KANG SABAR: CERITA PENDEK MUHAMMAD THOBRONI





 (SUMBER: WWW.123RF.COM)

Berita kematian Kang Sabar benar-benar mengguncang kami. Kami tak terima bila ia harus mati sekarang. Ia lelaki terbaik yang pernah kami kenal dan miliki. Ia tumpuan harapan bagi mahasiswa miskin, anak yatim, dan janda-janda tua.
Pagi-pagi sekali Samir menggedor pintu rumah.
“Kang, buka pintu! Buka pintu, Kang!” teriak Samir.
Kurang ajar anak ini. Sudah datang pagi-pagi. Menggedor-gedor pintu. Tak pakai salam lagi.
Istriku segera memintaku memakai sarung. Segera kulihat wajah Samir yang layu. Nafasnya tersengal-sengal panik.
“Kang Sabar… Kang Sabar….” ujarnya tergagap.
“Kenapa kamu ini? Tenang dulu. Dan katakan dengan jelas. Bicara kok Kang Sabar, Kang Sabar….”
“Mati, Kang.”
Samir tertunduk. Tubuhnya gemetar.
“Siapa yang mati? Kucingmu, ayammu, atau Jambu Mete depan rumahmu itu? Segalanya akan mati! Kenapa harus ribut?”
“Kang Sabar, Kang.”
Aku mulai penasaran dan curiga.
“Kang Sabar meninggal dunia, Kang.”
Pagi itu aku menjadi ikut panik. Hanya dengan bersarung aku bergegas. Tak kupedulikan istriku yang berteriak memanggil-manggil.
Di jalanan kampung orang-orang tertunduk. Anak-anak gadis terduduk sendu di teras rumah. Anak-anak hanya berkerumun di tepi jalan. Ayam-ayam seperti kompak berhenti berkokok. Kambing-kambing serupa mogok mengembik. Bahkan, burung yang biasanya ramai, kini benar-benar tak terdengar kicaunya. Semuanya jadi sunyi dan hening. Bila ada sendok jatuh, pasti bunyi dentingnya akan terdengar. Inilah kesedihan, mungkin kepedihan teramat dalam yang pernah terjadi di kampung kami. Kepedihan yang dipicu duka mendalam atas kematian Kang Sabar.
            Siapa sebenarnya Kang Sabar? Kami mengenalnya bernama Sabarudin. Sehingga dia dipanggil Kang Sabar. Tak hanya anak-anak dan kaum muda, orang-orang tua di kampung kami pun memanggilnya Kang Sabar.
            Wajahnya ganteng rupawan serupa Syakhru Khan. Tubuhnya tinggi gagah bak atlet binaragawan. Kulitnya bersih coklat kehitaman. Bibirnya selalu tersenyum manis membuat kami merasa nyaman. Matanya indah membuat ibu-ibu dan anak gadis tak bosan memandang.
            Sungguh bukan semua itu yang membuat kami sangat berduka atas kematiannya. Tapi semua kebaikan Kang Sabar yang membuat kami belum rela melepas kepergiannya. Bagaimana kami dapat merelakan kepergiannya bila ia sangat dekat dengan anak-anak yatim di kampung kami.
            Di mata Kang Sabar, menjadi yatim adalah takdir. Karena kematian adalah rahasia Tuhan. “Memangnya siapa yang ingin bapak atau ibunya mati meninggalkan kita anak-anaknya? Tidak ada kan? Kita semua ingin berkumpul dengan kedua orang tua. Bayangkan bagaimana perasaan anak-anak yatim itu! Mereka tak dapat menikmati kehidupan layaknya teman-teman mereka yang orang tuanya masih hidup,” kata Kang Sabar suatu ketika.
            Aku pernah protes atas cara pandangnya itu. Kukatakan kepada Kang Sabar bahwa memang benar pandangannya tentang anak yatim itu. Tapi, banyak juga anak yatim yang mendapat warisan berlimpah. Bahkan, ada juga anak yatim yang salah pergaulan. Ia menjadi pecandu narkoba, pergaulan seks bebas, terlibat kriminalitas, dan sebagainya.
            “Ah, kenapa kita mengurus yang seperti itu? Itu kan hanya kasus tertentu saja. Yang menjadi perhatian kita seharusnya adalah nasib anak yatim itu sendiri.  Ingat bahwa kelak di surga kita yang mengasuh anak yatim akan berdekatan dengan Kanjeng Nabi,” ujarnya memberi nasihat kepada kami.
            Itulah sebabnya Kang Sabar selalu peduli dengan anak yatim. Bahkan ia seperti berburu anak yatim. Di manapun ada anak yatim langsung disantuni. Memang tidak semua santunan menggunakan uang Kang Sabar. Seringkali Kang Sabar menyambungkan anak-anak yatim itu dengan calon orang tua asuh yang siap menyekolahkan. Kadangkala Kang Sabar mengantarkan anak yatim kepada orang yang membutuhkan anak untuk diangkat sebagai anak angkat. Tak jarang Kang Sabar mengantarkan mereka ke lembaga sosial untuk mendapat pengasuhan yang layak.
            Kedekatan Kang Sabar dengan anak yatim pernah diprotes seorang warga. Si Rokim marah-marah kepada Kang Sabar gara-gara Santi disekolahkan ke kota. Padahal, Rokim sudah mati-matian ingin mendapatkan cinta Santi.
