GUS DUL: CERITA PENDEK MUHAMMAD THOBRONI


 

 

GUS DUL


            Gus Dul, panggilan kerennya. Maklum, anak Kiai. Imadul Muslim, nama panjangnya. Sedari kecil hobinya membaca. Tak heran bila di usianya yang masih sangat muda, kacamata tebal sudah menghias matanya. Kacamata itu jelas bukan sekadar asesoris yang menambah ganteng wajahnya. Tapi, karena hobinya membaca yang berlebihan itulah yang telah membuat kemampuan penghilatannya jadi berkurang. Sebuah tahi lalat kecil nan tipis bercongol di atas bibir sebelah kiri. “Sangat manis, “ demikian seorang gadis berseru, saat mula pertama bersua dengannya. Persis seruan perempuan-perempuan yang dikumpulkan Zulaikha, bila melihat Yusuf keluar dari kamarnya.
            Tapi Gus Dul tidak begitu suka mengaji. Ini agak ganjil bagi anak seorang Kiai seperti dirinya. Masyarakat tak banyak yang menyoal. Pikir mereka, dan sudah umum dalam ingatan mereka, anak Kiai biasa diberi ilmu ladhuni. Bagi orang yang percaya, orang-orang yang mendapatkan karamah berupa ilmu ladhuni, diyakini memiliki dan sangat menguasai secara fasih beberapa ilmu, meski yang bersangkutan tiada pernah mempelajarinya dari orang lain.
            Kiai Abdussalam, bapak Gus Dul, pun tak pernah marah. Bila demikian, Nyai Istiqomah, ibu Gus Dul, pun hanya bisa terdiam. Perempuan satu ini barangkali mewakili watak santriwati tulen. Sikapnya terhadap suami sam’an wa tha’atan. Mendengar dan taat. Tidak terdengar dari mulutnya gerundelan. Apalagi, umpat dan  caci-maki.
            Gus Dul pun tidak hanya contoh paling aneh bagi anak seorang Kiai. Siang harinya sering habis untuk menulis puisi, cerpen dan melukis, tak jarang membuat para jama’ah Kiai Abdussalam terheran-heran. “Apakah Gus Dul sedang mendalami suatu ilmu tertentu?” demikain tanya mereka pada Kiai Abdussalam. Dan, seperti hari-hari sebelumnya, Kiai Abdussalam hanya tersenyum. Lalu, mengangguk-anggukan kepalanya. Bila sudah seperti itu, para jama’ah yang bertanya pun jadi maklum. Bagi mereka, anggukan kepala dan senyum Kiai lebih dari sekadar jawaban.
            Pada hari-hari berikutnya, mereka tak lagi bertanya-tanya bila melihat Gus Dul melukis di serambi rumahnya, persis di samping masjid pesantren. Namun suatu ketika para jama’ah yang hendak pengajian di masjid terhenyak. Lukisan karya Gus Dul yang masih terpampang di serambi itulah yang menyebabkan banyak hal bercampur aduk dalam diri mereka. Mereka jadi ragu dengan anggukan kepala dan senyum Kiai Abdussalam. Lukisan itu bergambar seorang ronggeng yang sedang menari, dilengkapi dengan lenggak-lenggok, dan disempurnakan dengan tonjolan buah dada dan pantatnya yang menjorok ke belakang.
            Lukisan itu membuat gundah para jama’ah. Benarkah Gus Dul sedang menekuni sebuah ilmu? Atau, jangan-jangan Gus Dul sedang kesambit, atau terkena pengaruh dari makhluk ghaib atau ruh halus. Sehingga pikirannya menjadi agak terganggu. Untuk bertanya tentang masalah peka itu kepada Kiai Abdussalam, mereka jelas berpikir dua-tiga kali. Tapi pandangan jama’ah ke teras rumah, telah menyampaikan kegelisahan mereka kepada Kiai Abdussalam. Kiai Abdussalam sejenak memandang lukisan itu. Dan, lagi-lagi, setelah itu dia tersenyum dan menggangguk-anggukkan kepala.
            Gus Dul juga sosok paling aneh untuk seorang pemuda. Wajahnya ganteng dengan kacamata di wajahnya lebih dari cukup membuat banyak gadis terpincut hatinya. Dan memang demikianlah adanya. Tak sedikit yang diam-diam menemui Kiai Abdussalam. “Aku punya anak gadis. Apakah Gus Dul sudah punya calon istri?” ujar seorang sahabat dekatnya. Bagi Kiai Abdussalam, seseorang punya anak gadis dan pertanyaan tentang Gus Dul sudah punya istri atau belum, boleh jadi tak ada hubungannya. Tapi, sebagai orang arif nan bijaksana, Kiai Abdussalam tak langsung menjawabnya. Sekejap lalu, dia menukas. “Dia belum pernah berbicara kepadaku. Dia lebih sibuk dengan puisi dan lukisannya,” ujar Kiai Abdussalam. Jawaban Kiai Abdussalam sesungguhnya telah memastikan bahwa Gus Dul belum punya calon. Tapi, pernyataan Gus Dul lebih sibuk dengan puisi dan lukisannya, jelas merupakan sebuah penjelasan lain tentang belum adanya rencana Gus Dul untuk menikah.
