KANG WAHID: CERITA PENDEK MUHAMMAD THOBRONI





(SUMBER: WWW.123RF.COM)

KANG WAHID 


Sebagai lelaki dewasa, harapan Kang Wahid tidak muluk-muluk. Ia hanya ingin memiliki istri, membina keluarga bahagia, dan menikmati sisa hidupnya dengan beribadah kepada Tuhannya. Itu saja. Dan semua itu sudah didapatnya semua. Apalagi yang dicarinya di dunia ini. Harta, tahta, wanita. Semua lengkap dimilikinya.
Kang Wahid menyadari betul bahwa bertemunya sepasang manusia adalah takdir. Takdir untuk menjadi satu ikatan. Dari segala perbedaan, termasuk wataknya. Perbedaan pendapat dan pendapatan adalah hal biasa. Kang Wahid berusaha menjadi penyeimbang bagi istrinya. Ia selalu menutupi kekurangannya dan juga kekurangan istrinya. Kang Wahid berpandangan, di sinilah sebenarnya makna “suami adalah pakaian bagi istrinya dan istri adalah pakaian bagi suaminya.” Saling menutupi dan saling menambah indahnya. Yang terpenting hubungan suami istri dibangun di atas kesabaran dan keinginan saling memahami.
            Sudah pasti ujian dan musibah juga datang. Sama halnya terjadi pada setiap keluarga. Pasti mengalaminya. Dengan bentuk yang berbeda-beda. Apalagi Kang Wahid memahami benar ajaran agamanya. Bahwa suami istri harus saling menyayangi. Bergaul antar keduanya secara patut. Sebelum Kang Wahid menikah, kakeknya selalu menasihati dengan mengutip sebuah dari Al Quran surat An-Nisa ayat 19:  “Dan bergaullah dengan mereka (para isteri) secara patut. Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) kerana mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”  Kakek menjelaskan bahwa ayat tersebut bukan hanya bermakna bergaul sebagai “bersetubuh” atau berjimak. Tetapi, bergaul dalam arti yang luas sebagai anggota keluarga. Sebagai suami dan sebagai istri.
            Banyak kenalan iri dengan Kang Wahid dan keluarganya. Iri dengan harmoni mereka. Iri dengan keserasian Kang Wahid dan istrinya. Memang, di antara kenalan-kenalan itu banyak yang ingin pula rumah tangganya bahagia hingga akhir hayat. Cinta sehidup semati. Namun, rupanya membangun rumah tangga tak semudah omongan seorang motivator terkenal. Tak seindah kata-kata mutiara. Tak seheroik cerita-cerita dalam video-video hikmah. Banyak kisah kenalan Kang Wahid atau istrinya. Rumah tangga mereka rusak di tengah jalan. Perahu rumah tangganya karam di tengah laut kehidupan. Biduk rumah tangganya kandas sebelum tiba di muara impian.
            Seorang kenalannya, kaya-raya, mobil lima mewah semua, rumah megah tiada kira, istri cantik dan anak-anak yang comel. Tapi, mendadak muncul kabar gugatan cerai istrinya sedang disidangkan di pengadilan agama. Kenalannya yang lain, seorang aktivis dakwah, sangat idealis, pendamba kehidupan agama yang luar biasa. Menolak pacaran sebelum menikah. Sebelum menikah mereka menjalani taaruf. Yang lelaki membuat “proposal” rencana berkeluarga kepada pihak perempuan. Pertemuan hanya sesekali, itupun di masjid, dan saling bantu tahsin bacaan kitab suci. Begitu menikah, belum genap tiga hari, teman lelakinya datang ke rumah menceritakan bahwa bahtera rumah tangganya karam mendadak. Ada hal rahasia yang tak dapat diceritakan. Ia memutuskan untuk bercerai dengan istrinya. Kecewa istrinya tidak sesuai yang diharapkan. Tapi di mata Kang Wahid, pasti lelaki temannya itulah yang bermasalah di mata istrinya. Maklum, lelaki teman Kang Wahid itu dikenal berandalan di masa muda, sebelum ia menjalani taubatan nasuha. Mungkin proses hijrahnya belum tuntas, pikir Kang Wahid. Seorang perempuan yang indah matanya, karena hanya mata yang terlihat dari wajahnya, datang ke rumahnya. Perempuan itu teman istrinya. Dengan sembab air mata ia bercerita, ia menyesal tak dapat melanjutkan perjalanan rumah tangga dengan suaminya. Padahal, suaminya seorang penghafal kitab suci, suaranya merdu. Bahkan, ia dipinang dengan bacaan surat Ar-Rahman seperti didambakannya. “Ternyata berkeluarga tidak cukup hanya dengan hafal kitab suci. Kami harus membayar listrik, membayar kontrakan, membayar air, membeli beras untuk makan seadanya, dan sebagainya..” ia berkisah sembari menyeka air mata.