            “Apa maksud Kang Sabar sebenarnya? Santi itu cintaku. Calon istriku. Aku sedang menunggu waktu untuk meminangnya. Mengapa Kang Sabar mengirimnya sekolah ke kota? Terus terang saja aku curiga Kang Sabar punya keinginan terselubung. Kang Sabar mencintai Santi, kan?” semprot Rokim sembari menunjuk-nunjuk wajah Kang Sabar.
            Kemarahan Rokim itu juga merembet ke masalah lain. Pasalnya, Rokim memergoki Kang Sabar sedang berbincang dengan Sinta, janda beranak tiga.
            “Coba lihat perilaku Kang Sabar, memang mata keranjang dia! Dengan mata kepala sendiri aku menyaksikan dia berpacaran dengan Sinta. Pantaskah lajang berduaan dengan janda?” ujarnya kepada kami yang sedang makan di warung Mbok Kartini.
             Selesai makan aku langsung memaki Kang Sabar. Aku memang orang yang ingin serba terang. Tidak perlu basa-basi.
            “Kang Sabar apa-apaan berpacaran dengan janda beranak tiga? Kalau memang suka, langsung dilamar saja. Sehingga tak menimbulkan isu liar. Saya lihat Kang Sabar ini wajahnya baik tapi kok mesum!”
            “Apa maksudmu? Bicara yang jelas!” ujarnya.
            “Semua sudah jelas, Kang. Kang Sabar hendak mesum dengan Sinta, Si Janda beranak tiga yang bahenol itu? Kami tidak rela, Kang. Sebelum orang kampung mengusir, saya akan menghajar Sampeyan duluan. Tindakan Sampeyan tak sesuai ucapan. Saya curiga kemesuman Sampeyan sudah sejak dalam pikiran! Wajah murah senyum tapi otak dan perilaku mesum! Sungguh tak kusangka! Ck ck ck….”
            “Saya ingin mengikuti ajaran Kanjeng Nabi.”
            “Nah betul, kan? Sampeyan memang ada mau sama Janda Sinta!?”
            “Sebenarnya, jika memang Sinta mampu menikah lagi tidak ada masalah bukan? Bagi kita pun tidak ada masalah. Andai kita siap menikahi perempuan sudah tua, tidak cantik, dalam rangka mewujudkan keinginannya dan memenuhi kebutuhannya, tindakan dengan niat ini akan mendapatkan pahala besar, insyaaAllah. Bahkan seorang ulama sufi menganggapnya sebagai zuhud!”
            “Jadi benar Sampeyan akan menikah dengan Sinta?”
            “Ah, tidak. Saya kemarin memang ke rumahnya. Tapi sekadar menyampaikan pesan dari teman di kota yang akan memberi bantuan modal usaha. Sinta sekarang single parent. Mungkin dia membutuhkan modal usaha. Itulah sebabnya aku ke rumahnya menyampaikan pesan teman dari kota itu.”
            Hasil perbincangan itu kugunakan untuk memberi penjelasan kepada orang-orang yang mencurigai adanya hubungan Kang Sabar dengan Sinta. Oleh sebab kasus desas-desus itu, Mbah Jamal sesepuh kami menyarakan Kang Sabar segera menikah.
            “Umurmu sudah cukup dan mampu. Bila memang tidak dapat mencari sendiri, biar kucarikan calon istri! Kebetulan Si Anisa akan wisuda. Dia sedang mengurus administrasi wisudanya. Bagaimana? ” ujar Mbah Jamal.
            Anisa adalah keponakan Mbah Jamal yang kuliah di Yogyakarta. Kebetulan kedua orang tuanya sudah meninggal dunia. Sehingga sejak kecil ia diasuh Mbah Jamal.
            “Saya masih ingin merancang masa depan dulu, Mbah. Nanti pada saatnya saya pasti menikah. Tunggu saja undangannya hehehee”
            Sampeyan mengerti kapan Allah mengambil nyawa? Tawaran masih berlaku, siap menikah nggak?”
            “Saya pikirkan dulu, Mbah.”
Kami mendapatkan cerita itu langsung dari Mbah Jamal. Mbah Jamal mengaku, sejak perbincangan itu ia merasa kapok. Hingga tak lagi menawarkan Annisa kepada Kang Sabar. Dalam hitungan waktu, selepas Anisa wisuda sarjana langsung dinikahkan dengan duda dari kampung sebelah.
Kang Sabar sendiri tetap asyik dengan kehidupannya: mengurus anak yatim, anak-anak telantar, dan mencarikan bantuan untuk para janda tua yang butuh bantuan. Hingga serangan jantung merenggut nyawanya.
Aku telah tiba di halaman rumahnya. Telah ada Sinta yang tiba-tiba memelukku. Air mata membanjiri matanya. Hingga air mata itu ikut membasahi pakaianku. Aku menjadi tidak enak dengan orang-orang yang menatap kami.
“Tenang Sinta. Kita semua berduka dan sedih dengan kepergian Kang Sabar. Tapi kita harus ikhlas melepaskannya menghadap Allah,” kataku sembari melepas pelukannya.
Sinta telah melepas pelukan. Tapi air matanya belum berhenti.
“Kami berjanji menikah bulan depan. Kami memang masih merahasiakannya. Dia berkata ingin memberi kejutan kepada kalian. Kang Sabar sudah melamarku, sudah melamarku! Kang Sabar ….”
Sekian masa habis ucapannya, tubuh perempuan di hadapanku itu terjatuh pingsan. Orang-orang segera mendekat dan mengangkat tubuhnya. Aku masih terpaku di tempatku berdiri.


Comments