmu sebagai ibunya. Bayangkan, betapa aku mencintaimu dan betapa ini tidak bisa diungkapkan. Perasaan ini bagai seribu preman pasar memukuliku dari dalam, berdarah dan  penuh lebam. Aku babak belur dan menyerah dalam sujud- sujud malam panjangku.
Aku tidak ingin mencintainya, tapi aku sangat mencintainya. Dan bila aku memperjuangkannya, terlalu banyak yang kutumbalkan sebagai pengorbanan. Dan bila aku berdiam diri, aku remuk redam.” Begitulah kujujurkan kerapuhanku sepanjang malam selama bermalam malam.  Dalam demam dan diam. Dalam rindu yang tak mampu kuredam. Dalam sakit cinta yang luar biasa.
Sampai suatu pagi ketika langit menghujani gerimis. Chat itu datang.
Lagi ngapain, mas?”
Nggak, lagi di kamar duduk ngliatin gerimis.
Masa? Disini juga gerimis. Tapi aku nggak di kamar, aku di teras. Aku suka melihat gerimis dari dekat. Seperti dulu.               
Dulu adik bukannya suka gerimis, tapi suka main hujan-hujanan.
“Aaaah ..mas nih..oia, aku nemu puisi bagus loh mas. Ini yang nulis seniorku di Unstrat. Namanya Mas Hasta Indriyana. Menurutku bisa jadi nasehat buat mereka yang jatuh cinta, tapi cintanya gak syar”i.
Cinta gak syar’i itu yang gimana?”
Gak tahu juga, itu cuma istilahku, yang jelas cinta yang gak boleh diperjuangkan. Misalkan jatuh cinta sama istri orang  atau jatuh cinta sama orang yang gak seiman.
Ok..kirimkan ya.. mas juga mau baca.” Semenjak itulah, demam cintaku mulai turun berangsur angsur. Sakit cintaku bergerak ke level yang tidak terlalu menghawatirkan.
Sekarang aku mencintaimu. Hanya mencintaimu. tapi aku sudah bisa berdamai dengan rasa cinta ini. Untuk itulah aku tidak bisa menemuimu. Karena aku tak ingin disengat demam lebih parah untuk kedua kalinya. Aku tak mau sakit jiwa, akibat digigit cinta yang gila. Aku yakin  bila kamu mencium tanganku nanti, aku bisa masuk rumah sakit jiwa. Tapi sekali lagi. Tanpa perlu kamu tahu. Ada seseorang yang selalu menyebut namamu di dalam doa doa dhuhanya.
“ Ya Allah.. tolong bahagiakan Rahmi hari ini,  Amin..”

Comments