            Namun, tidak semua kenalannya berkisah hal-hal tragis. Banyak juga yang sukses berkeluarga. Ada yang pacaran dari zaman SMA, kuliah, setia kekasihnya hanya satu saja, menikah, beranak pinak, dan masih lancar-lancar saja. Ada pula, zaman sekolah teman tapi mesra, resmi pacaran ketika kuliah, dan menikah setelah lulus, dan rumah tangganya mesra-mesra saja. Ada yang ketika masih SMA malu-malu mau menyatakan cinta, memantau dari jauh adik kelasnya, ketika sudah kuliah terus dikejarnya, dan dinikahinya hingga beranak lima. Dan mereka aman-aman saja berkeluarga. Ada yang tidak kenal sebelumnya, tiba-tiba dijodohkan temannya, belum ada sebulan lamaran, dan sudah beranak dua masih tetap bertahan dalam kemesraan yang mengabadi. Ada juga kenalannya yang jodohnya Cuma di belakang rumahnya, sebab telah mencari jodohnya hingga dibela bekerja ke pulau seberang, tetapi tetap tidak dapat jodoh juga. Akhirnya, ibunya turun tangan dan menjodohkannya dengan tetangga belakang rumah, setelah lama tidak pulang kampung, rupanya gadis kecil di belakang rumahnya telah berubah menjadi bunga desa rupawan baik hati. Dan setelah menikah rupanya juga mesra-mesra menjalani rumah tangga.
            Pendek kata, Kang Wahid adalah teladan suami bagi para lelaki kenalan. Para wanita kenalan dan kenalan istrinya, Kang Wahid adalah tipe lelaki rujukan bagi suami mereka. Tipe bapak yang perhatian dengan anak dan istrinya. Baik dengan orang tua, sahabat dan tetangga. Tidak ada yang kurang.
            Sebab itulah, Kang Wahid kaget luar biasa ketika istrinya menawarinya untuk poligami. Cukup lama ia terdiam dengan mata tak berkedip memandang istrinya. Apalagi tawaran itu diberikan selepas mereka berjimak dalam waktu lama. Bahkan, istrinya sangat bersemangat kali ini. Apakah gara-gara akan menawarkan poligami lantas membuat istrinya sangat bersemangat saat berjimak tadi? Kang Wahid masih diam. Tak habis pikir. Apa yang sedang dipikirkan istrinya. Kang Wahid seperti teringat sapaan facebook setiap hari, “Apa yang anda pikirkan?”
“Ada apa, Sayang?” ia mencoba menegur pelan.
Tapi istrinya hanya tersenyum. Sambil mengedipkan mata. Kang Wahid hanya diam sebab ia paham bahwa istrinya hanya nge-tes. Seperti biasa, menguji kesetiaannya sebagai lelaki.
“Apakah engkau tak percaya dan yakin dengan kesetianku ini, Sayangku? Apakah tidak cukup jiwa dan ragaku sudah kuserahkan kepadamu selama ini Apakah tidak cukup lahir batinku kupasrakan kepadamu pagi siang malam kepadamu selama ini? Hanya Tuhan dan ibuku saja yang dapat mengalahkan rasa cinta dan kasih sayangku kepadamu,” ujar Kang Wahid.
Istrinya hanya senyum. Bahkan manis sekali. Cantik sekali wajah istrinya selepas jimak kali ini. Kang Wahid bertambah curiga. Ada apa dengan istrinya.
“Kalau Kang Wahid mau, calon madu ini cantik sekali. Muslimah sholihah. Baik hati. Aku tak masalah berbagi cinta dengannya kok, Kang.” Ujar istrinya.
Kang Wahid memandang tajam istrinya.
