CERITA PENDEK PATILLAH BTE ZAINAB, SEBATIK NUNUKAN: MALAM MEMELUK REMBULAN



CERITA PENDEK PATILLAH BTE ZAINAB, SEBATIK NUNUKAN: MALAM MEMELUK REMBULAN  

  

MALAM MEMELUK REMBULAN





Selir hati melantunkan nada sapaan hangat, semilir angin berhembus membawa sejuta rindu yang terukir di jiwa, ingin ku lukis cinta di awan membiru, membawa segudang senyuman untuk ku lontarkan pada bunga yang merindu pada cinta yang menggelitik di jiwa.
Senja di kaki langit di ujung kemerahan telah datang, angin tak lagi romantisnya menyapaku, tangisan dan raungan kecil membisik di daun telinga, sungai mengalirkan tetesan perjuangan. Hidup di bawah malam, aroma yang menyengat hingga hidung pun tak mau untuk mencicipi malam, bahkan mataku seakan buta dengan darah.
Di kaki sudut desa terdengar bisikan-bisikan yang begitu kukenal, sapaan tangisan yang biasanya kini menjelma menjadi sesosok manusia ganas, yang berani mati untuk hal apapun. Sumber daya yang berlimpah lengkap dengan hembusan angin miris menangis menatap jenuh di jauh pandangan mata. Para muda-mudi desa bahkan ibu dan dan ayah saja tidak pernah mencium aroma keadilan.
“Adil?”
“Merdeka?”
“Ah, omongan sampah yang tidak berguna, tidak ada keadilan yang dirasakan oleh penduduk di sekitarnya melainkan aroma licik oleh para petinggi angkuh bagaikan setan kehausan darah.”
Tetesan air mata penduduk mengalir membanjiri desa, ibu sendiri bahkan tidak sedikit pun memberikan kehangatan pada bayinya. Terkucil, terbelakang, terbodoh itulah yang di rasakan oleh penduduk desa tersebut, mengais rezeki di negeri orang yang memberikan sambutan hangat bagaikan seorang ibu memeluk anaknya, malam memeluk rembulan. Sapaan itulah yang diinginkankan oleh seorang bayi yang masih dalam tahap pertumbuhan
Di ujung cahaya terlihat kelibat cahaya dengan membawa senyuman dan kegirangan yang cukup membuat ibu sedikit tersenyum bahagia. Berusaha untuk menutupi tangisan sakit yang dirasakan ibunya.
“Ibu, boleh rembulan meminta sedikit uang jajan ibu?” pinta rembulan
“Boleh rembulan, berapa yang rembulan inginkan dan untuk apa?” ujar dan Tanya ibunya
“Untuk membeli permen ibu, rembulan ingin sekali seperti teman-teman yang berada di seberang” Jawab rembulan
Secepat kilat ibunya memberikan uang jajan kepada sang rembulan, rembulan begitu kegirangan sehingga tidak memberikan ciuman hangat pada ibunya. Kegundahan yang membuat ibunya menangis ketika ibunya harus memberikan mata uang asing kepada sang rembulan. Meniti hidup bagaikan orang asing sulit bagi kehidupan penduduk desa, bagaikan lilin dan cahaya, gelap menyelimuti malam seketika terang memberi hidup.
Tetasan air membanjiri kolam pipi, mulut menggumam rapi mata memancarkan sejuta pertanyaan, tangan ku serasa ingin melibas semua para peajabat-pejabat tinggi di sini. Hidup bergantung pada keasingan yang tak harus di cicip oleh masyarakat desa terpaksa memendam pahitnya kehidupan bergantung.
“Untuk apa punya sumber daya yang melimpah, untuk apa kami dimerdekakan, lalu untuk apa kami hidup jika tidak diberikan pelukan hangat, dan untuk apa kami dilahirkan ketika sang malam tidak memeluk.”
Budaya yang indah dengan pesona yang menggugat hati, tarian budaya lemah gemulai lincah berlari, musik tradisionalnya bersatu dalam alunan syahdu, menyampaikan pesan tersirat kepada alam, butiran pasir putih berkilau nan indah di kala mentari bersinar terang, hembusan angin yang membisik membawa aroma damai, awan membiru menyaksikan beberapa ekor burung menari tak kala canggung, ikan berenang dengan kebebasan yang dirasakan
“Aku ingin malam memeluk rembulan.”
“Kemerdekaan apa yang aku rasakan?”
Ingin terbang seperti burung, menyanyi dengan suasana hati yang bebas udara yang tidak tercekang oleh orang asing yang mulai menjelajahi desa. Berlimpahnya hasil desa seakan-akan sampah di mata malam, menyentuh saja mungkin jijik padahal rembulan menginginkan pelukan hangat. Mata uang asing beredar dengan sangat pesat hingga masyarakat desa tak ingin mengantongi mata uang sendiri.
