CERITA PENDEK MARA ULIYAH ARA, YOGYAKARTA: GADIS TERAKHIR DI NEGERIKU


(SUMBER: WWW.123RF.COM)

 


 Peperangan yang menahun ini telah memporak-porandakan semua tatanan di negeriku. Puing-puing rumah dengan bau anyir darah seperti selalu tercium di hidung kami. Tanggis yang keluar dari tembok-tembok ratapan itu seolah tak bisa didiamkan.  Para serdadu itu membidik dengan tepat ke jantung pertahanan kami. jangankan para prajurit yang hampir semuanya telah tewas, para keluarga, tetangga, sanak dan saudara hampir tak ada semuanya. Tinggallah kami, yang hanya berjumlah beberapa ratus jiwa saja yang masih bisa bertahan hidup. Dari jumlah itu, kaumkulah  yang mendominasi negeri ini. Dari sekian yang hidup, sangat susah bagi kami untuk mendapati perempuan-perempuan usia produktif, terlebih lagi mendapatkan seorang gadis, perawan. Siksaan para serdadu, kelaparan, pemerkosaan, derita psikis yang tak tertahankan, penyakit-penyakit yang mewabah membuat banyak perempuan dan anak kecil tak sanggup bertahan hidup lebih lama lagi.  Disusul lagi dengan perang saudara sebagai buah adu domba elit politik, membuat kondisi makin tidak kondusif. Isu-isu ketahanan pangan dan kesehatan menjadi tidak lagi penting dibandingkan dengan nafsu untuk menduduki kekuasaan. Aku sendiri pun serasa tak kuat melihat semua itu. Aku yang sangat suka merenungi keindahan ciptaan Tuhan. Selalu asyik berlama-lama di bibir pantai, menyaksikan buih-buih yang pecah atau sekedar menghirup wangi bunga di halaman rumah dan taman kota, kini tak bisa lagi kutemukan suasana seperti itu. Beruntunglah aku masih bisa bertemu dengan Syaikh Hasan, guru spiritualku dan juga guru bagi negeri kami.
Di kondisi laki-laki yang begitu mendominasi ini, maka tak heran, banyak laki-laki yang berlomba-lomba untuk memenangkan hati perempuan di negeriku ini. Bagaimana pun jua, generasi harus lahir kembali. Mereka harus disiapkan untuk mengisi kemerdekaan sebagai buah manis dari perlawanan terhadap tentara asing kemarin. Tapi darimana para poenerus itu akan lahir jika perempuan-perempuan yang berusia produktif untuk melahirkan anak-anak kami itu tak bisa kami temui. Bapak Presiden kami juga membutuhkan seorang pendamping hidup. Bapak pejabat tentu juga butuh. Maka seperti sebuah rahasia umum, inilah kesempatan bagi para perempuan untuk bisa mendapatkan pasangan hidup yang layak bagi mereka. Para perempuan bukan cuma sebuah pilihan bagi laki-laki tetapi lebih dari itu, ia adalah sebuah kebutuhan tempat mencurahkan kasih sayang dan pengorbanan hidupnya. Jika diantara kaum kami tidaksegera melamar perempuan yang baru saja dijumpainya, mungkin sedetik kemudian, perempuan itu sudah diperistri orang. Dan untuk mendapatkan seorang calon istri lagi, adalah hal yang sangat susah sekali. Perempuan pun menjadi bebas memilih pria pinangannya. Tak jarang ada ketegangan diantara kaumku, karena mungkin kurang cepat dalam memilih atau pun karena lamarannya ditolak. Kadang juga arena pernikahan menjadi rusuh karena diwarnai protes oleh para kaum lelaki yang merasa tertolak. Sebagaimana yang terjadi di dalam pesta ijab qabul kali ini. Saat aku dimintai Syaikh menemani beliau menjadi penghulu.
