GUS DUL
Gus Dul, panggilan kerennya. Maklum, anak Kiai. Imadul Muslim, nama
panjangnya. Sedari kecil hobinya membaca. Tak heran bila di usianya yang masih
sangat muda, kacamata tebal sudah menghias matanya. Kacamata itu jelas bukan
sekadar asesoris yang menambah ganteng wajahnya. Tapi, karena hobinya membaca
yang berlebihan itulah yang telah membuat kemampuan penghilatannya jadi
berkurang. Sebuah tahi lalat kecil nan tipis
bercongol di atas bibir sebelah kiri. “Sangat manis, “ demikian seorang gadis
berseru, saat mula pertama bersua dengannya. Persis seruan perempuan-perempuan
yang dikumpulkan Zulaikha, bila melihat Yusuf keluar dari kamarnya.
Tapi
Gus Dul tidak begitu suka mengaji. Ini agak ganjil bagi anak seorang Kiai
seperti dirinya. Masyarakat tak banyak yang menyoal. Pikir mereka, dan sudah
umum dalam ingatan mereka, anak Kiai biasa diberi ilmu ladhuni. Bagi orang yang percaya, orang-orang yang mendapatkan karamah berupa ilmu ladhuni, diyakini memiliki dan sangat menguasai secara fasih
beberapa ilmu, meski yang bersangkutan tiada pernah mempelajarinya dari orang
lain.
Kiai
Abdussalam, bapak Gus Dul, pun tak pernah marah. Bila demikian, Nyai Istiqomah,
ibu Gus Dul, pun hanya bisa terdiam. Perempuan satu ini barangkali mewakili
watak santriwati tulen. Sikapnya terhadap suami sam’an wa tha’atan. Mendengar dan taat. Tidak terdengar dari
mulutnya gerundelan. Apalagi, umpat
dan caci-maki.
Gus
Dul pun tidak hanya contoh paling aneh bagi anak seorang Kiai. Siang harinya
sering habis untuk menulis puisi, cerpen dan melukis, tak jarang membuat para jama’ah Kiai Abdussalam terheran-heran.
“Apakah Gus Dul sedang mendalami suatu ilmu tertentu?” demikain tanya mereka
pada Kiai Abdussalam. Dan, seperti hari-hari sebelumnya, Kiai Abdussalam hanya
tersenyum. Lalu, mengangguk-anggukan kepalanya. Bila sudah seperti itu, para jama’ah yang bertanya pun jadi maklum.
Bagi mereka, anggukan kepala dan senyum Kiai lebih dari sekadar jawaban.
Pada
hari-hari berikutnya, mereka tak lagi bertanya-tanya bila melihat Gus Dul melukis
di serambi rumahnya, persis di samping masjid pesantren. Namun suatu ketika
para jama’ah yang hendak pengajian di
masjid terhenyak. Lukisan karya Gus Dul yang masih terpampang di serambi itulah
yang menyebabkan banyak hal bercampur aduk dalam diri mereka. Mereka jadi ragu
dengan anggukan kepala dan senyum Kiai Abdussalam. Lukisan itu bergambar
seorang ronggeng yang sedang menari, dilengkapi dengan lenggak-lenggok, dan
disempurnakan dengan tonjolan buah dada dan pantatnya yang menjorok ke
belakang.
Lukisan
itu membuat gundah para jama’ah.
Benarkah Gus Dul sedang menekuni sebuah ilmu? Atau, jangan-jangan Gus Dul
sedang kesambit, atau terkena
pengaruh dari makhluk ghaib atau ruh halus. Sehingga pikirannya menjadi agak
terganggu. Untuk bertanya tentang masalah peka itu kepada Kiai Abdussalam,
mereka jelas berpikir dua-tiga kali. Tapi pandangan jama’ah ke teras rumah, telah menyampaikan kegelisahan mereka
kepada Kiai Abdussalam. Kiai Abdussalam sejenak memandang lukisan itu. Dan,
lagi-lagi, setelah itu dia tersenyum dan menggangguk-anggukkan kepala.
Gus
Dul juga sosok paling aneh untuk seorang pemuda. Wajahnya ganteng dengan
kacamata di wajahnya lebih dari cukup membuat banyak gadis terpincut hatinya.