            Tidak sedikit pula yang datang langsung menemuni Gus Dul. Gadis-gadis pemberani itu, karena sudah tak tahan dengan perasaannya, langsung mengutarakan kepada orang tua mereka. Kepada orang tuanya, mereka minta sowan ke Kiai Abdussalam untuk melamar Gus Dul. Sebuah hal yang agak kurang lazim bagi tradisi di kampung itu. Tapi apa boleh buat. Dan bila orang tua mereka tidak berhasil meluluhkan hati Kiai Abdussalam dan istrinya, gadis-gadis itu tak segan langsung menemui Gus Dul. Di serambi rumahnya, di depan lukisan-lukisan dan ceceran tinta itulah mereka mengutarakan isi hatinya.
            “Apakah Gus Dul belum ingin punya istri? Atau, jangan-jangan Gus Dul malah sudah punya calon?” tanya Nurul, agak ragu. Tadinya dia sudah menata hati, memantapkannya. Tapi, berhadapan dengan Gus Dul telah mengubah segalanya. “Apakah bila langit itu mendung selalu akan diiring hujan?” Demikian cerita Nurul tentang jawaban Gus Dul. Dan Nurul pun tidak melanjutkan pertanyaannya. Ia hanya ikut memandang lukisan Gus Dul. Kali ini tentang goyang ngebor seorang penari dangdut.
            Suatu saat para jamaah betul-betul terperanjat bila mendengar cerita dari seorang pemuda berandal di kampung itu. “Aku melihat Gus Dul berada di diskotik JJ,” ujarnya gemetar. Antara ragu dengan penglihatannya sendiri dan takut kuwalat –watak yang mewakili kalangan orang-orang awam bila berhadapan dengan orang yang dianggapnya Kiai atau keluarganya.
            “Sendiri atau dengan siapa?” seru yang lain penasaran.
            “Rombongan. Malah teman-temannya berbaju putih. Wajahnya bersih. Jumlahnya sembilan orang, termasuk Gus Dul.”
            “Terus?”
            “Aku heran. Kenapa orang-orang yang datang ke JJ tidak merasa terganggu dengan kehadiran rombongan itu? Padahal, rombongan itu mendatangi satu persatu pelanggan JJ. Gus Dul seperti berbisik pada mereka. Entah apa isinya.” ujar pemuda itu masih dengan wajah gundah, seperti belum percaya dengan apa yang telah dilihatnya.
            Saat pemuda berandal itu datang tergopoh-gopoh dari kota, dan bercerita kepada penduduk desa, jarum jam menunjuk angka 10 malam. Saat itu orang kampung telah selesai mengikuti mujahadah rutin di masjid pesantren. Mendengar cerita pemuda tersebut, para jama’ah tak segan segera mendatangi Kiai Abdussalam. Mereka menyampaikan kegundahan hati mereka tentang Gus Dul yang masuk diskotik. Namun, Kiai Abdussalam hanya tersenyum. Lalu mengangguk-anggukan kepala. Entah apa maksudnya. Lalu Kiai mengajak para jama’ah ke rumahnya. Alasannya, Kiai sedang punya nazar untuk bersedekah.
            Para jama’ah duduk di ruang tamu. Azizah, putri Kiai yang adik bungsu Gus Dul, keluar membawa minuman. Para jama’ah masih tetap menunggu. Tapi tidak lama, karena wajah mereka kemudian terkesiap. Seorang pemuda keluar dari ruang tengah. Tangannya memegang nampan berisi piring dan snack.
            “Bapak mohon maaf tidak bisa menemani di sini. Saya diperintahkan untuk mendampingi Bapak dan ibu untuk menikmati hidangan ini. Silakan. Silakan. Seadanya. Ini sebagai ucapan syukur dan sekaligus nazar dari Bapak. Tadi siang ada seseorang dari kota mengirim dua kardus berisi buku dan kitab. Katanya untuk tambahan perpustakaan kita,” cerita Gus Dul panjang lebar.