“Asikin,” kata Syaikh sembari melihat tas ku. “Dokumen-dokumen pernikahan apakah sudah kau siapkan dengan benar? Jangan sampai salah membawa dokumen atau tertukar namanya!” perintah syaikh mengingatkan agar aku lebih berhati-hati. Sebab hari ini akan ada beberapa ijab qabul di tempat yang ebrbeda-beda dengan jarak tempuh yang cukup lama. Syaikh yang biasanya tak pernah mengurusi administrasi pernikahan seperti ini, mau tak mau harus turun tangan ikut membenahi administrasi pernikahan karena terlalu banyak petugas pemerintahan yang tewas selama perang kemarin. Sementara dokumen pencatatan pernikahan ini sangat diperlukan agar tak ada perma­salahan atau gugatan-gugatan terkait dengan keabsahan pernikahan atau pun pembagian warisan dikemudian hari. Syaikh menyampaikan hal ini di pemerintah pusat dan seketika itu beberapa ulama langsung ditunjuk untuk mengurusi administrasi pernikahan, memanfaatkan sisa-sisa arsip, kertas dan peninggalan dokumen sebelum masa perang. “Kalau begitu, katakan pada mempelai perempuan untuk segera duduk disini,” perintah syaikh. “Ya, Syaikh.” Aku pun masuk ke bagian dalam rumah ini dan bertemu dengan seorang perempuan. Pakaiannya kumal. Wajahnya terlihat tidak segar. Wajahnya pun tak terlalu menarik.  Tetapi matanya begitu tajam melihat padaku. “Oh, dimanakah calon mempelai itu?” Perempuan itu mengangkat tangannya menunjuk sebuah kamar. Hampir saja aku mau menuju kamar itu tapi aku langsung tersadar bahwa tidak sopan jika aku menuju kamar mempelai perempuan.  “Apa kau bisa membantuku? Katakan padanya, bahwa bapak penghulu sudah menunggunya di meja ijab!” Perempuan itu tersenyum lembut dan terlihat malu-malu sembari berlalu dari hadapanku. Aku menjadi terpesona dengan senyumnya itu. Asikin sudah jatuh cinta atau kah karena sudah terlalu lama tidak melihat keindahan alam ciptaan Tuhan ini? Segera kutepis perasaan ini dan fokus kepada tugas-tugasku. “Tidaakkkkk....” perempuan yang kumintai tolong itu menjerit. Segera kubalikkan badan dan bergegas berlari menuju suara itu. Rupanya, perempuan itu terkejut setelah melihat pemandangan dibalik pintu kamar pengantin. Kamar itu berantakan dan calon pengantin perempuan sedang dibopong seorang lelaki yang tidak dikenal. “Kau!!! Berhenti !!!” suaraku lantang sembari merangsek masuk ke dalam kamar. “Kau siapa? Apa tujuanmu mau menculik pengantin?” kuluncurkan pertanyaan sembari aku mengatur strategi agar bisa meraih tubuh pengantin perempuan itu, sebelum lelaki itu melukai tubuhnya tau membawanya kabur melewati jendela. “Aku menyukai perempuan ini. Dia seharusnya menikah denganku. Bukan dengan lelaki itu!” terang laki-laki yang menyembunyikan sebagian wajahnya dari balik surban. “Turunkan dia sekarang!!” kulihat wajah pengantin perempuan yang sangat cantik itu memucat pasi. “Kita bisa rundingkan semuanya baik-baik. Semuanya belum terlambat!” bujukku dans egera para hadirin dan syaikh yang telah mendegar ribut-ribut dari dalam rumah besar ini langsung berada diantara kami. Laik-laki itu pun terdiam dan menurunkan calon pengantin dari bopongannya.
“Mari kita ruang utama!” perintah Syaikh dengan lembut tapi tegas. Kami semua menuju ruang utama. Mengambil posisi duduk mengitari syaikh, calon pengantin, laki-laki itu dan aku. Kulihat perempuan yang kuminta tolong itu duduk menjauh dari lingkaran setelah menyajikan minuman hangat untuk Syaikh dan para hadirin, tetapi ia tak melepaskan pandangan matanya dari sidang mendadak ini. “Aminah temani aku!” ucap mempelai perempuan kepada seorang perempuan temannya yang juga tinggal di rumah besar itu. Sejak selesai masa perang, apra perempuan yang tak lagi memiliki keluarga banyak yang tinggal secara bersama-sama, seperti di asrama, tak terkecuali calon mempelai itu, temannya Aminah dan juga perempuan itu. “Mengapa kau mau menculik pengantin perempuan ini Nak?” tanya Syaikh. “Aku mencintai perempuan ini Syaikh. Aku pernah melamarnya. Tapi ia belum memberi jawaban. Tahu-tahu sekarang dia mau menikah dengan orang lain. Itu tidak adil. Aku yang lebih dulu meminangnya!” laki-laki itu membela dirinya. “Itu bukan cara yang benar Nak. Ketika perempuan ini telah memutuskan untuk menikah dengan orang lain. Sudah sepatutnya kita ikhlas menerimanya. Allah pasti memiliki rencana lain untuk kau menikah dengan perempuan lain, Nak. Jika kau memulai dengan cara yang salah, hasilnya pun akan salah juga. Apakah ia akan bahagia ketika menikah denganmu karena sebuah paksaan?” “Maafkan saya Syaikh, saya khilaf,” laki-laki itu entah benar-benar telah menyadari kesalahannya atau menerima kekalahannya. Aku tak tahu. Untunglah masih ada para alim ulama yang sangat dihormati. Sekali para syaikh angkat bicara, warga dan pejabat pun menurut. Tak berani membantah. Kecuali segelintir orang mungkin akan membuat perbincangan di belakang Syaikh.
