CERITA PENDEK CHAI SISWANDI, KUTAI KERTANEGARA: TEMANKU MINGGAT

CERITA PENDEK CHAI SISWANDI, KUTAI KERTANEGARA: TEMANKU MINGGAT




TEMANKU MINGGAT

Hati-hati ia memanjat turun dari jendela kamar, kawanku hendak minggat. Aku dimintanya standby di luar rumah, menunggu dan terpenting sebab aku punya Vespa, mengantarkannya ke pelabuhan.
Samarinda-Pare-pare rute yang dipilihnya dalam pelarian ini. Rencananya ia akan lanjut terus ke Indonesia timur, entah sampai mana kakinya sanggup berjalan, atau lebih tepatnya sampai mana ongkosnya bertahan.
Ia membeli tiket malam itu juga, ternyata kapal berangkat pagi. Jadi sekali lagi ia memintaku menunggu, menemaninya sampai berangkat. Celakanya di malam yang suntuk itu, ia malah memutar mp3nya dan itujazz. Iya musikjazz. Entah sejak kapan bajingan ini bisa punya musik itu.
Aku tak tahu dan tak mau tahu siapa penyanyinya.Bagiku hanya menambah kantuk, suasana jadi lebih muram. Adakesedihan yang rumit di dalam jazz, sebagaimana ada kegembiraan yang entah dari mana di dalam reggae.
“Jadi bagaimana kuliahmu?” aku bertanya.
“Ya, kutinggalkan!”
“Bukannya sayang, tinggal berapa semester ini?”
“Aku bosan, aku mau suasana baru. Tak enak rasanya terus menerus jadi penurut, walaupun itu lebih mudah. Aku terlalu tergantung pada orang lain, omku itu. Aku hanya ingin merasakan hidup dengankehendak sendiri. Dan sepertinya itu bakal menarik,” katanya sembari menyalakan Marlboro. Deru angin pelabuhan sekilas membuat ia harus melindungi nyala api dengan tangannya.
Mahakam kelihatan tenang. Lampu-lampu kota temaram, kekuningan. Aku tak membawa jaket karena memang tak menyangka bakal bermalam di pelabuhan. Truk-truk besar yang terparkir di tepi jalan. Sopir-sopir tertidur. Juga calon penumpang lain, ada yang tertidur di bangku-bangku, ada juga yang di lantai berselimut koran.Penjual makanan dan minuman kemasan memakai keranjang silih berganti menawarkan dagangannya kepada kami. Ia membeli air mineral. Dan beberapa bungkus rokok. Mungkin untuk cadangan di atas kapal nanti.
“Aku Cocacola saja, seperti biasa,” kataku. Lalu aku pamit sebentar,  membeli terang bulan di seberang gerbang masuk Pelabuhan. Terang bulan keju.
Sambil mengunyah terang bulan itu, ia menanyakan,“Mengapa penjual martabak, selalu bersamaan, jadi satu dengan terang bulan? Padahal asal makanan ituberbeda. Yang satu India yang lain bikinan keturunan Cina, mereka sebut makanan iniHoklo pan.”
Aku tak pernah tahu jawabannya. Yang kutahu penjual terang bulan di seberang pelabuhan itu orang Tegal. Terlalu mempermasalahkan hal-hal kecil macam dari manaasal terang bulan dan martabak itu agak aneh.Dan menurutku toh tak penting asalnya, yang penting rasanya.
Sebenarnya, pertemanan kami boleh dibilang singkat, baru tiga tahun. Namun, tahun-tahun itu kami isi keakraban dan lebih banyak kegembiraan. Bekerja paruh waktu di tempat yang sama, sebagai buruh angkut piring katering. Kadang menyambi jadi panitia seminar, bagian angkat-angkat barang dan dekorasi. Paling seringberjumpauntuk merencanakan bepergian, melancong ke tempat-tempat wisata dengan modal pas-pasan. Miskin dengan gaya!
Pernah kami kelaparan di perjalanan, hanya makan mie instan yang kami makan mentah seperti kerupuk. Sebungkus berdua. Dan tak punya uang untuk naik kendaraan umum, sehingga terpaksa mengompreng berbagai kendaraan yang lewat, melintasi kota-kota dan provinsi.
Hanya saja, sebab di Samarinda ia menumpang di tempat pamannya. Kegiatan jalan-jalan  kami jadi terbatas. Apalagi omnya itu seorang dosen. Jadi punya pandangan tersendiri (yang sebenarnya bentuk perhatian) terhadap kelakuan keponakannya itu, termasuk urusan kuliah pastinya.
Belakangan menurutnya keluarga pamannya itu sering marah sebab ia dianggap melalaikan kewajibannya sebagai mahasiswa. Nilai yang anjlok, beberapa mata kuliah yang harus mengulang.
Dan sepertinya konflik memuncak. Mereka sempat bertengkar.Itulah akhirnya, ia memintaku menjemputnya di luar rumah. Bermodal ransel yang kuduga seuntal pakaiannya, ia minggat dari rumah itu. Tak ada pesan yang ditinggalkan untuk pamannya. Hanya pergi.
Kami menghabiskan pagi di pelabuhan, menunggu berkas-berkas sinar matahari yang muncul berkilauan dari sela-sela kapal, peti kemas, dan lalu lalang buruh angkut barang.
Kapal terlambat berangkat pagi itu, suara peluitnya mengagetkan burung-burung gereja yang bertengger di kabel-kabel tiang listrik. Kuingat dia menenteng ransel dan memberi salam hormat. Di dompetku cuma ada tiga ratus ribu rupiah, kuberikan seluruhnya kepadanya.
“Oh ya bro, aku ingin berpesan satu hal,”katanyatiba-tiba sebelum berangkat.
“Pacarku belum tahu aku akan pergi. Mungkin dia bakal patah hati dan sedih. Sehabis ini kuminta kauhibur dia, kalau perlu kaupacari!,” imbuhnya pelan.
“Ah! mana mau aku bekasmu, sialan kau...” sautku. Kita berdua tertawa.
Kami sama-sama mengerti, aku bukan pagar. Dan pacarnya bukan tanaman. Tapi manusia, dengan kehidupan dan garisan tangan masing-masing. Lagi pula,memacari kekasih teman sendiri adalah bentuk pengkhianatan atas persahabatan.
Kulihat dia naik ke atas kapal. Berjejal dengan penumpang lainnya. Sekejap sebelum kapal besi itu mulai bergerak, kulihat dia di pinggiran pagar, melambaikan tangan, serta meneriakkan perkataan yang tak jelas. Seperti itu diutarakan untuk angin.
Sama sekali tak ada upayaku mencegahnya pergi. Atau setidaknya mengucap selamat jalan. Apakah aku teman yang baik?
Angin menderu, lagi.~


Comments