CERPEN INDRI MEY LIANTI, TARAKAN

CERITA PENDEK INDRI MEY LIANTI




WARIA DI SEBUAH KOTA

Namaku Ami. Di pinggir kota besar ini aku menemukan jalan hidupku. Kehidupan gelap. Dikucilkan, diabaikan, dengan status yang tidak diakui. Hidup menantangku di arenanya dengan terus menerus menekanku tanpa rasa kasihan atas kepedihan yang ada. Dengan modal pakaian mini dan wig berwarna merah maron kesukaanku, ku jelajahi malam yang gemerlap. Tas kecil yang ku gantung di lengan kiriku dan sebatang rokok menyelip di antara jari telunjuk dan jari tengahku. Sesungguhnya ku tak suka bau asap ini. Namun, demi gaya hidup, aku melawan rasa itu. Ku pun terbiasa.
            Paha dengan kaki panjangku dan teman-temanku menghiasi pinggir jalan malam di kota besar ini. Terkadang ada lelaki yang lewat hanya sekedar menghina kaum kami dengan tawanya penuh kemenangan. Namun, kami balas dengan senyuman dan guyonan kecil. Tak jarang pula yang balas memaki walaupun para lelaki itu langsung berlalu sambil tertawa puas. Apalah arti kalian di mataku yang menghina kaum kami. Kalian bukan dewa. Kalian bukan Tuhan. Kalian tidak pantas menghakimi kami. Kami manusia. Kami berhak mempunyai pilihan dalam hidup kami. Inilah kehidupan para waria yang memilih jalan hidupnya.
            Sebagian dari kami menjadi seorang waria di pinggir jalan bukan sebagai waria yang elit. Hanya karena masalah keluarga, pacar, hasrat seks, uang, dan adapula karena masalah genetik lalu dikucilkan oleh keluarga dan lingkungannya. Oh, kerasnya pilihan hidup yang kami jalani Tuhan…
            Sebuah mobil melaju dan tiba-tiba perlahan di depanku. Wajahku memang manis, tidak sedikit lelaki tertipu dengan penampilanku. Apalagi jika malam hari. Laki-laki itu mencoba merayuku. “Hai manis… kamu sendirian aja. Nggak ada yang boking ya? Bagaimana kalau ikut saya aja”. Ku merendah ke arahnya agar ia bisa melihat wajahku yang manis dari dekat dengan mendekatkan wajahku dengan wajahnya. Dengan nada manja ku juga mulai menggodanya. “Ahh, mas bisa aja. Mas berani berapa mas??”. Tanyaku langsung seraya meniupkan asap rokokku lembut ke wajahnya. Ia pun meresponnya dengan menggariahkan. Hawanya tercium aroma alkohol yang lumayan keras. Menusuk ubun-ubunku.
            “Tenang aja.Masalah uang bisa diatur. Yang penting, kamu mau main sama saya atau nggak ni?”. Tanya lelaki itu tidak sabaran. “hmmm… kamu udah nggak sabar ya?”. Kataku dengan raut wajah nakal. Aku memang mahir memainkan raut wajahku. Ku melatihnya setiap hari di depan cermin sebagai keterampilanku untuk menarik pelanggan. Atau lebih tetapnya pelampiasan seksku. “oke”. Sambungku sambil membuka pintu mobil yang ia bawa malam itu.
            Akhirnya ku sampai di tempat yang kami sepakati dalam perundingan kami di dalam mobil tadi. “Kamu suka main di sini ya?” jawabku ketika kami sampai di tepi pantai. “Ya, udara dingin membuatku semakin bersemangat untuk menjelajahi tubuhmu” Jawabku nakal seraya memagut bibirnya dengan lembut dan ia pun membalasnya dengan lembut pula. Aroma alcohol itu sangat tajam bermain dalam mulutku.
            Kami melakukannya dalam keadaan berdiri, pelan-pelan ia melepas kemeja yang ia kenakan dan menggelarnya di atas pasir pada malam itu hingga ia berhasil membuatku tergeletak pasrah menantikan serangan darinya. Pada tahap selajutnya ia mulai menyingkap rok miniku hingga naik ke atas pangkal pahaku. Dan ia pun tergelonjak kaget karena yang ia rasa bukan jenis kelamin wanita namun batangan juga, persis miliknya.
