CERITA PENDEK SITI NURCHOLIFAH, TUBAN: MENDAHULUI MATAHARI






  (SUMBER: WWW.123RF.COM)

 

Meri hanya meminta matahari tidak datang sebelum Uyut sampai di titik mereka menunggu. Berselonjor di tepi sawah dengan jajaran batang-batang kuning padi menemani pertunjukkan langit sisa malam. Pada Ina, Meri bisikan bahwa sebentar lagi ia akan melihat Uyut dengan kebaya hijau dan jarit yang menggantung di pinggang bengkoknya sambil menenteng satu besek beras. Ya, beras ... Bukan singkong seperti biasanya, itu jatah hidup sehari untuk mereka. Kata Meri.
Tidak ada seperempat kilo, anak-anak seperti mereka tidak butuh makan banyak. Apalagi menuntut lauk daging yang dibalut tepung keriting. Ina tidak tahu apa namanya dan sang kakak berharap jika adiknya tak akan pernah tahu masalah itu.
Nanti akan Meri masak sebentar dan ditaburi garam beras itu. Kalau perlu, jika Ina ingin ada warna lain bisa ia alaskan dengan daun pisang di bawahnya. Mirip di restoran, begitu cerita Meri. Sebuh dongeng subuh tentang sepiring nasi untuk Ina. Rutin, dan syukurlah Ina percaya.
Ina bungah tiap kali Meri sajikan nasi berbentuk gundukan. Alih-alih mirip gunung, ini terkesan mirip kuburan. Mangkuk pemberian tukang bakso langganan tetangganya terlalu besar untuk separuh centong nasi. Tidak bisa dibentuk dan ambyar ke mana-mana ketika dijungkir, sebab nasi buatan Meri jauh dari kata pulen. Meri bilang padanya jika ini gaya penyajian makanan di restoran.  Tempat para tuan dan puan memenuhi perutnya dengan lauk pauk, bukan dengan angin mirip pekerjaan sebenarnya Uyut mereka di kota.
“Kau tahu, Ina, Uyut bekerja di  depan sebuah restoran besar dengan dinding penuh kaca.”
“Mirip dinding rumah kita?”
“Kaca tidak bisa dianyam, Ina. Polos.”
Ina berdecak kagum. Saatnya Meri akan memulai mengulang cerita Uyut untuk Ina tak kurang dari 517 kali sejak mendengarnya kali pertama. Kisah Uyut tentang tempat tembok kaca. Lonceng kecil di pucuk pintu dan senyuman hangat wanita cantik berikat pinggang celemek berenda yang berkibar menutupi selangkangannya.  
“Satu-satunya tempat yang berani bangun bahkan mendahuli matahari.” Kalimat penutup itu seperti misteri bagi Ina.
Seumur hidupnya, Ina tidak pernah jauh dari pintu rumah. Pekerjaannya hanya bermain di depan, main tanah yang dicampur air selokan dan daun perdu di sepanjang jalan desa. Banyak ibu-ibu sekitar sering menegurnya jika sudah bermain. Jari-jari gadis itu tidak jarang akan berbalut lumpur dan kotoran. Merilah yang jadi sasaran kalau nantinya ia pontang-panting menggedor pintu tetangga karena adiknya kermian di tengah malam.
Ujung-ujungnya, tetangga lagi yang direpotkan. Karena Uyutnya tak akan pernah ada sepanjang hari. Hanya dirinya.
Lumpur-lumpur itu bagi Ina hanya surga bermain, membuat kue mirip tuan Haji. Kakaknya, Meri, akan berusaha mati-matian mencari waktu selepas Asar demi bermain masak-masakan bersama adiknya di rumah. Ia hanya pelengkap di sebuah rumah kaya tak jauh dari desa tempatnya tinggal.
Jangan sebuat Meri pembantu walaupun nyatanya ia bekerja membabu di sana. Pemilik rumah itu, tuan Haji, memberinya kesempatan berdiri di rumahnya untuk menyambi memungut sampah di dapur usaha kue bolu miliknya. Kebersihan adalah sebagian dari iman, petuah tuan Haji tertancap di kepala Meri sebagai tonggak utama ia bekerja di sana. Tak apa hanya mengambil dan membuang sampah. Kalau terlalu tinggi jabatannya di sana, Meripun yang akan susah sendiri. Sudah bagus Meri dapat seragam seperti pekerja yang lain tanpa menyodorkan ijasah SD apalagi KTP yang tidak ia punya, jadi ia tak pernah menuntut lebih.
“Aku pernah melihat tiga pria masuk dengan seragam lengkap di badannya, Ina. Ada yang mirip galah Uyut, melintang di punggungnya. Kalau kau ke sana, kau pasti takut, Ina.”
