CERITA PENDEK JOKO GESANG SANTOSO, YOGYAKARTA: DUA LAKI-LAKI

CERITA PENDEK JOKO GESANG SANTOSO, YOGYAKARTA: DUA LAKI-LAKI

 

 

DUA LAKI-LAKI

Aku kelabui laki-laki itu, dengan mengubah arah langkahku sedikit berbelok ke kanan beberapa meter dan memanfaatkan kerumunan orang-orang pasar yang berlalu-lalang. Aku masuki gudang tua. Mungkin untuk sementara ia tak bisa mengejarku. Laki-laki itu, yang semenjak dua minggu lalu mengikutiku. Dari gerak-geriknya ia bukanlah orang biasa. Perawakannya memang tak begitu menonjol, layaknya laki-laki dewasa pada umumnya, tetapi agak tinggi dan memang tegap serta kukuh tubuhnya. Penampilannya sederhana hanya selalu mengenakan jaket kulit dan kacamata warna hitam. Setiap kali aku menengok ke arahnya, di belakangku, ia selalu melengos dan terlihat mencari-cari alasan pembicaraan dengan orang lain di sebelahnya, atau pura-pura melihat sesuatu yang berada di dekatnya untuk mengalihkan perhatian, seolah-olah ia tak sedang mengawasiku. Aku rasa, ia sudah tahu siapa aku, sedang, baru kali ini aku melihatnya.
Beruntung aku bisa memanfaatkan kerumunan orang-orang pasar itu dan menyelinap. Dan benar saja, dari balik kaca jendela gudang tua ini, kulihat ia kebingungan mencari jejakku. Ia sibakkan kerumunan orang-orang pasar itu. Dan setelah itu bergegas berjalan ke arah berlawanan dengan menyeberangi jalan. Mungkin ia mengira aku menyeberang jalan ketika lampu merah, menyusupi mobil dan truk yang sedang berhenti. Aku tertawa puas.
Tubuhku menggelendot di tembok gudang tua yang apak dan sedikit berlumut. Terpaksa kutahan napas selama mungkin dan kubuang ke jendela dan menghirup udara dari luar sebanyak mungkin. Kulakukan sampai beberapa jam. Bertahan di gudang tua. Laki-laki itu membuatku cemas, barangkali aku ketakutan. Baru kali ini aku merasa dihantui, dan barangkali oleh ketakutanku sendiri. Atau, entah. Apa aku memang takut pada laki-laki itu?
Kulongokkan pandangku ke jendela sekali lagi, melihat di seberang jalan. Laki-laki itu tak ada di sana. Aku bernapas lega.
Aku beranjak keluar dari gudang tua. Uh, kusumpahi tak akan bersembunyi di tempat itu lagi. Kalau bukan karena terpaksa. Bisa-bisa darahku habis dihisapi nyamuk yang mengganas itu. Sial!
Kenapa aku menjadi setakut ini? Laki-laki sial itu!
Aku putuskan untuk segera pergi ke kota Y, kebetulan seorang perempuan mengundangku untuk singgah di rumahnya. Bahkan mungkin menginap. Dan, baru sekali ini aku diundang ke rumahnya. Baru kali ini semenjak ia berhenti bekerja di kota ini. Ia pasti sudah menunggu-nunggu kedatanganku. Ia pasti tak ingin aku terlambat barang sedetik pun. Dan, belum akan kukatakan siapa perempuan itu.
