CATATAN-CATATAN SELEPAS DOA UNTUK PALESTINA






PALESTINA harus diakui adalah sebuah fenomena. Ia bukan saja merujuk sebuah kawasan geografis tertentu. Tapi juga menjadi gambaran besar pertikaian, darah dan air mata. Ia adalah kisah-kisah duka bagi perempuan dan anak-anak mereka. Ia adalah wajah keserakahan ekonomi, kebengisan politik dan hasrat angkara yang tak pernah padam. Indonesia dan Manusia Indonesia adalah bagian lain dari dunia yang coba memandang Palestina dari sebuah sudut. Mungkin ia tak akan lekas mengubah segala yang ada di sana. Tapi, sebuah ikhtiar, apapun jua harus terus dicoba. Apalagi, ikhtiar itu adalah sebuah strategi budaya bernama Doa untuk Palestina.
Pentas seni pembacaan puisi tak lagi sekadar kesan hura-hura. Ia adalah sebuah perjuangan, perjuangan melalui bait-bait doa. Ya, Doa untuk Palestina yang menampilkan puluhan penyair membacakan puisi bukan sekadar untuk unjuk diri bahwa mereka mampu baca puisi. Lebih dari itu, Doa untuk Palestina adalah sebuah aksi peduli. Bahwa sastra dan terkhusus puisi selalu punya cara untuk bersikap. Punya gaya untuk bersuara. Di sinilah mengenang kembali ungkapan, “Bila politik bengkok, sastra meluruskannya.” Doa untuk Palestina di mata para penyair tak ubahnya panggung perang berurai air mata. Bahkan, perang emosionalnya lebih kuat tinimbang apa yang dilakukan Hamas dengan intifadahnya. Puisi-puisi mampu mengetarkan jiwa, melebihi batu-batu yang dilemparkan berdepa-depa. Doa-doa adalah senjata-senjata paling kuasa, dibandingkan tendensi politik berbungkus militansi.
Yah, pada akhirnya kita harus menyimak catatan-catatan selepas Do’a untuk Palestina. Betapa Palestina tetaplah sebuah wajah dunia, sebuah jiwa milik semua. Seperti ditulis Kang Maman, seorang budayawan dan pegiat literasi dalam akun medsosnya, ia menegaskan bahwa dalam alinea pertama Pembukaan UUD 1945 dinyatakan KEMERDEKAAN ADALAH HAK SEGALA BANGSA. Dan karenanya, penjajahan di muka bumi harus dihapuskan. “Tiga puluh lima tahun lalu, almarhum Gus Dur menggagas acara Doa untuk Palestina di TIM. Di antara yang hadir adalah Gus Mus, Taufik Ismail dan Abdul Hadi WM juga Renny Djajusman. Alhamdulillah, semalam, di acara yang sama yang kali ini digagas Gus Mus dan menantunya, mereka kembali hadir mengisi acara bersama sejumlah penyair lainnya, “tulis Kang Maman.



(Perempuan Palestina dan Anaknya menjadi korban konflik berkepanjangan di Palestina, 
menjadi latar panggung Doa untuk Palestina. Sumber: facebook Kang Maman)

Kang Maman berharap lebih dari Doa untuk Palestina. “Akan sangat alhamdulillah, jika Palestina benar-benar merdeka. Seperti lantunan doa Gus Mus di penghujung acara. Agar siapa pun yang dzalim dan mendzalimi di muka bumi ini mendapatkan murkaNya. Dan yang terdzalimi terbebaskan. Palestina saudara kita yang juga warganya menggambarkan keberagaman seperti halnya kita. Negeri yang ikut mendukung kemerdekaan kita 72 tahun lalu. Tapi mereka sendiri belum merdeka sampai kini,” ungkap Kang Maman.
Di antara sekian puisi yang dibacakan malam itu, Kang Maman terkesan dengan sebuah puisi karya penyair Palestina berjudul RISALATUN ILALLAH (SURAT UNTUK TUHAN) ditulis penyair Samih Al Qasim, seorang pujangga Nasrani, Palestina, sungguh mengiris jantung kalbu. Puisi tersebut berbunyi:
...
Wahai Bapa kami penguasa alam
Beribu-ribu iman kami kepadaMu dan seterusnya
Dari ladang-ladang kesengsaraan
Kalimat-kalimat kami melesat.
Dari lautan yang tak lagi berpulau
Tak ada lagi yang tersisa
Kecuali layar-layar ingatan yang menyakitkan
...