Polisi yang diceritakan Meri tak lain hanya tim sidak dari dinas yang entah Meri bisa mengejanya atau tidak. Ia harus sembunyi jika tak ingin tuan Haji masuk penjara. Pria tua yang menyanggupi memberi uang atau kue gagal terjual untuk jajan setiap ia datang menyapa tong sampahnya. Sebatas kasihan. Hanya itu, tuan Haji tidak pernah meminta lebih pada Meri. Sama-sama harus saling mengerti, kalau saja orang-orang itu tahu Meri ada di sana, habislah sudah. Tidak hanya Meri yang berakhir di dinas sosial, para pengadon tepung juga bisa pulang tanpa pesangon dan paling parahnya tuan Haji pasti tidak bisa naik haji lagi. Bagaikan tim jagal atau malaikat pencabut nyawa, Ina membayangkan pekerjaan kakaknya benar-benar tidak mudah. Oleh sebab itu ia tak pernah berani berkunjung di sana. Cukup di rumah, di luar itu berbahaya, sugesti Meri.
Seperti Uyutnya, yang tak pernah ia tahu seperti apa.
“Aku harus bersembunyi di balik kulkas kalau mereka datang. Lima belas menit sampai mereka pulang.”
Ina menarik satu batang tanaman liar dan memilinnya hingga berputar. Mirip isi kepalanya tiap subuh petang, seperti sekarang.. sepanjang waktu menunggu Uyut datang. “Wah, apa ada esnya? Dingin?” tanyanya sambil menguap lebar. Hampir setengah jam mereka di sana tapi Uyut belum kunjung datang. Meri senang usahanya akan kembali sukses.
“Panas, Ina.” Meri ikut mengambil satu batang tanaman yang sama seperi Ina. Menselonjorkan kakinya memberi ruang Ina lebih nyaman. “Orang-orang pintar itu ternyata bohong. Sama sekali tidak dingin. Tanganku ini sampai melepuh saking panasnya.”
“Tapi, Mbak. Aku pernah melihat orang membeli es batu diambil dari kotak besi besar. Berasap.”
“Itu namanya panas. Api di tungku dapur kita panas, kan? Terus keluar apa?”
“Asap.”
Diciumnya kening Ina penuh sayang. Dalam hatinya hanya ada bisikan kata-kata maaf yang tak pernah ada ujungnya. Setiap ia harus bercerita pasal dunia, dunia kebohongan ciptaan Meri. Ia tahu, ia harus berbuat seperti itu.  Penuh keyakinan jika seragam adalah hal paling hebat di dunia ini. Lain dengan seragam sekolah. Tidak perlu membeli dan membayar tiap bulannya. Seragam pemberian tuan Haji jauh lebih hebat dari seragam putih merah terakhir yang ia pakai.
Lamat-lamat, suara lantunan pengeras suara surau mengisyaratkan Meri untuk bergegas. Adiknya masih terjaga. Tidak ada banyak waktu untuk terus bercerita. Tanaman padi di belakang Meri seolah terus memanggil. Sangat indah, kuning menunduk penuh hormat. Bergoyang-goyang menyapa Meri yang kelaparan.
Sampai Ina bersiut memanggil, matanya tertutup. “Mbak,” panggilnya tak punya daya. “Coba ceritakan tentang restoran itu lagi. Tempat bekerja Uyut itu.”
Meri diam. Kembali melihat sang adik dengan ulu hati nyeri bukan main. Benarkah itu siksaan Tuhan, Meri tidak tahu. Ia pernah belajar budi pekerti dan pendidikan agama beberapa tahun silam. Bahwa sesungguhnya Tuhan tak suka jika mengambil yang bukan hak kita. Tapi bukankah, semua manusia dituntut untuk saling memberi? Untuk menjaga. Ujung-ujungnya bagi Meri itu masuk akal.
“Mbak—“
“Di sana banyak makanan, Ina.” Mulailah Meri mengatur emosi. Ini kesempatan terakhirnya mengantar Ina menuju alam mimpinya.
“Banyak sekali. Tapi untuk bisa masuk ke sana harus berjuang. Seperti yang aku ceritakan, kita harus bangun mendahului matahari kalau mau makan di sana. Kalau siang sedikit, jangan harap kamu bisa makan satu butir nasi di sana.”
Ina tidak bergerak. Dadanya naik turun sekadar memberi ketenangan pada kakaknya ia masih menunggu kelanjutan cerita penutup subuh ini. Sejak enam tahun lalu Ina dilahirkan, ia masih kecil tak bisa tinggi. Mirip ibunya yang tiada di negeri orang. Kata mereka di sana, ibunya memang terlalu pendek untuk jadi babu. Akan susah kalau mau bekerja di tempat tinggi. Alhasil, lompatlah ibunya dari lantai delapan dan mati.
