OPINI ZULVA ZANNATIN ALIA: PEREMPUAN, PESANTREN DAN WOMAN CRISIS CENTER

 




Keadilan gender yang didengung-dengungkan oleh kalangan feminis maupun gerakan perempuan nampaknya belum terwujud secara optimal. Hal ini terbukti dari masih banyaknya kasus kekerasan yang menimpa perempuan dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir. Catatan Tahunan Komnas Perempuan memperlihatkan kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2001 terdapat 3.169 kasus, pada tahun 2012 sebanyak 216.156 dan tahun 2013 meningkat menjadi 279.688 kasus sedangkan pada tahun 2016 meningkat lagi menjadi 371.572 kasus.  Kekerasan tersebut mencakup fisik, psikis, ekonomi dan seksual. Dalam konteks kekerasan seksual, selama 12 tahun (2001-2012), sedikitnya ada 35  perempuan korban kekerasan seksual setiap hari. Tahun 2012 tercatat 4.336 kasus kekerasan seksual. 2.920 di antaranya terjadi di ruang public/komunitas. Mayoritas kekerasan seksual muncul dalam bentuk perkosaan dan pencabulan (1620). Korban meliputi semua umur, dari balita hingga manula, rata-rata usia antara 13-18 tahun. Ini hanyalah data yang dilaporkan ke lembaga Negara dan social, yang tak tercatat akan selalu lebih besar dari yang dilaporkan (Komnas Perempuan, CATAHU: 2016).

Selain itu, kekerasan terhadap buruh migran khususnya perempuan juga seringkali terjadi. CATAHU mencatat di tahun 2016, terdapat 2 (dua) pekerja migran Indonesia  yang di eksekusi mati di Arab Saudi (Komnas Perempuan, CATAHU: 2016). Sementara itu, data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) tahun 2014 menunjukkan sekitar 5 – 15% dari 200 – 400 ribu orang TKI yang pulang ke Indonesia setiap tahunnya adalah TKI yang bermasalah. Masalah-masalah tersebut salah satunya yaitu menjadi korban tindak kekerasan/konflik dengan majikan berupa kekerasan fisik dan penganiayaan seksual (BNP2TKI, 2014).

Bentuk kekerasan lain yang menimpa perempuan yaitu masih banyaknya perempuan yang menjadi korban perdagangan (Human Trafficking). Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, menyebutkan bahwa Indonesia saat ini menjadi negara dengan tingkat Human Trafficking tertinggi di dunia. Hal tersebut dikarenakan masih tingginya minat masyarakat untuk bekerja keluar negeri dengan iming-iming gaji besar. Malaysia merupakan negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia.Wilayah Kalimantan Utara, daerah Sebatik, Kabupaten Nunukan menjadi daerah yang berbatasan langsung dengan negeri jiran tersebut. 

Secara geografis, letak Kalimantan Utara yang berbatasan langsung dengan Malaysia menjadi jalur favorit Human Trafficking. Angka kasus Human Trafficking yang terdeteksi oleh pemerintah Indonesia dalam setahun mencapai 70 ribu kasus. Angka tersebut bisa naik berkali lipat karena banyaknya kasus Human Trafficking yang lepas dari pantauan pemerintah. Saat ini yang terdeteksi, dalam sehari pemerintah Indonesia memulangkan sekitar 1500 tenaga kerja di Bandara Selat Panjang Jakarta. Padahal laporan dari agen pengiriman resmi di Indonesia, pengiriman tenaga kerja hanya berkisar 100 hingga 250 tenaga kerja perbulannya (Nurhana, 2017).

 Tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan tersebut di atas  menyebabkan pemerintah mengambil sikap dengan menempatkan Indonesia pada posisi darurat kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kekerasan  yang dialami perempuan sudah dalam kondisi darurat untuk segera ditangani secara tepat dan adil, komprehensif dan holistik. Upaya-upaya menuju keadilan gender yang hakiki antara laki-laki dan perempuan harus dilakukan secara masif dengan melibatkan berbagai pihak. Selain dari segi pelaku, penanganan secara komprehensif juga harus diberikan kepada korban kekerasan seksual terutama perempuan dan anak. Trauma korban kekerasan apabila tidak ditanggulangi secara tepat akan menimbulkan dampak yang berkepanjangan dan menjadikan siklus rantai kekerasan di generasi berikutnya. Salah satu upaya dalam pemberdayaan dan penanganan perempuan korban kekerasan adalah dengan mendirikan Women Crisis Center (WCC) Berbasis Pesantren.

Menghadirkan WCC di lingkungan pesantren bukan tanpa alasan. Karena WCC setidaknya dapat melakukan pendampingan untuk program-program penguatan perempuan, semisal persoalan-persoalan yang berkaitan dengan penelusuran wacana tafsir perempuan, program-program pelatihan terpadu, dll. Dengan begitu, WCC dapat menjadi milik bersama, karena perannya yang riil dan mengenai sasaran. Selama ini WCC seakan baru dimiliki oleh kelompok-kelompok perkotaan saja. Sehingga strategi penguatannya bagi perempuan lebih terkosentrasi pada masalah-masalah sosial, pendidikan dan politik.

Oleh karena itu, penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan solusi aplikatif terhadap kekerasan yang menimpa perempuan melalui Women Crisis Center Berbasis Pesantren dan penerapannya di wilayah perbatasan.



