SAJAK-SAJAK NOORCA M. MASSARDI, JAKARTA

SAJAK-SAJAK NOORCA M. MASSARDI

HAIKU SENIN

kata mengalir 
dari hulu ke hilir 
pagi mencair 

kata terdengar 
dari kalbu ke nalar 
fajar belajar 

kata terbaca 
dari lidah bertinta 
senja mengeja 

kata berbisa 
dari hati yang nista 
kabut jelaga 

kata berdusta 
dari dengki melata 
gelap semata 

kata khianat 
dari bisikan laknat 
kelam merapat 

kata manfaat 
dari rahmat dan nikmat 
hari yang berkat 

kata memuja 
dari akhlak yang mulia 
subuh bersembah 

kata terukir 
dari ayat bergulir 
malam berdzikir 

kata bertanya 
dari mana aksara 
sebelum iqra 

kata bermata 
dari alam semesta 
terang jendela 

kata berfirman 
dari penunjuk jalan 
ke akhir zaman 

puisi prosa 
dari ilham dan rasa 
Allah Kuasa




HAIKU SENIN (2)

suatu hari 
datang seorang padri 
cari mentari 

pandir tertawa 
si padri sudah gila 
bertanya pula 

lihat ke langit 
cahaya yang menggigit 
pandir menjerit 

padri tengadah 
awan mendung berubah 
terang berpindah 

gelap semata 
mentari tak bertakhta 
ke mana dia 

pandir ternganga 
apa hendak dikata 
garuk kepala 

siang yang terik 
berubah dalam detik 
hujan menitik 

pandir berdalih 
mentari yang dicari 
sudah dicuri 

 usah dijawab 
apa yang aku tanya 
padri tertawa 

suatu hari 
jangan terlalu yakin 
yang belum pasti 
(senin, 170417)


+++++
Noorca. M. Massardi, lahir dikenal sebagai penyair, pengarang, penyunting, penulis lakon sandiwara, pemeran pria, sutradara, penulis skenario film, juri festival film atau sinetron, penerima anugerah kebudayaan, juri lomba iklan, pewarta, serta pembawa acara atau kolumnis dan budayawan.  Bisa bahasa Inggris dan Perancis. Lakon-lakon sandiwaranya yang memenangi Sayembara Penulisan Lakon Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) antara lain Perjalanan Kehilangan (1974), dan Terbit Bulan Tenggelam Bulan (1976),Sayembara Penulisan Lakon Anak-anak Direktorat Kesenian Depdikbud: Tinton (1976), dan Mencari Taman (1978), Sayembara Penulisan Lakon Pemerintah Daerah Jawa Barat Kuda-Kuda (1975),Lakon lainnya adalah Growon g (1982), Kertanegara (1973), dan Bhagawad Gita (1972).

Comments