Selain itu, Kang Maman juga tercekat saat Acep Zamzam Noor penyair putra KH Ilyas Ruhiyat membacakan puisi kanak-kanak Palestina berbunyi:
...
Kucing senang berkeliaran di jalan
Tapi, seliar-liarnya kucing
Ia punya rumah yang dibanggakan

Burung-burung punya rumah
Yaitu sarang burung yang indah

TAPI
ORANG PALESTINA TIDAK PUNYA RUMAH!
KEMAH-KEMAH DAN TENDA
BUKANKAH RUMAH
ATAUPUN
KAMPUNG HALAMAN
....
“Ah, teringat kembali kalimat: kemerdekaan adalah hak segala bangsa, yang bersirobok dengan gambar-gambar anak Palestina yang melawan pendzalimnya dengan menggunakan ketepel, dan tulang tangannya dipatahkan.  Dan satu yang masih terngiang di telingaku, doa Thahir Hamad, Konselor Kedutaan Palestina untuk Indonesia. Semoga Indonesia selalu berjaya, dan bersatu. Umat Islam, Nasrani, Hindu dan Budha dari Aceh sampai Papua hidup damai bersama 'under' Merah-Putih". Thanks Ienas Tsuroiya!” ujar Kang Maman. 
Catatan lain diberikan Ahmad Fikri AF, Budayawan Yogyakarta yang juga pengusaha dan pegiat buku di Yogyakarta. Ia menulis dalam akun medsosnya, “Saya apresiet dengan inisiatif sahabat Ulil Abshar Abdalla atas acara Malam Doa untuk Palestina, dengan pementasan pembacaan puisi karya-karya penyair Palestina yang dibacakan para penyair, budayawan dan tokoh publik di Taman Ismail Marzuki. Ini seperti siraman air sejuk di tengah hiruk-pikuk kekacauan cara berpikir dan serbuan hoax tentang persepsi yang tidak sepenuhnya benar tentang Palestina. Lebih dari itu, buat saya sendiri, acara ini memberikan dorongan yang kuat kepada para sastrawan berlatar pondok pesantren untuk berkiprah lebih jauh. Pementasan tadi malam sepenuhnya menunjukkan visi santri dan cara mereka melihat masalah dengan jernih. Bagaimanapun sastra (puisi) lebih kaya dan kreatif dalam menawarkan solusi atas cara berpikir. Acara tadi malam menginspirasi kita untuk melihat bagaimana geliat sastra dalam tradisi orang-orang pesantren sebagai sesuatu yang ‘living’,” tulis Fikri.



(Sumber: akun facebook Fikri AF)

Fikri mengapresiasi tampilnya Gus Mus, KH. Dzawawi Imron, Quraish Shihab, Abdul Hadi WM, Jamal D. Rahman, Acep Zamzam Noor dan Ulil, serta Prof Mahfud MD, Najwa Shihab, Reny Jayusman, Sosiawan Leak, Penyair Taufik Ismail, Butet Kartaredjasa, Joko Pinurbo, Fatin Hamama dan Sutardji Calzoum Bachri.
“Meskipun pada akhirnya, tidaklah penting melihat atraksi pementasan pembacaan mereka atas puisi-puisi. Tetapi, bagaimana pementasan dihelat memberikan ruang apresiasi yang besar. Ia memberi konteks atas adagium lama: ketika politik kotor, sastralah yg membersihkannya. Di sini, inisiatif kaum santri menjadi signifier di tengah hiruk pikuk,” tambah Fikri. Fikri member apresiasi lebih kepada para panitia, khususnya Alissa Wahid, Putri Gus Dur yang sibuk menyiapkan gelaran fenomenal yang menggetarkan tersebut.
Selain Alissa Wahid, sosok yang tak dapat dilepaskan dari suksesnya gelaran Doa untuk Palestina adalah Ienas Tsuroiya, putri Gus Mus. Menurut Ienas sendiri, awalnya ia sempat skeptis, apakah mampu mengadakan acara besar dalam waktu yang singkat. Maklum, acara sejenis dalam skala sebesar disiapkan dalam waktu berbulan-bulan, mulai dari menyiapkan konsep acara, menyusun kepanitiaan, dan seterusnya. “Kami kemaren bisa dibilang "shortcut". Beberapa kali rapat ya mengalir saja. Yang berperan sebagai pimpinan rapat awalnya Mas Ulil, tapi tak jarang diambilalih Mbak Alissa, karena MasUlil harus menyelesaikan tugas yang nggak kalah penting: menerjemahkan beberapa puisi karya penyair Palestina,” tulis Ienas dalam akun facebooknya.