“Untuk apa menghargai orang yang tidak tau menghargai!”
“Persetan dengan keadilan”.
“Wajar saja kebudayaan alam di curi oleh Negara tetangga, toh malam tidak  menghiraukan rembulan?” dengan nada marah
Kecewa menyelimuti tubuh dengan membawa perasaan yang begitu berat, kelebihan yang ada di desa bahkan tidak sedikit membuat para pejabat tinggi untuk menjeling. Warga desa lebih memilih berobat di luar Negeri hanya karna fasilitas dan pelayanan yang di berikan sangat begitu memuaskan, jalan-jalan masih jauh lebih buruk seperti jalan untuk sapi-sapi yang lewat dengan sepatu khususnya, mereka lebih memilih untuk menjual hasil buminya di luar negeri akibat tidak adanya pelayanan jalur dan jalan yang layak, bantuan saja hanya orang-arang tertentu yang mendapatkan bagaikan haus akan semua darah-darah manusia, para pejabat tak bertanggung jawab hanya membuat onar saja di muka bumi ini bahkan di desaku.
Tak kunjung redah amarahku bagaikan luapan api yang mendidih dan siap untuk meletup, membanjiri dan membunuh semua yang bernyawa jahat, begitulah para penduduk desaku. Mengenyam pendidikan di anggap hal yang tidak harus, sekolah saja di kandang sapi bersama najis-najis yang membuat munyak, berjalan kaki dengan sepatu tak pantas untuk di kenakan, dan memakai baju yang tidak layak.
“aarrrggkkk, aku benci ketika berfikir tentang hal ini”
“Tidak adil”
“Ambil saja budayaku, tidak ada gunanya untuk dipertahankan, tetap saja malam tidak memeluk rembulan”
Di kala mentari mulai malu, burung berpulangan menuju sangkarnya, angin tidak sedikit pun menampakkan wajahnya, seberkas cahaya terang di ujung bumi membanjiri desa terpencil ini, tidak adanya fasilitas listrik air yang mencukupi cukup membuat penduduk desa hidup dalam kesengsaraan. Hanya mengharapkan pada titik hujan untuk di minum dan perigi-perigi yang di gali oleh penduduk desa dengan harapan agar tidak hanya mengharapkan pada titik hujan.
Kehidupan pahit bagaikan kopi pahit tanpa gula sudah menjadi jamuan sehari-hari para penduduk desa, menjual hasil laut, kebun bahkan kelapa sawit, kakao dan hasil rempah lainnya ke luar negeri adalah hal yang wajar bagi mereka, mereka tidak merasakan hal itu adalah berbuatan salah meskipun di luar mengunjing bahwa desa kami adalah desa penghianat. Tidak sedikit membuat penduduk desa hilang penghasilan untuk makanan pokok mereka, produk-produk membanjiri desa tersebut mulai dari produk mandi, makanan, produk rumah bahkan bahan baku lainnya adalah produk luar negeri.
Terpancar sinar kebanggaan dalam diri pada bola mata dan semua sosok manusia ketika dagangannya habis ludes di beli oleh Negara tetangga. Rumah berdindingkan kayu, jendela dengan masuknya pantulan cahaya-cahaya malam dan lantai kayu yang rapuh, di huni oleh empat orang. Satu pulau dengan dua daerah administratif, bagian selatan dimiliki Indonesia, bagian utara di miliki Malaysia.
Rintik hujan menyentuh bumi, dedaun menghijau pohon melambai mesra, burung tak canggung bernyanyi memberi sapaan hangat pada penghuni semesta alam, matahari tersimpuh malu, angin bertiup sepoi-sepoi hingga tubuh ini merasakan nikmatnya keindahan desaku, tanah subur dengan semua tumbuhan dan buah-buahan, sungai yang jernih sepeti cerminan desaku.
Ingin kulukis titik-titik cinta pada alamku di atas pasir, namun sekilas menghilang oleh bayang-bayang semu ombak yang menerpa. Aku akan selalu mengingat pagi bening, suara cangkir berdenting dalam hening, gemercik air menyentuh bumi yang membangunkan ku dari perasaan kecewa.
Kopi pahit yang belajar menatap dunia dengan senyuman, yang rela mengendam segala kepedihan di jiwa dan ketidak adilan manusia-manusia durjana. Kesedihan tak membutuhkan pelukan sang malam, biar ku rangkai kesedihanku pada secangkir kopi pahit.