Menyesalnya Meri, dulu ia terlalu mudah untuk percaya bahwa ibunya bisa mati lompat dari atas gedung dengan luka tak masuk akal seperti sundutan rokok, sayatan silet, atau cap ujung setrika di punggungnya. Ia sudah lama tumbuh dengan kebohongan tentang mencari makan. Jauh harus ditempuh di saat ladang di depan mata memberi papan sabda janji seolah siapapun tidak akan ada yang kelaparan. Berkarung-karung diambil tapi ia tak pernah memilikinya sebutirpun.
“Berarti, kita bisa ke sana, Mbak. Sekarang! Mendahului matahari?”
“Tidak bisa, Ina. Sudah ada Uyut yang mewakili kita. Tempat itu besar, anak-anak seperti kita akan kalah kalau ikut masuk.”
Mulut Ina terkulum ke dalam, lehernya bergerak naik-turun menelan sesuatu. “Seperti ibu?” lirihnya berusaha menyimak.
“Iya, kita terlalu pendek untuk meraih sesuatu. Kaca, Ina. Dindingnya kaca. Kalau kita bisa melihat, itu cukup dari luar saja. Tidak lebih.”
Kepala Ina mengangguk dan tersenyum. Meri tahu adiknya lagi-lagi membayangkan seberapa hebat tempat yang terus disebutnya sebagai restoran. Tempat nasi dan daging bertepung di pamerkan di tempat itu.
“Tapi kamu tidak perlu takut, Ina. Uyut akan mengambilkan berasnya untuk kita. Uyut terlalu tua untuk masuk dan mengambil nasi. Cukup beras, nanti kita masak sendiri. Seperti dulu.”
“Nasi restoran.” Ina tersenyum, napasnya semakin teratur.
“Ya, nasi restoran.”
Subuh datang tapi langit masih gelap. Matahari tahu Meri belum siap dengan semua itu. Seret-seret sandal karet memaksa Meri bersikap wajar. Mengangkat tubuh Ina menepi di salah satu kursi bambu. Mengulum senyum dan mengangguk sopan pada siapapun yang lewat. Meri menidurkan Ina di sana. Suara panggilan wakil Tuhan terus berkumandang tidak berhenti sampai beberapa orang datang memenuhi sumber suara di sana. Bersarung dan berkain putih kumal terjuntai turun dari ujung kepala menutupi kaki.
Meri punya kain itu, tapi jarang sekali memakainya. Kecuali ketika di pabrik tuan Haji. Hanya di sana ia mengesampingkan banyaknya dosa untuk sekadar bercerita pada Tuhan.
Sampai semua orang masuk ke surau dan tepekur pada pikiran dan niat masing-masing. Mengadu pada Tuhan dan bergerak mengikuti imam di depan mereka. Hanya saja, Meri tidak sama sekali tergerak untuk itu subuh ini.
“Maafkan aku, Ina. “
Besek kecil di bawah bangku bambu kotor berlapis debu. Seekor jangkrik kecil melompat ketakutan pada Meri ketika dibangunkan dari tidur nyenyaknya. Meri tidak punya waktu untuk terus menunggu matahari. Tapi entah mengapa, ia ingin menikmati surya pagi ini. Apakah tampan seperti mendiang ayahnya atau cantik seperti mendiang ibunya. Meri ingin tahu.
Meletakkan beseknya dan menengadah ke atas. Ia belum pernah menikmati detik demi detik matahari terbit setiap harinya. Yang ia tahu, matahari terbit datang untuk sebuah ketakutan, hanya untuknya dan Ina adiknya. Seolah siap memaki jika melakukannya… ia harus berbohong lagi untuk kesekian kali.
“Ayolah, aku ingin melihatmu hari ini.” Bisik Meri ke langit gelap.
Hampir pagi, yang ada hanya awan gelap. Lingkar kuning di atas sana tidak muncul seperti biasa. Yang ada hanya butir-butir air turun menahan pandangan. Meri menunduk malu. Memalingkan mukanya ke arah hamparan sawah dengan padi menguning untuk melirik sendu ke arah Ina, lantas berbisik pelan.
“Tidak ada matahari pagi ini, Ina. Uyut tidak datang.”
Tanpa Meri ketahui, Ina tersenyum dalam tidurnya. Bermimpi berdiri tepat di depan pintu terbuka restoran bertembok kaca saat matahari bersinar terang tepat di ujung ubun-ubun kepalanya.

++++++++
*Siti Nurcholifah, Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas PGRI Ronggolawe. Kini bergiat di Komunitas Sanggar Sastra (Kostra) Unirow Tuban. Beberapa buku sekumpulan cerpen, novel, esai, dan buku motivasi telah diterbitkan bersama penerbit Jubile Enterprise

Comments