 (Seorang hadirin gelaran malam baca puisi Doa untuk Palestina sedang selfie dengan latar background Palestina. Sumber: facebook Ienas Tsuroiyo dan Ackie Udin)

Ienas mengisahkan bahwa sampai hari H, bisa dibilang semuanya bekerja melebihi lingkup tugas yang tertera di leaflet/buku program. Ia mencontohkan Alissa yang tercantum di bagian "Akomodasi". “Tapi yang dikerjakan, much more than that. Karena jaringan pertemanannya sangat luas. Mba Alissa sering berperan sebagai "dewi penolong" alias problem solver,” kisah Ienas. Ienas juga menceritakan bagaimana ia harus mengontak para pengisi acara untuk keperluan akomodasi, ikut cawe-cawe ke bagian "kehumasan", khususnya Ticketing/Undangan.
“Memang acaranya gratis dan terbuka, tapi untuk memudahkan pengaturan tempat duduk, diberlakukan sistem Reservasi. Baru dua hari pendaftaran untuk reservasi dibuka, semua seat yang tersedia untuk umum sudah ludes dipesan. Yang tersedia hanya yang diamankan untuk undangan. Jumlahnya cukup besar. Saya pun berinisiatif untuk "menyisir" daftar undangan dan mengontaknya satu-persatu. Tentu dibantu mas Ulil dan beberapa teman,” tutur Ienas.  


 (Kyai A Mustofa Bisri, Gus Mus, yang juga Budayawan dan Penyair Sepuh, menyempatkan diri melayani photo dengan seorang hadirin. Sumber: FB Nisfu Syawaludin Tsani)


Bahkan, ketika hari H, Ienas sempat khawatir tempat duduk tidak mencukupi. Beberapa orang di daftar tercatat 1 orang, ternyata datang bersama pasangan. Ada peserta yang hadir bersama dua orang teman, dan sebagainya.  “Ketika acara dimulai, pas momen menyanyikan lagu Indonesia Raya, saya berdiri di pinggir panggung tak kuasa menahan air mata. Merinding terharu menyaksikan ruang Graha Bakti Budaya sebesar itu, full house sampe ke balkon, semua berdiri melantunkan lagu kebangsaan dengan khidmat. Alhamdulillah,” kesan Ienas.
            Sementara itu, seorang hadirin bernama Fahd Pahdepie membagi kesannya melalui akun pribadinya yang dishare kepada panitia. “Semalam menghadiri #DoaUntukPalestina. Acara yang luar biasa. Bravo untuk Gus Mus, Ulil Abshar Abdalla, dan Ienas Tsuroiya.  Banyak momen 'mrebes mili' saat mendengarkan para penyair dan tokoh membaca puisi berbahasa Indonesia dan Arab.  Buat saya, yang paling menyentakkan ada puisi yang dibacakan Reni Djayusman, Fatin Hamamah, dan Pak Quraisy Shihab serta Najwa Shihab. Terpenting, malam #DoaUntukPalestina juga sudah membangkitkan lagi puisi yang sudah lama tertidur di lubuk jiwa saya. Hatur nuhun dan bravo!” ujarnya. 

(Ienas Tsuroiya, Putri Gus Mus, yang juga panitia Doa untuk Palestina (sebelah kiri). 
Sumber: FB Ienas Tsuroiya)


Catatan-catatan selepas Doa untuk Palestina memberi pelajaran berharga, bahwa puisi entoh dianggap tidak efektif mendorong perubahan, dan kadang disepelekan sebagai persoalan khayali, tetapi menempati ruang hati terdalam masyarakat. Puisi adalah suara hati keresahan atas apa yang terjadi. Apalagi dibacakan dalam penghayatan tingkat tinggi, disebabkan puncak keresahan yang tak tertahankan lagi. Indonesia masih berharap kepada puisi. Agar puisi terus peduli. Agar puisi terus berdoa. Tidak hanya untuk Palestina. Tapi juga bangsanya sendiri: untuk desanya, untuk kampungnya, untuk kotanya, untuk pejabatnya, untuk rakyatnya dan untuk nasib Indonesia. (ambau.id)

Comments