CERITA PENDEK RAHMI NAMIROTULMINA, PASER KALIMANTAN TIMUR: CAHAYA KUNANG-KUNANG, SECANGKIR KOPI DAN SENJA
CERITA PENDEK RAHMI NAMIROTULMINA
Cahaya Kunang- Kunang, Secangkir Kopi dan
Senja
“Meskipun kita sudah ga chat lagi, bukan berarti aku ga kangen sama kamu.”
Itu bukan sekedar meme di sosial media. Itu adalah
perasaanku kepadamu. Aku di dera rindu bertubi tubi. Sungguh mati, remuk redam
rasanya. Lalu aku harus bagaimana? Sementara chat-chatku tidak pernah kamu baca.
Aku menumpahkan chat dari androidku berharap androidmu tenggelam oleh chatku.
Dengan begitu kamu akan membaca dan membalas chatku. Ternyata tidak. Androidmu kering kerontang tak terjamah
sedikitpun oleh chatku. Bagaimana bisa? Kurasa begitu androidmu bergetar,
notifikasinya memberi tahumu ada chat
dariku, kamu langsung mendeletenya.
Buktinya chatku bercentang dua dan
tidak pernah biru, meskipun kamu online.
Menyaksikan itu, terhuyung huyung aku menelfon whatsAppmu. Mumpung kamu online, pikirku. Dan di layar whatsAppku
tertulis memanggil. Ada fotomu di sana. Tersenyum. Dan aku selalu saja terbunuh oleh senyummu.
Dua menit whatsappku menyalak-nyalak
memanggilmu sampai dia lelah. Begitu nada panggil berhenti. Kulihat kamu online. Aku menggelepar-gelepar. Bagai
ikan yang terlempar dari kolam. Megap-megap. Kamu sengaja tidak mengangkat
telfonku.
Jadi
begitulah akhirnya perjalanan chat kita.
Berhenti tanpa kata kata. Terputus tanpa salam perpisahan. Sekarang aku disini berusaha hidup waras dalam tanda
tanya. Kenapa kamu tidak membalas chatku
dan mengangkat telfonku.?
Ketika whatsAppku masih kamu balas alakadarnya.
“ Aku gak
bisa chat, sibuk.”
“ Aku gak bisa
chat , ngantuk.”
“ Aku gak
bisa ditelfon, batre hpku lowbet.” dan sejenisnya.
Aku sempat berdoa pada Tuhan. “Ya Tuhan
kembalikan dia padaku”. Lantas Tuhan mengabulkan doa itu. Tapi bukan doaku.
Mungkin doa istrimu. Sekarang jangankan membalas alakadarnya. Membaca chatku pun tidak. Menurutku nasib memang
kadang keterlaluan. Menyadari itu aku terkadang terkikik-kikik sendiri. Lebih
tepatnya terkikik-kikik dalam kepahitan.
Jadi
bagaimana cara nya meme itu bisa sampai kepadamu. Termasuk juga perasaanku ini bisa
sampai padamu. BBM, LINE, Massenger,
twitter, facebook,instagram,Path dan mungkin masih ada yang belum
kusebutkan, patutkah kucoba? whatsAppadalah
tempat dimana pertamakali kita berkata kata pun kamu tinggalkan. Kurasa
mustahil ditempat lain kamu ada. Jadi apa yang kulakukan sekarang? Menikmati
betapa rindunya aku padamu, pada chatmu
lalu pergi ke dokter dandiagnosis dokter selalu tepat
“Ibu terkena penyakit stress.”
Bila malam
menjelma jelaga. Gulitanya misterius. Menyembunyikan entah bahaya atau bahagia,
biasanya aku teringat pada chatmu
“Aku mau tidur, tapi aku mau minta
cium dulu”
“Mau dicium dimana?”
“ Terserah yang mau nyiumlah..”
“ Dibelakang telinga ya...macchhh”
Dan chat kita berakhir malam itu sangat indah. Chat-chat
itu berubah menjadi kunang- kunang yang bercahaya. Cahaya tanpa panas. Semburat
kuningnya membuat dadaku bersepuh emas. Aku bisa tersenyum lagi. Melihat puluhan kunang-kunang memenuhi
kehampaan, aku seperti membaca chatmu lagi. Kata demi kata yang membuatku
merasa terbang diantara kunang- kunang. Dan bila pagi datang, cahaya kunang-kunang akan lenyap entah kemana. Seperti chatmu
yang juga senyap entah oleh sebab apa.
“Aku perlu
gula, susu, krimer, untuk menyamarkan getir kopi” Chat itu kukirimkan padamu disuatu pagi yang cukup muram.
“Kenapa
getirnya harus samar?” Tanyamu
“Supaya
getirnya bisa dinikmati. Seperti mencintaimu. Penuh ketidakpastian. Sarat
kegetiran. Tapi bisa kunikmati”
“Hati-hati,
orang yang kita cintai bisa mendatangkan kesengsaraan yang abadi. Apalagi
sepertiku ini yang tidak mungkin kamu miliki”. Begitu katamu.
Lalu aku
menyeruput kopiku. Diujung lidah terasa pahitnya, terasa getirnya. Bisa
kunikmati? Entahlah. Adakah pahit yang nikmat? Adakah kegetiran yang membuat
orang ketagihan? Entahlah...
“Aku tahu
perasaaan kita berbeda. Aku mencintaimu, sementara kamu hanya iba padaku”.
Begitu chatku kukirimkan padamu
di suatu senja.
“Tidak
selalu begitu. Aku ga akan melayani chatmu
sedemikian rupa kalo aku tidak punya perasaan apa-apa.”
“Jadi apa
kamu juga mencintaiku.”
“Ga perlu
dijawab. Cukup dirasakan saja”
Lalu senja
luka bakar. Merah dan memar.
“Aku hanya
ingin kamu bahagia dengan suamimu”
“Kenapa?”
“Supaya aku
bisa pergi”
“Kenapa
kamu harus pergi?”
“Karena aku
tidak mungkin menemanimu seterusnya. Aku sudah menikah. Itu adalah kehidupan.
Kamu sudah menikah. Dan itu adalah kehidupan. Tidak pantas rasanya menyia-nyiakan kehidupan kita masing masing.” Ada kekosongan yang merayap setelah
membaca chatmu. Kamu akan pergi.
Cepat atau lambat. Aku akan bersiap-siap dan aku tahu aku tidak akan pernah siap.
Jadi semestinya tak perlu lagi kita membahas kepahitan yang pasti datang.
Sayangnya, semenjak itu kamu selalu saja membicarakan perpisahan dan aku
semakin belingsatan. Dan senja selalu terluka, merah darah.
Sekarang
setiap kali aku melihat cahaya kunang-kunang, menyeruput secangkir kopi, dan
menyaksikan senja yang kemerahan, hatiku selalu bergetar-getar. Aku menutup mata dan mendengar suara hatiku
yang kesakitan.
“Aku sangat
merindukan chatmu, merindukanmu.”
Setelah itu biasanya, aku akan menangis.
++++++
Penulis adalah seorang guru di Paser, Kalimantan Timur. Alumnus SMA Muhamadiyah 2 Yogyakarta dan Universitas Negeri Yogyakarta.
Comments
Post a Comment