Seusai ritual Ijab Qobul, Syaikh mengajakku menemui laki-laki itu dan Syaikh memintaku menanyakan pada orang-orang siapa nama perempuan yang tadi membawakan minuman untuk Syaikh, perempuan itu juga yang kumintai tolong. Aku tidak menemukan perempuan itu. Teman-temannya tidak tahu namanya juga. Rupanya ia seorang yang tak banyak bicara dan tak mudah bergaul. Atau mungkin orang-orang yang enggan bergaul dengannya. Karena apa? Karena apa? Untuk apa aku tahu. Mungkin dia telah mengalami trauma yang begitu berat karena suami atau keluarga besarnya menajdi korban kekerasan selama masa perang. Apakah dia juga sudha pernah menikah? Ah tentu saja, menanyakan hal ini pasti akan menyulut permusuhan dari kaum perempuan. Dan mereka pun cukup gengsi untuk mengakui bahwa dirinya dahulu pernah menikah.  Bila semua orang yang tinggal disini tidak mengetahui namanya, bagaimana caraku menemukan perempuan itu? Lagi pula, ia juga pergi ke mana? Apakah mencari kuburan suaminya? “Syaikh aku tidak bisa menemukan perempuan itu” kataku terenggah-enggah. “Ya sudah,” jawab Syaikh kalem. “Nak, perempuan itu orang yang baik. Andai kau mau menjadikannya istrimu. Jadikanlah,” kata Syaikh pada lelaki itu. “Syaikh, di rumah besar ini dulu dihuni oleh banyak perempuan. Mereka semua cantik-cantik dan menarik hati laki-laki. Tapi hanya satu perempuan itu yang sama sekali tidak ingin kujadikan istriku. Semua lelaki yang datang ke sini, juga menyatakan hal yang sama denganku Syaikh,” terang lelaki itu menyatakan keengganannya dengan terus terang.  Aku hanya terdiam sampai Syaikh mengundurkan diri untuk melanjutkan perjalanan ke tempat penikahan selajutnya. Mengapa tak ada yang ingin menikahinya? Sepanjang perjalanan aku sibuk memikirkan pernyataan lelaki itu. Tapi mengapa Syaikh menawarkan perempuan itu pada lelaki itu?
Di jalanan, kulihat poster-poster yang lama ataupun baru yang ditempel oleh para pejabat. Apalagi kalau bukan poster tentang mencari istri. Diutamakan, yang masih gadis, perawan. Rasanya aku ingin mengumpat dalam hati ketika melihat poster itu. Bisa menikah saja harusnya sudah cukup. Tak perlu mencari yang masih gadis. Bukankah petugas sensus yang hampir selesai mendata warganya, juga mengumumkan bahwa hingga kini belum mendapatkan data warganya yang masih gadis atau belum pernah menikah.
***
“Asikin, kita berangkat sekarang!” ajak Syaikh. Aku mengangguk dan segera menyusul langkah Syaikh. Pengajian agama Syaikh pun dimulai. “Pada kondisi seperti ini, monogami sangatlah kita anjurkan,” begitu Syaikh menyampaikan gagasannya.“Saya melihat dan mendengar banyak kabar, bahwa beberapa pejabat dan lelaki kaya tidak segan-segan memiliki istri lebih dari satu. Sementara jumlah perempuan di negeri kita ini sangatlah sedikit. Sementara itu, dipihak lain, masih banyak kaum lelaki masih sangat membutuhkan kehadiran peran istri untuk memenuhi kebutuhan jiwa dan raganya.  Sekaligus untuk melahirkan kembali generasi penerus kita ini. Lagi pula, kebanyakan diantara kita tidak sanggup berlaku adil kepada semua istri-istrinya,” begitu himbauan Syaikh kepada jamaah pengajian dan pemerintah. Aku sangat terpukau dengan Syaikh ini. Rasanya seperti menemukan kembali Syaikh Hasan Basri yang pemberani, mengkritik kesalahan dan ketidakadilan yang dilakukan pejabat. 