Kebebasan dan kemerdekaan tidak di rasakan oleh sekelibat penduduk desa, di setiap kujur tubuh masih terdapat sinyal-sinyal Negara tetangga, bahkan bahasa yang di gunakan tak kalah hebatnya mengucapkan.
 “Marah pun untuk apa, meski tetesan darah sekalipun yang keluar dari kelopak matamu tetap saja tidak di anggap!”
Pahlawan tidak lebih dari seorang pecundang yang beruntung, politik kotor membanjiri desaku, uang di mana-mana, masing-masing menginginkan tempat dan jabatan yang tinggi. Penerus bangsa punah di desaku semua tergiur dengan uang dan hanya uang, sungai yang mengalir jernih seolah-olah kotoran mengalir melewati tebing-tebing tinggi.
Pulau terpencil di pelosok negeri terluar yang indah dengan panorama eksotis, kini mulai hilang akibat tidak adanya kepedulian sang malam untuk rembulan. Sang malam masih saja sibuk dengan hiruk pikuk kota yang menggiurkan jasmaninya bahkan rohaninya.
Keinginan berkeadilan yang sesungguhnya masih minim yang dapat di rasakan oleh penduduk desa, mereka lebih memilih untuk mengenyam pendidikan di Negara tetangga.
“Rasanya lebih enak di banding di Negara sendiri” ujar penduduk desa
“Aku sanggup meneguk racun untuk membela desaku dari direbut oleh Negara tetangga” ujar salah satu penduduk desa
Kehijauan yang memukau hati, keindahan alam, tanah yang subur dan sistem perikanan yang berkecukupan membuat Negara tetangga untuk memiliki wilayah tersebut, Negara dengan pintu gerbang pemisah dua Negara sebut saja wilayah Ambalat (Ambang Batas Laut) yang dihuni oleh dua Negara, ketertarikan terhadap desaku membuat perang ambalat akibat ingin memiliki wilayah tersebut. Hingga pada saat ini masih saja pemerintah menutup mata.
Ingin rasanya aku berteriak sekencang angin, agar bisa kulewati waktu ini. Waktu yang penuh dengan kesakitan, kesengsaraan dan kepahitan. Meskipun rasa itu bercampur di dalam cangkir cantik, masyarakat desa masih saja bersyukur akan adanya keindahan dan perikanan yang bisa membuat hidup mereka sejatera.
“NKRI Harga Mati!”
Sesosok manusia yang masih berani mempertahankan desa kecilnya dari direbut oleh Negara tetangga memberikan contoh pada anak-anak lainnya. Namun malam masih saja tidak menghiraukan rembulan yang menangis dalam kegundahan hati yang kian mendalam, cara berpikir masih saja berlari ke mana-mana yang tidak tahu arah tujuan.
Terngiang suara-suara percikan yang membara, berani menghidupkan obor di kala senja mulai menapaki jalannya, berani menghadapi liku-liku kehidupan dengan semangat yang kian luntur, satu kebanggaan bagi warga desaku bahwa mereka berani mempertahankan wilayahnya dari direbut oleh bangsa tetangga, dan menghapuskan semua para pejabat tinggi yang durjana, kemenangan bukanlah hal yang utama melainkan berani untuk melawan para penjajah laknat. Menggunakan dua mata uang sudah menjadi lauk-pauk para penduduk desaku, merah putih menjadi darah dagingku dan penduduk desa, kemenangan yang mutlak akan di raih dengan proses yang mandiri dengan kejujuran yang tinggi, begitulah desaku.
Tangan-tangan ganas akan ku hancurkan menjadi debu, berterbangan tak tau arah tujuan dengan sikapnya yang sombong. Biarkan desaku menghembuskan wajah-wajah pemimpin yang jujur, angin yang bersih tanpa noda-noda dosa, hiruk pikuk tawa riang, tak kala senja malu menyapaku. Keindahan kini mulai di rasakan, hari demi hari ku lewati dengan kehidupan yang sederhana, jemari menari dengan pena, awan membelah bumi dengan panoramanya, perawan desa bertutur lembut, lemah gemulai lincah menari. Namun masih saja ada hal yang selalu membuat ku menangis di dalam kebisuan, masih saja memancarkan sejuta kesedihan, masih saja malam tidak memeluk rembulan, masih saja Negara tidak menghiraukan desa terpencilku.


 








Comments