Setidaknya untuk beberapa lama aku akan aman di kota Y. Dari laki-laki itu.
Dua jam duduk di jok bus yang busanya tipis sungguh membuat pantatku kesemutan. Kepalaku pun nyut-nyutan dibuatnya. Bus seperti setan karatan. Menderu dan menyereti debu masuk ke jendela dengan derit mesin yang tak karuan. Ragangan bus seolah tak kukuh lagi, menahi di mana-mana, dempulan di segala tempat. Uh!
Tiba juga di kota Y. Tinggal menuju alamat perempuan itu. Untuk itu, kusewa sebuah taksi. Tak mau aku naiki bus lagi. Aku balas kekesalanku dengan menyewa taksi kelas satu. Dan sekali lambai, sebuah taksi warna biru menghampiriku. Aha! sopirnya menyempatkan turun dan membukakan pintu. “Mari…” katanya sopan. Aku pun mengangguk dan dalam hati tersenyum puas. Ramah betul orang ini, batinku. Taksi melaju tanpa suara. Tanpa geletar jendela yang menyetrum pelipisku, seperti pada bus itu. Dan, tak ada debu yang masuk melalui jendela.
Aku tunjukkan alamat yang kubawa dan sopir itu langsung tahu di mana tempat yang akan aku tuju. “Kira-kira tiga kilo dari sini…” katanya lagi tanpa menengok. Taksi melaju dengan kecepatan rata-rata. Dan, sejenak kubayangkan laki-laki yang mengejarku itu pasti sedang kebingungan melacak jejakku, mengumpatlah ia sejadi-jadinya. Untuk itu aku tertawa sendiri. Geli rasanya. Sepertinya aku dan laki-laki itu sedang bermain petak umpet tanpa kesepakatan sebelumnya. Ia bakalan tidak tahu aku sudah di kota ini. Tawaku menderas, hingga sopir itu kemudian memandangku dari kaca spion dengan tatapan keheranan. Kemudian aku sadar, hanya ada aku dan sopir dalam taksi. Dan, kini gantian sopir itu yang tertawa melihatku. Sial!
Taksi berhenti di sebuah rumah yang kelihatan kecil, diapit rumah bertingkat di samping kanan-kirinya. Sopir itu tahu-tahu sudah di pintu belakang mobil dan menyilahkan aku keluar. “Sudah sampai, Mas …” katanya sambil membentangkan tangan kanannya berlagak macam jongos zaman Hindia-Belanda, kepalanya menunduk, dan sebenarnya ia menahan tawanya supaya tak terlihat olehku. Ia masih menertawaiku! Awas kau!
 Aku masuki halaman yang sudah terbuka gerbangnya. Rupa-rupanya gerbang itu dibiarkan tak terkunci. Barangkali untuk memudahkanku masuk. Sebelum kuketuk pintu, perempuan itu tahu-tahu muncul dari balik pintu dan langsung merangkulku, menciumi pipiku dan membawaku masuk ke dalam.