Dan memang demikianlah adanya. Tak sedikit yang diam-diam menemui Kiai
Abdussalam. “Aku punya anak gadis. Apakah Gus Dul sudah punya calon istri?”
ujar seorang sahabat dekatnya. Bagi Kiai Abdussalam, seseorang punya anak gadis
dan pertanyaan tentang Gus Dul sudah punya istri atau belum, boleh jadi tak ada
hubungannya. Tapi, sebagai orang arif nan
bijaksana, Kiai Abdussalam tak langsung menjawabnya. Sekejap lalu, dia
menukas. “Dia belum pernah berbicara kepadaku. Dia lebih sibuk dengan puisi dan
lukisannya,” ujar Kiai Abdussalam. Jawaban Kiai Abdussalam sesungguhnya telah
memastikan bahwa Gus Dul belum punya calon. Tapi, pernyataan Gus Dul lebih
sibuk dengan puisi dan lukisannya, jelas merupakan sebuah penjelasan lain
tentang belum adanya rencana Gus Dul untuk menikah.
Tidak
sedikit pula yang datang langsung menemuni Gus Dul. Gadis-gadis pemberani itu,
karena sudah tak tahan dengan perasaannya, langsung mengutarakan kepada orang
tua mereka. Kepada orang tuanya, mereka minta sowan ke Kiai Abdussalam untuk melamar Gus Dul. Sebuah hal yang
agak kurang lazim bagi tradisi di kampung itu. Tapi apa boleh buat. Dan bila
orang tua mereka tidak berhasil meluluhkan hati Kiai Abdussalam dan istrinya,
gadis-gadis itu tak segan langsung menemui Gus Dul. Di serambi rumahnya, di
depan lukisan-lukisan dan ceceran tinta itulah mereka mengutarakan isi hatinya.
“Apakah
Gus Dul belum ingin punya istri? Atau, jangan-jangan Gus Dul malah sudah punya
calon?” tanya Nurul, agak ragu. Tadinya dia sudah menata hati, memantapkannya.
Tapi, berhadapan dengan Gus Dul telah mengubah segalanya. “Apakah bila langit
itu mendung selalu akan diiring hujan?” Demikian cerita Nurul tentang jawaban
Gus Dul. Dan Nurul pun tidak melanjutkan pertanyaannya. Ia hanya ikut memandang
lukisan Gus Dul. Kali ini tentang goyang ngebor
seorang penari dangdut.
Suatu
saat para jamaah betul-betul terperanjat bila mendengar cerita dari seorang
pemuda berandal di kampung itu. “Aku
melihat Gus Dul berada di diskotik JJ,” ujarnya gemetar. Antara ragu dengan
penglihatannya sendiri dan takut kuwalat
–watak yang mewakili kalangan orang-orang awam bila berhadapan dengan orang
yang dianggapnya Kiai atau keluarganya.
“Sendiri
atau dengan siapa?” seru yang lain penasaran.
“Rombongan.
Malah teman-temannya berbaju putih. Wajahnya bersih. Jumlahnya sembilan orang,
termasuk Gus Dul.”
“Terus?”
“Aku
heran. Kenapa orang-orang yang datang ke JJ tidak merasa terganggu dengan
kehadiran rombongan itu? Padahal, rombongan itu mendatangi satu persatu
pelanggan JJ. Gus Dul seperti berbisik pada mereka. Entah apa isinya.” ujar
pemuda itu masih dengan wajah gundah, seperti belum percaya dengan apa yang
telah dilihatnya.
Saat
pemuda berandal itu datang tergopoh-gopoh dari kota, dan bercerita kepada
penduduk desa, jarum jam menunjuk angka 10 malam. Saat itu orang kampung telah
selesai mengikuti mujahadah rutin di
masjid pesantren. Mendengar cerita pemuda tersebut, para jama’ah tak segan segera mendatangi Kiai Abdussalam. Mereka
menyampaikan kegundahan hati mereka tentang Gus Dul yang masuk diskotik. Namun,
Kiai Abdussalam hanya tersenyum. Lalu mengangguk-anggukan kepala. Entah apa
maksudnya. Lalu Kiai mengajak para jama’ah
ke rumahnya. Alasannya, Kiai sedang punya nazar untuk bersedekah.
Para
jama’ah duduk di ruang tamu. Azizah,
putri Kiai yang adik bungsu Gus Dul, keluar membawa minuman. Para jama’ah masih tetap menunggu. Tapi tidak
lama, karena wajah mereka kemudian terkesiap. Seorang pemuda keluar dari ruang
tengah. Tangannya memegang nampan berisi piring dan snack.
“Bapak
mohon maaf tidak bisa menemani di sini. Saya diperintahkan untuk mendampingi
Bapak dan ibu untuk menikmati hidangan ini. Silakan. Silakan. Seadanya. Ini
sebagai ucapan syukur dan sekaligus nazar
dari Bapak. Tadi siang ada seseorang dari kota mengirim dua kardus berisi
buku dan kitab. Katanya untuk tambahan perpustakaan kita,” cerita Gus Dul
panjang lebar.
