CERITA PENDEK RAHMI NAMIROTULMINA, PASER KALIMANTAN TIMUR: SEPASANG LUKA DI TAMAN KOTA



CERITA PENDEK RAHMI NAMIROTULMINA, PASER KALIMANTAN TIMUR: SEPASANG LUKA DI TAMAN KOTA




SEPASANG LUKA DI TAMAN KOTA

 
Ini pesananmu!. Kuletakkan buku kumpulan puisi Hujan Bulan Juni yang ditulis Sapardi Djoko Damono. Tak lupa di atasnya kutaruh juga bunga lily. Bunga asli. Bukan bunga kertas ataupun bunga plastik. Tak lupa kupercantik dengan beberapa helai pita  berwarna jingga. Bagaimana bisa aku merangkainya? Entahlah.. yang jelas aku merangkainya sendiri.
Melihat itu matamu membulat dan kamu memelukku
“ Banyak orang.. malu.” Begitu kataku. Berharap kamu melepaskan pelukanmu karena memang di taman ini tidak hanya ada kita. Ada bangku bangku batu tua, rumput liar, dan  tentu saja bunga-bunga. Ada yang duduk kikuk bersama calon mertuanya. Ada yang asyik makan jagung bersama anaknya. Bahkan ada yang terlihat merenung sendiri. Mungkin saja nasibnya masih lebih manis direnungi ketimbang dijalani.  Dan pastilah tidak ada orang yang memahami kita. Tidak ada orang yang suka melihat kita berpelukan di taman kota. Tidak ada. Celakanya tanganmu makin kuat melingkar di pinggangku dan kamu makin membenamkan lebih dalam lagi kepalamu di dadaku. Sudah jelas aku kalah. Karena hangatnya pelukanmu segera melumpuhkan sendi-sendiku. Bagai di sengat listrik aku tergeragap lalu lemas.
Jadi aku harus mencium rambutmu karena itu satu satunya cara supaya kamu melepaskan pelukanmu.
 “ Nekat kamu.. Gimana kalau ada yang  lihat kita. Terang saja aku agak tegang.
“Wajarlah kalau ada yang lihat. Kalau ga ada yang lihat,  berarti kita ini dua roh penasaran yang kesepian. Bertemu di keramaian tapi tembus pandang. Horor kan?” Katamu sambil memegang tanganku. Lalu seperti biasa menempelkan tanganku di pipimu, dilehermu, dibibirmu. Menciuminya begitu syahdu. Sebenarnya apa yang kamu cari dari tanganku? Apa yang kamu rasakan dari jemariku?
“Aku merasa kamu ada.“ Begitu jawabanmu ketika suatu hari kutayakan  kenapa tingkahmu seperti kucing yang suka menggosok-gosokkan  ekornya di kaki majikannya.
“Kucing menggosokkan tubuhnya untuk mengeluarkan hormon feromon. Hormon itu digunakannya untuk berkomunikasi. Dengan menggosokkan tubuhnya, ia mengklaim ‘milik si manis, jangan sentuh’. Pun aku padamu.  Kamu, analogimu selalu membuatku istimewa.
 “Buku puisi dan bunga, bagaimana rasanya?” Tanyaku.
“Sempurna! Rasanya seperti mau meledak, senang sekali.“ Jawabmu sangat bersemangat
“ Jangan memelukkku lagi. Malu !” Suaraku lebih tegas sekarang ketika kulihat kamu hampir sekali lagi menyerbu tubuhku.
“Galak banget sih.” Katamu tersenyum nakal sambil mengedipkan sebelah mata.             Senyuman dan kedipan matamu itu adalah kombinasi sexy classy yang selalu menewaskan kewarasanku. Hormon testosteronku biasanya  bergemuruh setelah itu. Lalu ada yang menggeliat dibalik celanaku. Membuatku meringis. Gara gara sering meringis dan aku tidak mungkin mengatakan kepadamu sebabnya akupun sering  mengajakmu tidur dan kamu selalu menolak.
“Banyak dari mereka yang tidak saling mencintai bertemu di ranjang. Akibatnya bercumbu menjadi kosong dan melelahkan.  Berbeda dengan kita , kita saling mencintai . Kita akan merasakan dewa-dewi turun dari khayangan memberi restu.  Begitu rayuku meniru bahasa bahasa pujangga.