            Para jama’ah terdiam. Lebih tepatnya terkesima. Karena itu mereka lebih memilih diam daripada berbicara. Lalu setelah menikmati hidangan seadanya, mereka pamit dengan senyum di bibirnya.
            Di rumah masing-masing, para jama’ah berbincang tentang Gus Dul. Tentang cerita Gus Dul masuk diskotik bersama orang-orang berbaju putih dan berwajah bersih. Tapi, cerita itu mereka bantah sendiri. Mereka melihat dengan mata sendiri, bahwa Gus Dul berada di rumah. Bahkan, mendampingi mereka menikmati hidangan dari Kiai Abdusalam. Mereka menyalahkan pemuda berandal yang menyebar berita –yang belum diperiksa kembali kebenarannya. Para penduduk akhirnya mengerti siapa pemuda itu. Selain memang dikenal berandal di kampungnya, dia ternyata suka pergi ke diskotik. Buktinya, dia mengaku melihat Gus Dul berada di JJ, sebuah diskotik elit di kota itu. Apalagi, belakangan, beberapa orang yang berada di diskotik saat pemuda itu mengaku melihat Gus Dul, ternyata tidak merasa telah melihat Gus Dul.
            Namun, esok hari, wajah para jama’ah jadi sumringah. Pemuda berandal ikut berangkat ke masjid. Sarungnya baru, baju koko baru, demikian pula kopyahnya. Tak lupa sajadah di pundaknya, dan tasbih di tangah kanannya. Ia khusyu’ shalat berjama’ah, bersama dengan para jama’ah lainnya. Selesai uluk salam, dia mengedarkan pandangannya. Seperti mencari sesuatu.
            “Gus Dul mana? Kok tidak terlihat ikut shalat?” bisiknya pada jama’ah di sebelahnya.
            Yang ditanya hanya menggelengkan kepala, sambil pandangannya melirik ke arah Kiai Abdusalam di ruang imam. Takut dianggap tidak khusyu’ berzikir dan mengganggu jama’ah lainnya. Demi tidak menemukan yang dicarinya, sang pemuda itu keluar. Keluar dari pintu masjid, dia berhentak sejenak. Pandangannya menangkap hal aneh. Matanya melihat Gus Dul sedang melukis di serambi rumahnya. Pemuda berandal tersenyum, lalu mendekati orang yang sedang dicarinya itu.
             “Melukis apa, Gus?” tanya pemuda berandal, ramah. Beda dengan wataknya, bahkan pada sehari sebelumnya.
            Gus Dul hanya tersenyum. Lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. Wajahnya penatap tajam ke arah wajah pemuda berandal. Yang ditatap hanya diam. Tak mengerti maksud Gus Dul. Gus Dul menggangguk-anggukkan kepala, masih dengan tersenyum. Rambutnya yang tergerai sebahu, sesekali berkibar oleh angin. Lalu lukisan di tangannya diserahkan kepada pemuda itu.
            Pemuda itu terperanjat, kaget alang-kepalang. Dia menatap sosok di lukisan itu. Dia melihat wajahnya berada di lukisan itu, bahkan lebih ganteng dari aslinya. Persis dengan keadaannya sekarang: bersarung rapi, berbaju koko, berkopyah bersih, dengan sajadah di pundak dan tasbih di tangah kiri. Tapi, berada di tengah-tengah orang triping, di diskotik. Pemuda itu berbisik pada orang-orang yang berada di diskotik itu. Entah apa isinya.
*******
Demikianlah Gus Dul. Seminggu silam banyak gadis tercenung di rumahnya. Banyak orang tua terdiam di serambi rumah mereka. Mereka menyesali kepergian Gus Dul, putra sulung Kiai Abdussalam itu. Mereka menyesali kematiannya, di saat usianya masih muda, bahkan belum berkeluarga. Tapi, kepergian Gus Dul masih tetap menimbulkan tanya. Saat dimandikan, jasadnya berbau wangi, persis bau minyak kesturi.
Kematiannya seminggu silam masih menjadi bahan bincang tidak hanya di pesantren dan masyarakat di kampung itu. Tapi juga seluruh komunitas pesantren dan para jama’ah Kiai Abdussalam yang tersebar di pelosok kota kecil itu. Sambil tersenyum, sebagian mereka menggangguk-anggukkan kepala sebagai tanda hormat atas karya dan langkah-langkahnya. Sebagian lainnya, masih dengan tersenyum, menggeleng-gelengkan kepala sebagai tanda takjub atas segala sepak terjangnya.

Comments