Para
jama’ah terdiam. Lebih tepatnya
terkesima. Karena itu mereka lebih memilih diam daripada berbicara. Lalu
setelah menikmati hidangan seadanya, mereka pamit dengan senyum di bibirnya.
Di
rumah masing-masing, para jama’ah berbincang
tentang Gus Dul. Tentang cerita Gus Dul masuk diskotik bersama orang-orang
berbaju putih dan berwajah bersih. Tapi, cerita itu mereka bantah sendiri.
Mereka melihat dengan mata sendiri, bahwa Gus Dul berada di rumah. Bahkan,
mendampingi mereka menikmati hidangan dari Kiai Abdusalam. Mereka menyalahkan
pemuda berandal yang menyebar berita –yang belum diperiksa kembali
kebenarannya. Para penduduk akhirnya mengerti siapa pemuda itu. Selain memang
dikenal berandal di kampungnya, dia ternyata suka pergi ke diskotik. Buktinya,
dia mengaku melihat Gus Dul berada di JJ, sebuah diskotik elit di kota itu.
Apalagi, belakangan, beberapa orang yang berada di diskotik saat pemuda itu
mengaku melihat Gus Dul, ternyata tidak merasa telah melihat Gus Dul.
Namun,
esok hari, wajah para jama’ah jadi sumringah. Pemuda berandal ikut berangkat ke masjid. Sarungnya baru, baju koko baru,
demikian pula kopyahnya. Tak lupa sajadah di pundaknya, dan tasbih di tangah
kanannya. Ia khusyu’ shalat berjama’ah, bersama dengan para jama’ah lainnya. Selesai uluk salam, dia
mengedarkan pandangannya. Seperti mencari sesuatu.
“Gus
Dul mana? Kok tidak terlihat ikut
shalat?” bisiknya pada jama’ah di
sebelahnya.
Yang
ditanya hanya menggelengkan kepala, sambil pandangannya melirik ke arah Kiai
Abdusalam di ruang imam. Takut dianggap tidak khusyu’ berzikir dan mengganggu jama’ah
lainnya. Demi tidak menemukan yang dicarinya, sang pemuda itu keluar.
Keluar dari pintu masjid, dia berhentak sejenak. Pandangannya menangkap hal
aneh. Matanya melihat Gus Dul sedang melukis di serambi rumahnya. Pemuda berandal tersenyum, lalu mendekati orang
yang sedang dicarinya itu.
“Melukis apa, Gus?” tanya pemuda berandal, ramah. Beda dengan wataknya,
bahkan pada sehari sebelumnya.
Gus
Dul hanya tersenyum. Lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. Wajahnya penatap
tajam ke arah wajah pemuda berandal.
Yang ditatap hanya diam. Tak mengerti maksud Gus Dul. Gus Dul
menggangguk-anggukkan kepala, masih dengan tersenyum. Rambutnya yang tergerai
sebahu, sesekali berkibar oleh angin. Lalu lukisan di tangannya diserahkan
kepada pemuda itu.
Pemuda
itu terperanjat, kaget alang-kepalang. Dia menatap sosok di lukisan itu. Dia
melihat wajahnya berada di lukisan itu, bahkan lebih ganteng dari aslinya.
Persis dengan keadaannya sekarang: bersarung rapi, berbaju koko, berkopyah
bersih, dengan sajadah di pundak dan tasbih di tangah kiri. Tapi, berada di
tengah-tengah orang triping, di
diskotik. Pemuda itu berbisik pada orang-orang yang berada di diskotik itu.
Entah apa isinya.
*******
Demikianlah Gus Dul. Seminggu silam banyak gadis
tercenung di rumahnya. Banyak orang tua terdiam di serambi rumah mereka. Mereka
menyesali kepergian Gus Dul, putra sulung Kiai Abdussalam itu. Mereka menyesali
kematiannya, di saat usianya masih muda, bahkan belum berkeluarga. Tapi,
kepergian Gus Dul masih tetap menimbulkan tanya. Saat dimandikan, jasadnya
berbau wangi, persis bau minyak kesturi.
Kematiannya seminggu silam masih menjadi bahan
bincang tidak hanya di pesantren dan masyarakat di kampung itu. Tapi juga
seluruh komunitas pesantren dan para jama’ah
Kiai Abdussalam yang tersebar di pelosok kota kecil itu. Sambil tersenyum,
sebagian mereka menggangguk-anggukkan kepala sebagai tanda hormat atas karya
dan langkah-langkahnya. Sebagian lainnya, masih dengan tersenyum,
menggeleng-gelengkan kepala sebagai tanda takjub atas segala sepak terjangnya.
Comments
Post a Comment