“Dik, menikah dan perkawinan itu jalan agar kita memiliki seseorang yang menemani hingga akhirat. Pacar dunia akhirat. Sahabat dunia akhirat. Sehidup semati. Perkawinan bukan hanya perjanjian dan kontrak di atas kertas. Ia adalah tanda cinta sepasang jiwa yang berbeda. Mengikatkan diri dalam sebuah pernikahan. Andai cinta itu retak, tak seindah dulu, kita harus tetap mempertahankannya. Misal yang manis jadi pahit, yang cantik jadi jelek, yang tampan jadi kucel, yang ramah jadi judes, harus tetap diperbaiki. Itu namanya cinta. Bukan diukur dari berapa lama pernikahan. Tetapi, ibarat bunga, ia harus terus dipupuk, dirawat agar subur, mekar, berbuah, dan hingga berganti tunas baru kelak setelah kita tiada,” ujar Kang Wahid menasihati istrinya. Ia khawatir terjadi apa-apa dengan istrinya. Sebagai suami, ia harus mengingatkan.
“Aku paham, Kang. Justeru itu. Aku ingin keluarga kita bertambah satu anggota lagi, agar bertambah semarak!”
“Tapi tidak ada alasan untuk mengubah keluarga kita, Dik. Kamu masih cantik. Masih mampu melayani. Aku juga masih gagah. Masih kuat meladeni. Berapa ronde setiap malam. Aku juga tak pernah membiarkanmu kecapekan. Cuci baju, masak, menyapu. Aku selalu membantu. Mengapa harus ada madu? Mengapa harus berpoligami?”
“Bukan itu, Kang.”
“Lalu apa? Apakah tidak boleh aku ingin menjadi seperti Baginda Nabi Muhammad? Begitu cintanya kepada Khadijah. Kala Khadijah sakit, Baginda tiada pernah meninggalkan Khadijah. Ujian Muhammad dan Khadijah ketika berjuang menjalani hidup memperjuangkan idealism dan gerakan. Itu masa yang luar biasa. Indah sekali. Aku ingin seperti itu. Cinta sejati mereka tetap hidup tak pernah mati. Meskipun Khadijah wafat, kenangan tak pernah sirna.”
“Itu alasan Kang Wahid. Aku juga punya alasan. Bukankah Kang Wahid pernah mendengar pesan Baginda Nabi Muhammad, ‘sekiranya aku (boleh) memerintahkan seseorang bersujud kepada manusia, niscaya aku perintahkan seorang isteri bersujud kepada suaminya? Aku ingin tawaran ini menjadi jalan ibadahku kepada Tuhan, Kang. Aku ingin bersujud kepadamu dengan cara yang berbeda. Yakni menawarimu poligami. Sesuatu yang berat bagi banyak wanita lain. Tapi, bukankah pada ibadah yang berat juga terkandung banyak pahala?” tegur istrinya tersenyum. Kang Wahid heran, mengapa istrinya terus tersenyum. Justeru Kang Wahid menjadi bertambah curiga. Maklum, biasanya di saat begitu ada ujungnya. Kalau tidak mengajak jalan-jalan, ya minta ditransferkan belanja online langganan. Entah pesan sepatu, pasminah, gamis, atau  apa saja. Tapi, istrinya tampak tidak menyembunyikan sesuatu. Tidak merahasiakan sesuatu. Masih sama dengan saat pertama dikenalnya. Selalu jujur. Terbuka. Apa adanya. Tidak menutupi sesuatu dengan jaga image, atau apapun istilahnya.
“Tidak, Dik.” Akhirnya Kang Wahid berbicara.
“Kenapa, Kang? Aku rela kok, Kang. Aku yakin Kang Wahid adil. Kalau syarat mampu, Kang Wahid sudah sangat mampu, meski menghidupi istri sepuluh dan anak sekabupaten.”
“Aku tidak sanggup, Dik. Biarlah itu menjadi dosaku, bila memang penolakanku ini tidak menjadikanmu ikhlas. Aku rela masuk neraka gara-gara menolak tawaranmu berpoligami. Cukuplah kamu saja. Cukuplah kamu di dunia. Dan cukuplah kamu di akhirat. Biarlah banyak bidadari di dunia. Dan biarlah banyak bidadari di surga. Tapi hanya ada kamu di dunia. Dan hanya ada kamu di akhirat. Cukup itu. Semoga ini menjadi caraku beribadah kepada-Nya.”
Istrinya menangis sesenggukan. Tapi tersenyum. Mereka kembali berpelukan. Dan melanjutkan ibadah ronde berikutnya. Menambah pahala demi pahala.

Comments