***

Sudah kuduga sebelumnya. Dikiranya aku tidak tahu kau ada di mana. Kau akan menuju gudang tua itu kan? Meringkuk di sana dan melihatku seperti manusia kebingungan hingga kau tersenyum puas seperti melihat orang tolol! Sesukamu sajalah! Puas-puaskan tawamu. Aku memang sengaja membiarkanmu lolos sementara, siapa tahu, dengan begitu, komplotanmu yang buron itu bisa aku tangkap semua.
Sabarlah kau, diri. Batinku.
Sengaja aku seberangi jalan supaya laki-laki itu mengira aku terkelabui dengan tipuan murahnya itu. Dari sini, selama beberapa jam, terlihat ia bertahan di sana. Di gudang tua bekas pabrik rokok itu.
Ayoh keluar, lihatlah aku sudah menghilang, kataku dalam hati seolah ingin kubisikkan di telinganya supaya cepat keluar dari gudang itu.
Dan benar juga, ia keluar dengan melihat ke arahku. Namun ia tak bakalan mengetahuinya, karena aku bersembunyi. Setelah merasa aman, ia berjalan ke jalan raya. Menyetop sebuah bus yang kondisinya menyedihkan: karatan, dempulan di mana-mana. Meluncur hendak ke suatu tempat. Barangkali ke tempat persembunyian komplotannya. Segera aku ikuti bus itu dengan sepeda motor di belakangnya.
Anehnya, di beberapa pemberhentian laki-laki itu tak terlihat turun. Sedang pemberhentian terakhir adalah kotaku sendiri. Apa betul komplotannya malah bersarang di kotaku sendiri, tanyaku dalam hati.
Bus pun berhenti. Segera kubelokkan stang sepeda motorku ke arah yang tersembunyi. Laki-laki itu terlihat turun dan berlagak seperti pelancong. Bergagah-gagah dengan mata jelalatan ke mana-mana. Dan lagaknya lagi, kali ini ia menyewa taksi kelas satu di kota ini. Sombongnya, ingin rasanya segera kuledakkan kepalanya dengan pistol.
Aku ikuti laju taksi.
Semakin terheran-heran aku dibuatnya. Arah taksi melaju seperti tak asing bagiku. Jalan ini setiap hari aku lewati.
Belum habis heranku, taksi berhenti di depan rumahku sendiri. Dadaku sesak. Pikiranku mulai kacau ke mana-mana. Sedang istriku selama berminggu-minggu aku ditugaskan ke luar kota, di rumah sendirian. Aku mulai khawatir.
Segera kuparkir sepeda motor dan mendekat dari halaman samping, sambil mengongkang pistol. Kalau laki-laki itu macam-macam, kuledakkan kepalanya sekarang juga. Persetan dengan komplotannya itu. Persetan dengan tugas atasan. Ini tidak masuk prosedur penugasan. Ia hendak menculik istriku!
Aneh, kenapa istriku begitu teledor. Dibiarkannya gerbang depan tak terkunci. Laki-laki itu dengan mudahnya masuk dan mendekati pintu. Moncong pistol aku arahkan tepat pada pelipis kanannya. Jari telunjukku agak gemetaran bersiap menarik picu. Terdengar suara berlari dari dalam, dan tak lain itu adalah istriku sendiri. Jangan! Jangan keluar! Itu bukan suamimu! Seseorang akan menculikmu, pekikku tertahan. Telunjukku sudah bersiap menarik picu.
Setelah pintu terbuka. Aku terperanjat. Biji mataku seperti meloncat tak percaya. Peluru-peluru seperti meledak sendiri di kepalaku. Seperti sudah terbiasa, istriku begitu saja merangkul laki-laki itu dan menciuminya. Mabukkah ia? Mimpi barangkali?
Dasar jalang! umpatku ragu.
Istriku yang selama ini kupuji-puji karena kesetiaannya. Ternyata selingkuh! Selingkuh dengan laki-laki penjahat. Buronan negara yang dua minggu ini kuincar. Aku semakin tak percaya. Tapi, ini nyata. Aku curiga, dulu sewaktu istriku bekerja di luar kota, perselingkuhan itu begitu harmonis. Bahkan lebih harmonis dari hubunganku sekarang.
Tubuhku lemas. Pistol aku sarungkan kembali.
Tak kumasuki rumahku sendiri dan melabrak pintu belakang untuk kemudian menyerang dan membunuh kedua orang yang sedang bercinta di kamarku sendiri: istriku sendiri. Tidak! Tidak akan! Bahkan ini sangat konyol.
Aku polisi dengan pistol dan enam peluru, sedang ia penjahat, cengengesan,  menganggapku bodoh dan mungkin tanpa senjata apa-apa. Aku kalah. Pistol dan  peluru tak ada apa-apanya. Semuanya melempem dan lumer oleh kesetiaan istriku yang palsu. Tak ada apa-apanya.
Aku kembali ke kota penugasanku. Kutunggu laki-laki itu di sana. Akan kubunuh ia di saat yang tepat. Kulakukan secara jantan. Sebagai polisi! Dan, ia sebagai penjahat!

