CERITA PENDEK SUPANDI, NUNUKAN: RINDUKU MEMUDAR
RINDUKU MEMUDAR
Siang yang
panas, terik matahari menjamu semua siswa-siswi baru SMA 1 PINRANG. Di lapangan
sekolah itu terlihat sesak oleh ratusan orang. Berdiam diri, berbaris rapi
seolah menerima jamuan terik matahari yang panas. Dimana-mana terlihat tangan
melambai di sekitar wajah mereka, berharap ada angin datang dari arah itu, sungguh konyol melihat
pemandangan itu. matahari terlalu perkasa bahkan untuk angin topan sekalipun,
suasana akan tetap gerah.
Terlihat para wanita muda dengan sapu tangan merah
muda sibuk membersihkan keringat yang bercucuran diwajahnya, sambil sesekali
mengumpat kepada matahari. Hari yang malang, seperti itulah suasana hari
pertama MOS di SMA 1 PINRANG. Meskipun begitu tidak semua siswa merasa disiksa, lihat saja Saifuddin Dullah, atau biasa dipanggil Saiful.
Wajahnya ceria
dan bersemangat mengikuti masa orientasi itu, meski badan dan wajahnya penuh
dengan keringat, ia tak terlihat terganggu. Dia memang dikenal ceria, bahkan
terlalu ceria sampaikan kata temannya ia tidak pernah menampakkan suasana wajah
selain itu. Saiful juga dikenal sebagai pribadi yang ramah, santun dan juga
pintar. Salah satu impiannya adalah dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang
lebih tinggi. Dia juga dikenal sederhana karena memang dia berasal dari
keluarga yaang biasa-biasa saja.
Hari itu adalah hari yang ditunggu-tunggu
Saiful, menginjakkan kaki pertama kalinya sebagai siswa SMA 1 PINRANG. Bertemu
dengan teman baru yang berasal dari berbagai daerah merupakan salah satu impian
terbesarnya. Begitupun saat ia melihat Alisa Kamaruddin alias Ica, salah satu
siswi baru yang juga sedang berbaris di tengah lapangan. Saiful terdiam
memandang gadis itu,
“Dia
sempurna,wowww!!!!” seru Saiful dengan wajah berbunga-bunga.
Ica seolah menjadi representasi dari bidadari surga , putih, anggun,
berjilbab dan sholehah, garis wajah yang mencerminkan indahnya surga. Siapa
saja pasti akan terpana, tidak terkecuali Saiful. Saat pertama kali melihat Ica
saja, matanya tidak pernah berpaling, tubuhnya bergetar karena jantungnya
berdebar kencang, urat sarafnya mengembang dipenuhi gejolak cinta, suasana
lapangan yang ramai seketika hening, seolah hanya dia dan Ica yang memiliki
waktu itu, sampai begitu lama hingga panggilan-panggilan yang menguap di udara
tak terhiraukan. Ia jatuh cinta, yah jatuh cinta.
Sejak kejadian
itu, pikiran Saiful dipenuhi Bayangan Ica, dimana-mana terlihat wajah Ica, di
piring, di batang pohon, di papan tulis, di klafon, di dinding bahkan wajah
teman wanitanya seolah semua berubah menjadi wajah Ica, luar biasa imajinasi
anak ini. Seakan sadar dari hal itu, Saiful dengan cepat mengucapkan istigfar.
Untuk lebih menenang diri dari gejolak cinta , Saiful pergi ke musolah agar pikirannya dapat stabil
kembali.
Shalat telah
didirikan, lantunan doa sudah terhaturkan, Saiful merasa sudah tenang dan tidak
terbayang wajah Ica lagi. Ketika ingin beranjak dari musolah, untuk kedua
kalinya Saiful melihat Ica yang sedang berdoa dengan kusyu dibalut kerudung
putih, jantungnya kembali berdebar kencang, ia merasakan kembali rasa yang ia
takutkan. Saiful mencoba mengendalikan perasaanya, ia tahu memandang seorang
yang bukan muhrim dengan nafsu adalah dosa besar. Ia dengan begitu cepat
bergegas pergi agar tiada dosa lagi yang tercipta bergabung dengan yang lain
sekedar untuk menghilangkan rasa yang terlalu menggila. Meskipun begitu, ia tak
memungkiri bahwa ia tak dapat menghilangkan bayangan Ica di pikirannya.
Sesekali wajah itu muncul, ia memang sudah jatuh cinta. Rasa itu alamiah, tak
bisa dibuat dan tak bisa dibuang. Jalani
saja karena tuhan akan menentukan.