Di majlis semacam ini biasanya, dihadiri oleh para pejabat setempat, petugas sensus, dan warga masyarakat yang kebanyakan diantara mereka saling mengenal satu sama lain. Di najlis pengajian, selalu ada sesi ramah tamah dimana di sesi ini banyak hal yang bisa dibicarakan dan sesama yang hadir, bisa saling mengenal satu sama lain. Bahkan,kadang mereka juga menemukan jodoh di sini. Dan segera bersepakat untuk segera menikah beberapa hari kemudian. Nuansa keakraban begitu terlihat dari roman muka mereka. Cengkraman setelah peperangan yang melelahkan seolah terbayar dalam pertemuan-pertemuan semacam ini. Bahkan kebanyakan mereka sudah saling mengenal. Mataku tiba-tiba menangkap bayangan seseorang yang meski duduk bersama tetapi tak terlihat wajahnya turut tersenyum bersama deraian tawa mereka. Perempuan itu, perempuan yang kumintai tolong itu. Aku bertanya pada salah satu dari orang yang duduk melingkar bersama perempuan itu. “Fulan, boleh saya bertanya?” “Ya Pak Asikin, tanyalah” “Siapa nama perempuan yang berbaju hitam itu? Yang duduk melingkar bersamamu.” “Saya tidak tahu Pak?” “Oh ya sudah, terima kasih,” ucapku. Hatiku penuh dengan tanda tanya kembali. Siapa sebenarnya perempuan itu. Ketika dia hadir, tak ada orang yang memanggil namanya, jangankan memanggil namanya, namanya saja mereka tak tahu atau tak ingin tahu. Ketika dia tak ada, pun tak ada yang menanyakannya. Ketika kemarin ditawarkan Syaikh kepada lelaki itu untuk mempersuntingnya, lelaki itu pun tak mau. Apakah dia diciptakan Tuhan untuk pejabat. Dan ternyata, para pejabat pun tak ada yang mau memperistrinya. Padahal, ternyata dia adalah satu-satunya gadis di negeri kami. Begitu seorang petugas sensus mengabarkan kabar gembira akan masih hadirnya seorang gadis di tengah-tengah negeri kami. Sayangnya kabar gembira itu, tak segembira pemilik status itu. Mungkin karena ia terlihat tak begitu menarik dan kurus kering karena mungkin kerap terlanda kelaparan. Duh... Lho, Syaikh, ada gerangan apa Syaikh berbincang dengan gadis itu? Mungkin syaikh sedang mewakili pejabat untuk melamar gadis itu. Semoga.
***
Sampai hari ini tidak ada kabar bahagia yang kutunggu-kutunggu itu. Tak ada kabar pejabat yang akan menikahi gadis itu. Meski Syeikh beberapa kali menawarkan perjodohan kepada para pejabat. Lamunanku terhenti ketika kudengar suara Syaikh memanggilku. “Kita harus pergi ke suatu tempat Asikin, sekarang!” begitu Syaikh berkata sembari melangkahkan kakinya. Aku menurutinya. Syaikh tak banyak bercerita sepanjang perjalanan. Bibirnya terus saja bergerak, seolah-olah  melafalkan dzikir tanpa henti-hentinya. Tiba di kampung itu, Syaikh memanggil beberapa perempuan jamaah pengajiannya dan mengajak mereka ke suatu rumah besar. Rumah yang dulu seorang perempuan tersenyum padaku, rumah dimana Syaikh menawarkan perempuan itu pada seorang lelaki. Ternyata di rumah itu terdapat dua orang yang tengah sibuk menyiapkan pemandian jenazah. Aku langsung tahu, ada kematian di sini. Tetapi mengapa  hanya sedikit orang yang hadir untuk prosesi upacara pensholatan dan pemakaman jenazah. Syaikh menahan ibu-ibu yang dia bawa untuk tidak masuk ke dalam rumah. “Mari kita menyingkir di belakang jendela ini?” pinta Syaikh. “Ada apa Syaikh? Bukankah kita harus segera mengurus jenazah?” kataku. “Perempuan itu baru saja naza’, dan 70 ribu malaikat sedang menjemputnya. Aku terdiam. Merinding. Siapa perempuan itu? Aku tidak berani membayangkan bahwa perempuan itu adalah perempuan yang dulu tersenyum padaku. Hatiku seketika menjadi remuk redam. Tak lama kemudian Syaikh mempersilahkan kami masuk ke dalam. Kubuka kain kafan itu, dan, wajah itu adalah wajah yang tersenyum lembut padaku, sama seperti senyumnya disaat kematiannya kini. Kakiku lemas. Tak sanggup aku berdiri. Aku terkulai jatuh di bawah meja jenazah. Aku memandang Syaikh yang sibuk berdzikir. “ Asikin, dia ini Abidah. Dia lah orang yang sangat mencintai Tuhan. Seluruh waktunya dia berikan untuk Tuhan. Mata manusia yang cela tidak bisa mengenali betapa agung kedudukan dia di sisi Tuhan. Karena kita menggunakan kacamata manusia dalam mengukur status seseorang, maka kita akan tertipu. Kehadirannya seolah tak berarti bagi manusia. Tapi bagi Allah, dia adalah ahli surga. Jika suatu saat kau bertemu dengan orang semacam dia, maka kata Rasulullah, mintalah padanya, agar dia memohonkan kepada Allah untuk mengampuni semua dosa-dosamu.” Aku terdiam. Tak sanggup berkata apa-apa lagi.   



Comments