“Gila mas ini..! Tanpa pernikahan hanya iblis jomblo yang akan memberi restu.” Katamu sambil terkikik lalu menyentuhkan bibirmu ke bibirku. Setelah itu kita berpagutan begitu lama. Tak lagi peduli. Dewa atau setan menjadi saksinya. Lantas pulang. Tidak ada ranjang. Tidak ada. Aku sedikit kecewa. Tapi aku tidak pernah berencana memaksamu. Karena menurutku memaksa  itu hanya bagi mereka yang sudah putus asa.  Jadi kerlingan matamu, pelukanmu, pagutan bibirmu saja sudah cukup. Maksudku kucukup-cukupkan.
“Kenapa harus puisi dan bunga?”
‘”Karena mereka bisa mengobati luka.” Katamu. “Luka akibat cinta.Kalau kamu sudah bicara cinta, aku sangat terpesona. Seperti memandangi pelangi berguguranlah semua beban di hati.
“Kalau hatimu terluka karena cinta, puisi  adalah obatnya. Kamu bisa membaca atau menulis puisi. Bila puisi itu menceritakan betapa cinta telah memporak-porandakkan manusia berarti kamu akan mendapat hiburan. Kamu akan merasa punya teman. Sebab di luar sana begitu banyak orang yang babak belur karena cinta. Andaipun puisi itu menceritakan keagungan cinta. Kamu akan mendapat cahaya. Hatimu yang legam karena dendam akan bersih kembali. Kamu akan mendapat energi putih karena ternyata di luar sana ada cinta yang suci yang masih layak untuk diperjuangkan.”  Ah, kamu, kalau saja tidak ada orang lain di taman ini, aku sudah melumat bibirmu dalam dalam. Bibir yang nampak hangat bila sudah bicara tentang cinta.
“Bunga.” Katamu melanjutkan “Bunga bisa mengobati luka. Bahkan luka oleh apapun. Kalau hatimu remuk-redam, pergilah melihat bunga. Warnanya, aromanya dan kesetiaannya pada keindahan akan menyapu matamu, meniupkan angin segar di hatimu. Itulah sebabnya aku sangat memahami mengapa orang-orang berlomba mengirim bunga ke balai kota. Mereka sedang berupaya menyembuhkan luka. Kalah itu melukai.
“Kok kamu ngomongin pilkada Jakarta sih? “
“Aku ga ngomongin pilkada Jakarta, aku ngomongin luka dan bunga.” Katamu cemberut manja.
                “Kamu tahu aku sangat mencintaimu?”
                “Ya, aku tahu. Dan akupun tahu kalau kamu tahu aku sangat mencintaimu. Katamu
                “Kalau begitu kita berdua tak perlu puisi dan bunga. Kita tidak akan terluka”
                “Justeru kita lebih membutuhkan banyak puisi dan bunga. Sebab cinta kita ini sedang melukai hati kita. Hanya saja kita berusaha mengingkari. Cinta kita buta di tempat terang, buntu di banyak jalan. Cinta kita tersesat di pernikahan kita masing masing.” Katamu murung.
                “Maafkan aku, dulu aku terlalu takut lapar. Jadi aku memberanikan diri menikah dengan orang yang tidak kucintai.” Katamu bertambah murung.
                “Maafkan aku  juga untuk kesalahan yang sama.” aku menjadi lebih murung. Dan tentu saja bangku-bangku batu tua, rumput liar dan bunga-bunga ikut murung.
                “Sudah sore, kurasa istrimu sudah menunggu. Aku pulang dulu ya.” Pamitan adalah prosesi sangat menyakitkan untukku.
                “Alina tunggu.” Lalu aku merengkuh tubuhmu, membenamkan kepalamu di dadaku . Aku memelukmu. Erat dan bertambah erat. Tak perduli ada yang suka atau tidak.
                “Alina.. aku takut sekali ini pelukanku terakhir untukmu. Bisikku, dan kamu membalas pelukanku. Erat dan bertambah erat. Tak peduli ada yang suka atau tidak. Angin terdiam. Senja terbakar. Senja terkapar. Aku dan kamu sama sama merasa sangat sedih.


Kuaro, Mei 2017
               




Comments