Saiful mulai
mengikuti kata hatinya, ia mencoba mengenal Ica. Mencari informasi bahkan
sampai menemukan nomor handphonenya. Saat berada di sekolah, ia mencoba mencari
perhatian di depan Ica, saat-saat itu sangat menyenangkan bagi Saiful, saat
dimana seorang lelaki dimabuk cinta, mudah-mudahan cinta karena Allah. Waktu
berlalu cepat, bahkan musim sudah berganti, tak ada lagi tanah yang kering,
rumput layu dan panas berlebihan. Semua seakan sejuk, hujan sesekali turun
untuk menyapa bunga-bunga kamboja yang ada di pot yang berbaris di depan kelas,
seperti halnya hubungan Saiful dan Ica. Ia sudah tak canggung- canggung lagi
saat bertemu dan mengucapkan salam ketika berpapasan. Bahkan lebih dari itu,
tapi tetap mereka akan selalu menjaga jarak dan batasan seorang yang bukan
muhrim. Setiap hari handphone mereka selalu dipenuhi sms,chat perhatian, jangan
lupa shalat, tidur jangan terlalu malam dan hal-hal yang anak muda sering
perbincangkan. Mereka yakin, jika kelak tuhan mengizinkan, mereka akan bersama.
Berkontak fisik hal yang paling utama mereka harus hindari. Agar tuhan tidak
murka akan cinta mereka, itulah yang harus ia jaga, sampai kata muhrim sudah
mereka genggam bersama.
Tak terasa,
tahun demi tahun berlalu, Saiful dan Ica
tetap menjaga prinsip mereka dalam menjalani hubungan itu, tetap istiqomah di
jalan Allah dengan menjaga batasan-batasan sebagai pasangan yang belum muhrim.
Sampai pada saat mereka lulus SMA, waktu yang sangat membahagiakan untuk
mereka, dan kedua orangtua mereka, terlebih Ibu Saiful yang sangat bangga
kepada Saiful karena menjadi lulusan terbaik. Meskipun seorang single Parent
dan hanya tamatan SMP, ibu Saiful mampu mendidik anaknya hingga sampai lulus SMA dan berprestasi, apalagi
Saiful ditawarkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang perguruan
tinggi. Sungguh berkah dari Allah.
Meski
kebahagian telah merekah di wajah-wajah
mereka, terbesit rasa sedih di hati Saiful dan Ica. Saiful akan pergi
melanjutkan kuliah di luar kota dan Ica tetap tinggal di kampung. Itu berarti
mereka akan berpisah, menjalani hubungan yang sedang membara-baranya, sungguh
hal yang sangat sulit dilakukan. Mereka akan menanggung rindu yang akan datang
setiap waktu. Meskipun begitu, Saiful dan Ica sudah berjanji, cinta mereka ada
karena izin tuhan, maka ketika cinta itu mendapatkan cobaan, mereka harus dapat
melewati dengan sabar, meski rindu menggebu-gebu, ada saat mereka akan bertemu.
Pagi itu hujan
turun, suasana dingin menyelimuti semuanya, ranting menggigil, wajah daun
berubah beku, dan katak berpesta pora pada lumpur yang sempat kering dulu.
Wajah ica juga basah, ia tak mampu
menanggung terlalu banyak perih setelah kepergian Saiful ke luar kota.
Rindunya bahkan sudah menggunung, membuncah dan tumpah kemana-mana seperti
hujan pagi itu. ia tidak yakin bahwa ia mampu menahan terlalu lama rasa itu.
kelak jika ia sudah putus asa, ia akan pasrah pada keadaan yang memilukan itu.
saat Ica tengah pilu, Handphonenya berdering, itu pesan dari Saiful.
“ Assalamu
Alaikum, Bagaimana kabarmu? Maaf baru memberi kabar, karena setelah aku sampai
disini, aku sibuk mengurus barang sampai
lupa memberi kabar padamu, ku harap kamu baik-baik saja!”
Seperti itulah
isi pesan dari Saiful, wajah Ica sedikit berubah, ada sedikit senyum yang
tergambar disana. Setidaknya ia sedikit lega sekarang karena rindunya mulai
redah. Lagipula ia harus percaya bahwa tuhan menyaksikan semuanya. Tak pantas
jika harus merindukan seorang lelaki yang belum menjadi muhrimnya. Tanpa sadar,
waktu berlalu dengan cepatnya, hujan mulai redah dan matahari mulai muncul dari selah-selah awan
yang tadinya menghitam kini mulai berubah warna.
Sejak saat itu,
Saiful dan Ica sering berbalas pesan, bahkan sesekali menyapa melalui panggilan
telepon. Bukan hanya sekedar memeras rindu, tapi juga untuk saling mengingatkan
agar jangan ada diantara mereka yang kelak akan menghianati cinta.
“Biarlah jarak
akan menguatkan hubungan kita, yang penting kamu harus jaga diri baik-baik.
Setelah aku lulus nanti, dan sudah berpenghasilan aku akan datang untuk
menghalalkanmu” bisik Saiful saat mereka berbincang lewat telpon. Ica hanya
menjawab singkat. Mungkin iya tidak yakin bahwa ia akan sanggup bertahan untuk
waktu yang begitu lama. Semua hal telah di perbincangkan, mereka menutup telpon
dengan salam.