***

Kulihat laki-laki itu berjalan dengan diiringi dua orang di belakangnya. Kali ini ia berjalan di pusat kota. Barangkali hendak merampok, batinku. Dan, benar juga ia memasuki sebuah bank. Terdengar beberapa kali teriakan perempuan dari dalam. Kubiarkan saja, aku memilih menunggu di luar dan bersiap dengan pistol. Setelah beberapa menit laki-laki itu keluar diikuti dengan dua rekannya. Masing-masing membawa tas berisi penuh.
Sejenak aku teringat peristiwa waktu itu, laki-laki itu pernah menang. Meniduri istriku tanpa aku bisa berbuat apa-apa. Sekarang …
Telunjukku menarik picu berkali-kali. Enam peluru melesat dari moncongnya. Dua memecahkan kaca bank, dua bersarang di perut dua penjahat yang mengiringi laki-laki itu. Dan laki-laki itu sendiri tak berkutik setelah peluruku melubangi kepala dan dadanya.
Tugas selesai.
Barangkali dendam juga selesai.
Sebelum pulang ke rumah. Kusempatkan mengambil surat diagnosa dokter yang dijanjikan beberapa hari yang lalu. Kudatangi dokter itu, dan tampak kekecewaan di wajahnya. “Maaf, Mas, saya tidak bisa banyak membantu ….” katanya sopan sambil menyerahkan amplop. Kuterima amplop itu tanpa kubuka.
Tiba di depan gerbang rumah. Kubuka amplop itu dan seperti sudah menduga dan siap menerima kenyataan, aku tidak kaget dengan diagnosa dokter bahwa aku positif mandul.
Sungguhnya istriku mungkin ingin setia, tapi, bagaimana mungkin rumah tangga bisa harmonis tanpa ada anak-anak. Mungkin aku benarkan ia berselingkuh. Mungkin juga tidak! Ia tidak jujur padaku. Tapi, apa aku pernah mengatakan padanya bahwa aku mandul! Aku pun ternyata bersembunyi dalam ketakutanku. Ketakutan akan kehilangan istriku nantinya jika aku jujur. Berarti aku pun tidak jujur. Dan, kami berdua impas.
Istriku menyambut di depan. Merangkul dan menciumi pada pipiku, sungguh pemandangan yang sama seperti saat dengan penjahat waktu itu. Dibawanya aku masuk ke dalam rumah dengan sejuta cerewetnya yang tak kuperhatikan.
Kemudian tangannya meraih tanganku dan meletakan di perutnya. Seolah-olah ia ingin aku merasakan sesuatu. Kedua matanya kulihat berbinar-binar. “Selamat, Mas, kau akan menjadi seorang bapak…” katanya merajuk. Dadaku seperti ditusuk, napasku sesak. Ini penghinaan! Di dalam rahim istriku, laki-laki penjahat itu mungkin tersenyum puas. Ia akan terlahir kembali!
Sedikit ragu, kuserahkan padanya amplopan dari dokter itu. Ia membuka dan membacanya. Ia terlihat kelabakan, gelagapan, seperti tenggelam dalam kolam yang begitu dalam hingga sulit bernapas. Ia ingin berkelit atau menjelaskan sesuatu, tapi seketika itu aku mendahuluinya berkata.
“Maaf, kita cerai!” kataku singkat.


 +++++++

Joko Gesang Santoso, lulusan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta dan S2 di  Fakultas Ilmu Budaya UGM. Beberapa karya cerpen dan puisinya pernah dipublikasikan media massa. Karyanya tergabung dalam antologi bersama; Memoar Perjalanan (Antologi Puisi 2006),  Negeri Tanpa Kekasih (Antologi Puisi 2007), Stasiun Perjamuan (Antologi Puisi 2007) Hari Ini Tak Ada Hujan Turun (Antologi Puisi 2007), Kampung Dalam Diri (antologi Puisi Penyair Muda Lima Kota, 2008), Tiga Peluru (Antologi Cerpen Minggu Pagi) 2010. Pernah mendapat beasiswa menulis novelet 2007 dari Yayasan Umar Kayam Yogyakarta dengan menulis satu novelet yang berjudul Kepundung”.


#####
Cerpen ini pernah dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat Yogyakarta. Isi cerita yang menarik dan menjadi pelajaran berharga bagi pembaca, menjadi alasan redaktur untuk memuat cerita ini. Terima kasih.

Comments