Perempuan dan Kekerasan

Kekerasan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain (KBBI, 2000). Dalam perspektif gender, kekerasan selalu ditujukan kepada pihak perempuan. Atau dengan kata lain, perempuan selalu identik dengan kekerasan. Hingga sekarang kekerasan terhadap perempuan terus meningkat, padahal lembaga-lembaga yang notabene membela hak-hak perempuan bermunculan di mana-mana. Dalam salah satu laporan sebuah buku yang dikutip oleh Mansour Fakih, bahwa setiap enam menit seorang perempuan diperkosa dan malahan dua dari tiga orang perempuan di Amerika pernah mengalami serangan seksual dalam hidup mereka (Fakih, 2002).  Kondisi ini barangkali lebih meningkat lagi sekarang.

Deklarasi PBB tentang anti kekerasan terhadap perempuan  mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan adalah segala bentuk kekerasan berbasis jender yang berakibat atau mungkin berakibat, menyakiti secara fisik, seksual, mental atau penderitaan terhadap perempuan; termasuk ancaman dari tindakan tersebut, pemaksaan atau perampasan semena-mena kebebasan, baik yang terjadi di lingkungan masyarakat maupun dalam kehidupan pribadi (Deklarasi PBB dalam Subhan, 2008).

Menurut Zaitunah Subhan, bentuk kekerasan terhadap perempuan secara umum dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu kekerasan di ranah domestik (rumah tangga) dan kekerasan publik (di luar rumah tangga). Kekerasan dalam rumah tangga biasa disebut dengan KDRT. Kekerasan dalam rumah tangga dapat berupa penganiayaan fisik (misalnya pukulan atau tamparan, tendangan, dll.), penganiayaan psikis atau emosional (misalnya penghinaan, pelecehan, cemoohan, ancaman), melukai hati dan perasaan, merendahkan harga diri, mengancam akan menceraikan dan memisahkannya dengan anak-anak. Serta terdapat pula kekerasan ekonomi, yang artinya tidak memberi nafkah, menguasai hasil kerja istri, memaksa istri bekerja untuk suami. Juga ada kekerasan seksual yaitu bisa berupa pelecehan seksual, dll (Subhan, 2008).

Kekerasan terhadap perempuan merupakan perilaku yang sudah seharusnya mendapat perhatian khusus baik dalam upaya penanganan maupun pencegahannya. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Berdasarkan wawancara bersama Enung Nursaidah Rahayu, yang dimuat di MILIS Majelis Muda Muslim Bandung, menuturkan bahwa terdapat sedikitnya 4 (empat) faktor penyebab munculnya Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP). Pertama, faktor budaya masyarakat yang sudah terbiasa dengan tradisi bias gender. Tradisi ini akan menjadi semakin parah ketika pembedaan peran dan fungsi antara kaum laki-laki dan perempuan diperkuat dengan ideologi patriarkhi yang menempatkan fungsi laki-laki lebih utama di banding perempuan. Dominasi patriarkhi ini memberi pengaruh sangat signifikan bagi masyarakat ketika menerapkan norma serta cara berhubungan satu sama lain dalam berbagai struktur sosial, mulai dari ranah rumah tangga, tempat kerja, hingga ranah publik sekaligus.

Kedua, faktor relasi dalam keluarga. Sistem kemasyarakatan kita pada umumnya menempatkan peran istri berada di dunia domestik yang hanya terbatas pada dapur, sumur, dan kasur, dengan persepsi suami sebagai pemimpin. Hal ini mendorong istri tergantung pada suami, khususnya secara ekonomi. Dengan demikian relasi suami-istri menjadi tidak setara atau timpang. Salah satu akibat dari ketimpangan istri seringkali diperlakukan semena-mena oleh suaminya (MILIS M3B, 2014).

Ketiga, faktor individu. Temperamen atau karakter individual menyebabkan seseorang melakukan tindak kekerasan. Hal ini tidak lepas dari pengaruh lingkungan keluarga. Dapat dipastikan anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan kekerasan akan tumbuh menjadi manusia yang bertindak dengan kekerasan juga.

Keempat, adanya pandangan agama yang bias gender. Hal ini tidak terlepas dari akar budaya patriarkhi, yang memengaruhi masyarakat dalam menafsirkan ajaran agama.

Dengan demikian, jelaslah bahwa kekerasan yang terjadi baik dalam wilayah domistik maupun wilayah publik selalu menimpa kaum perempuan. Untuk itu, kaum perempuan khususnya dan masyarakat umumnya perlu menyadari persoalan ini dan sesegera mungkin untuk berusaha memecahkannya. Upaya-upaya strategis perlu ditempuh, salah satunya dengan mendirikan Women Crisis Center berbasis Pesantren. Pesantren sendiri memiliki dua fungsi dalam kaitannya dengan persoalan perempuan. Yaitu fungsi preventif dan fungsi kuratif. Fungsi preventif dapat dilaksanakan dengan memberikan pendidikan kepada perempuan sehingga mereka memiliki pengetahuan yang memadai dan kemudian menyadari arti pentingnya kesetaraan gender di masyarakat, khususnya bagi kaum perempuan. Sedangkan fungsi kuratif dilaksanakan untuk menangani perempuan korban kekerasan dengan berbagai program yang terintegrasi di pesantren, berupa konseling keagamaan, pemberdayaan ekonomi, pemulihan fisik dan psikologis, dll. 

++++++
Zulva Zannatin Alia, asal Trenggalek, Jawa Timur, pergi merantau mengikuti keluarga dan tinggal di Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Lulus sebagai Sarjana Pendidikan dari Program Studi Bimbingan dan Konseling FKIP UBT, dan aktif di berbagai organisasi selama menjadi mahasiswa.Hingga sekarang masih aktif melakukan pendampingan tenaga kerja wanita (TKW) di daerah perbatasan di Kabupaten Nunukan.

Comments