Waktu bergulir
dengan cepat, fajar dan senja berganti memutari hari demi hari. Musim hujan
juga awet, hampir setiap hari wajah bumi basah, tidak malam maupun siang. Hujan
adalah teman paling setia Ica, tempat Ica menumpaskan isi hatinya, menangis,
bahkan tempat mengirim rindunya kepada Saiful. saat ini mereka agak jarak
berkomunikasi karena Saiful sedang sibuk dengan Kuliahnya. Tapi ica memaklumi
itu, ia akan membiasakan hari-hari
seperti itu, bukankah calon suaminya sedang berjuang? Ia hanya bisa mengirim
doa dari jauh agar semuanya berjalan dengan lancar. Tapi saat tiba malam itu,
ketika datang seorang lelaki di rumah Ica. Namanya Dimas, anak sulung kepala
desa tempat Ica tinggal. Ia tampan dan juga terhormat, bahkan semua orangtua di
desa itu ingin menjadikannya sebagai
menantu, terlebih ibuku, ia telah lama mengidamkan menantu yang kaya agar dapat
mengangkat derajat keluarga. Malam itu, Dimas datang dengan maksud
mempersunting Ica dan orangtua Ica mengiyakan tanpa bertanya sebelumnya kepada
Ica. Mendengar kabar itu, Ica tersungkur di lantai dapur, wajahnya sudah basah
oleh air mata, tubuhnya bergetar, ia telah kalah dan ingkar akan janjinya pada
Saiful.
Sejak saat itu,
ia tak pernah menjawab telpon ataupun membalas pesan Saiful, ia malu dan merasa
bersalah atas semua yang terjadi. Meski sudah membicarakan dengan orangtuanya,
Jawaban Ibu Ica sangat melukainya.
“Kamu mau
tunggu laki-laki yang tidak pasti? Iya bahkan baru kuliah sedangkan Dimas, ia
sudah berpenghasilan tinggi dan kelak akan membahagikanmu” jawab Ibu Ica dengan
cepat. Ica tak dapat berkutip lagi. Satu yang ia sesalkan, kenapa ibunya
menilai sebuah kebahagian dari segi uang, suatu pemikiran yang terlalu dangkal.
Saiful tetap
sibuk dengan kuliahnya, ia tidak tahu hubungannya dengan Ica sudah di ujung
tanduk. Ia baru menyadari ada yang berbeda dengan Ica, panggilan telepon dan
Pesannya sudah tak pernah dibalas Ica. Ia mulai gelisah, hatinya mulai mengira-ngira pada hal
yang buruk terjadi. Disamping itu, ia juga harus mempesiapkan diri untuk UAS
yang akan dilakukan Minggu depan. Pikirannya sudah kemana-mana, puluhan
panggilan dan pesan tak ada yang dibalas oleh Ica. Ia mulai berontak, memukul
dinding, dan menyakiti dirinya sendiri.
Ia sudah tak peduli dengan kuliahnya.
Ia kehabisan akal untuk itu. hari-hari Saiful begitu sulit, tak ada kabar
sedikit pun dari Ica. Ia terpaksa menelepon Lia, teman Ica yang ada di kampung,
tapi Lia tak memberi kabar apa-apa. Ia hanya bilang “ kamu harus tahu itu
Langsung dari Ica”. Saiful makin menggila, bahkan ia tidak pergi saat Hari UAS
terakhir. Hari itu ia sudah tak tahan dengan, ia memutuskan untuk kembali ke
kampung halaman. Selama beberapa jam dalam perjalanan, iya akhirnya sampai.
Kampung itu masih seperti pada saat Saiful pergi, hanya saja sedikit sepi.
Tanpa berpikir panjang, ia langsung ke rumah Ica, sesampai di depan rumah Ica,
ia kaget, melihat hiasan sudah terpasang dengan indah pada setiap sudut rumah
Ica. Hatinya patah, jatuh berkeping-keping, tubuhnya langsung tak berdaya, ia
tersungkur di atas tanah dengan wajah basah. Ica adalah Anak sematang wayang,
kalau bukan dia yang menikah siapa lagi?. Sungguh ia menyesal telah percaya bahwa
cintanya tak akan pernah terhianati. Ia sudah terlalu percaya kepada Ica,
bahkan melebihi kepercayaannya pada dirinya sendiri. Ia tak sanggup menanggung
luka yang terlalu perih itu, bahkan saat yang bersamaan, masih ada segudang
rindunya yang masih tersimpan dipelupuk hatinya. Sungguh tega, kepercayaanku
telah dia hancurkan. Sakit..sungguh sakit.
Saiful memilih
pergi dari tempat itu, ia tak ingin berlama-lama menanggung luka. Ia hanya
berharap kelak Ica akan bahagia bersama dengan lelaki pilihannya, meski perih
ini tak akan pernah sembuh bahkan jika
waktu bergulir denga cepat sekalipun. Ia akan menyimpan luka itu, sebagai
kenangan bahwa ia pernah mencintai dan dicintai oleh serang wanita.
Comments
Post a Comment