CERITA PENDEK SUPANDI, NUNUKAN: FAIRAH





(SUMBER: WWW.123RF.COM)


Seperti kata alam, memintamu menjamu yang sedang hilang, yang senang meratap. Aku dan senyum membeku pada subuh yang masih hening merekah. Wajah bumi yang asri terlihat bahagia. Dimana-mana terlihat keributan hati yang sedang di pertontonkan oleh hamba-hamba yang merasa berdosa. Begitupun aku, yang terus berburu cinta sang khalik. Sampai waktu dan jamku tak berdetak dan berputas lagi.
Bertemu dengan kedinginan yang menyejukkan hati serasa terbangun dari tidur yang fana. Wajah dan tubuhku bergetar memanjatkan syukur atas nikmat tuhan yang berharga. Aku layangkan tubuh dan memanjat doa seperti hamba lain, tidak lain hanya meminta kebahagian yang sesungguhnya. Kala tuhan memanggil arwah yang sedang singgah mengais bekal akhirat ini, aku sudah tak getar dan sempoyongan tak tahu arah. Langit mengaminkan dan angin membawa doa jauh menuju surga. Semogalah.
Aku yang masih sebagian nafsu dan nafas masih di dunia, bukanlah tak berdosa. Jasadku masih penuh dosa dan selalu yang ku harap mendapat kerendahan hati oleh tuhan, memaafkanku dengan ikhlas. Jika mengingat atas bayangan masa lalu, aku menangis, seperti merasakan luka yang tak sembuh-sembuh meski telah ribuan tahun berlalu. Masih melekat wajah-wajah bringas yang berjalan bersama setan jin, mencabut nyawa manusia seolah sebagai malaikat utusan tuhan, tanpa pandang pedih, sedih dan tangisan yang mengiringi pelepasan itu. aku tak kenal tuhan saat itu, yang ku kenal hanya bahagiaku dan caraku bahagia. Sudah berapa roh yang telah ku usir dari jazadnya dengan tangan kotorku. Mungkin sudah berpuluh atau beratus nyawa telah ku hantar menuju akhirat. Sungguh biadab memang. Hingga pada akhirnya, tuhan memperkenalkan aku dengan takdir baik, pengubah bahkan pembolak balik kehidupanku. Iya kini ku kenal dengan sebutan istri. Namanya Fairah. Wanita yang telah yatim piatu di depan matanya dan di tanganku sendiri. Aku sudah tak ingat, orangtuanya adalah korbanku yang ke berapa. Saat itu, aku dengan amarah dan kebiadapan menghilangkan sendiri orang yang pada akhirnya akan menjadi mertuaku bahkan di depan wanita yang saat ini ku panggil istri. Aku masih ingat, wajah Fairah saat itu  ditutupi oleh air mata dan selembar kain cokelat menempel kepala sambil sesekali di tiup angin kemarahan. Matanya mengutukku bertubi-tubi dengan sumpah serapah. Siapa yang rela melihat kedua malaikat dunianya dihina dengan kematian menyeramkan seperti itu, ia marah dan sempat menyerangku dengan kehinaan yang membuat aku seakan lemah, lemah selemah-lemahnya. Memang betul, lidah adalah benda paling tajam di dunia. Bahkan untuk mereka yang menganggap dirinya paling kuat sekalipun. Aku masih ingat itu, tapi sudah cukup aku mengorek-ngorek aib sendiri. Aku tak ingin memajang kembali potret-potret kelam itu, jangan sampai aku semakin membenci diriku sendiri. Sudah terlalu banyak pembenci untukku, apakah aku tak di izinkan disukai meskipun itu hanya diri kusendiri.
Waktu berputar, langit sudah terang bertuliskan kekuasaan tuhan disana. Terbit menjelang riuh yang berkepanjangan sampai fajar menghentikannya. Mulutku masih terlalu cepat untuk berhenti menyebut penyesalan setelah apa yang telah ku perbuat. Asal tahu saja, aku sudah sendiri lagi sekarang, tapi tidak jika tuhan masuk dalam hitungan. Maksudku adalah dia juga telah pergi. Fairah, iya harus menanggung karma yang harusnya menjegatku. Tapi yang ku yakini ia tak sendiri di surga, dia bersama kedua malaikat sejatinya yang telah pergi lebih dulu.
“Maafkan aku Fairah, atas kematianmu. Tenanglah disana, ikhlaskan mereka yang telah  mengakhirimu dari perjalanan di dunia seperti kau memaafkan aku telah mengakhiri kedua orangtuamu. Jika kamu tak ikhlas, lampiaskan saja kekesalan itu padaku. Bunuh saja aku dengan cara yang kamu suka, aku ikhlas, sayang. Tapi jangan dengan memintaku melepaskan cinta di hatiku, aku tidak bisa. Cinta itu telah menyatu dengan ragaku, kau tahu itukan. Tenanglah disana, tunggu aku menyusulmu” lirih yang tak tersempatkan saat kamu menjelang pergi. Semoga tuhan mengaminkan lirihku, menjagamu disana. Hati hening di pelataran, memandang ketidakpastian akan rindu.
“Tenanglah hati, akan ada saatnya rindu menyatu dengan impiannya, cinta”
Sejukku untuk mencoba menyembuhkan kesakitan yang merabah. Seperti itu caraku, sampai malam lagi, sampai wajah langit tak terlihat lagi, hening.

Comments