            Ia pun menghentikan petualangan yang baru saja ia mulai dan memakiku. “Sial! Kamu laki-laki juga? Cuih..!!!”. Ia meludah ke samping. Mungkin mengingat ciuman panas tadi. “Bikin sial aja kamu ni!”. Sambungnya memakiku. Ku hanya diam dan menerima nasibku sebagai pelacur waria. Aku tak ingin  membantah. Pikirku, mungkin ia orang baru sehingga tidak tau kalau kawasan tempatku mangkal adalah kawasan khusus waria. Bukan pelacur perempuan tulen.
            Ia bergegas menarik kemeja yang ia gelar di atas pasir itu dan berniat meninggalkanku sendirian di tempat sepi itu. Aku segera menarik lengannya agar ia mau membawaku kembali. “Mas..Mas.. Kamu bisa nggak bayar karena kamu nggak puas. Tapi…” aku malu mengatakannya namun  dengan segera ku tepis rasa malu itu. “Tapi… bisa kah kamu membawaku kembali ke tempat kamu meggambilku? Disini gelap, sepi dan tidak ada seorang pun”. Pintaku penuh rasa kasihan agar ia mau berbaik hati menumpangkanku kendaraan. Ia hanya membuang nafasnya dengan penuh kekesalan yang ia tahan karena kesalahannya. “hmmm..” katanya mengiyakan dengan tidak iklas padaku.
            Disepanjang jalan, sedikit pun ia tidak mengeluarkan suara. Ia hanya memandang jalanan lurus ke depan. Ku hanya berani meliriknya sekali-kali. “Kurasa, aku nggak pengen mangkal lagi. Bisa turunkan aku disini aja nggak? Disini udah banyak kendaraan. Jadi…aku bisa naik kendaraan yang lain aja”. Aku mengeluarkan suaraku dengan takut-takut akan ia marah padaku malam ini.
            Tanpa suara, ia menepikan mobilnya dan berhenti di tepi jalan. Tanpa memandangku, ia menungguku keluar tanpa harus dikomandoi lagi. Mungkin ia masih kesal. “aku…” kataku takut-takut ingin minta maaf atas kesalahan malam ini. Diantara teman-temanku yang lain, aku memang terkenal lembut, tidak suka ribut, dan alim. Hatiku mudah tersentuh dan mudah luka. Mudah kasihan dan mudah memaafkan. Kali ini ia langsung menatapku dengan tatapan marah yang tersirat dari kedua bola matanya. “Baik… Aku minta maaf atas kesalahan malam ini”. Suara pintu mobil terbuka mengakhiri kisahku malam ini dengannya.
            Akhirnya aku sampai di depan rumah kecil yang ada di kawasan rumah kumuh. Ini pun bukan rumah milikku. Ini hanya rumah kontrakan yang harus membuatku mengeruk Rp 100.000,- dari kocekku tiap akhir bulan. Rasa lelah dan kesal menghampiri diriku malam itu. Lemas menghampiriku tanpa rasa kasihan. Malang sekali nasibku ini Tuhan…sekali lagi ku hanya bisa mengeluh dalam hati. Setelah ku membersihkan wajahku, ku rebahkan tubuh lelah ini di pembaringan di atas kasur yang tidak empuk sama sekali.
            Pagi sekali ada suara ketukan di pintu kontrakanku. Dengan malas, akupun bangkit dari kasur yang membawaku ke alam mimpi mengerikan semalam. Lalu membuka pintu yang diketuk oleh seseorang yang takku kenal dan takku tanyakan juga siapa disana. Setelah ku buka pintu, sambil mengintip dari sela-sela pelupuk mata ku yang ngantuk barulah aku tau ia siapa. Ternyata ia adalah sahabatku, Jesica.
            “Emmmmhhh… Masuk Jes…” kataku masih dengan nada malas. Dengan senyum mengembang ia langsung masuk di rumah kontrakanku yang sempit ini. Ia pun tanpa ragu lagi langsung duduk melantai tepat di samping aku kembali ke pembaringanku.
            “Wah… Tadi malam dapat ikan tuna ya?” Tanyanya seakan-akan tak tau peristiwa memalukan semalam yang menimpaku. “Aku hanya menjawabnya dengan menenggelamkan wajahku sedalam-dalamnya di bantalku yang empuk. Aku malu untuk menceritakannya. Namun, aku dan Jesica memang selalu berbagi dalam suka maupun duka.
            “halloooo…” katanya menantikan responku. Aku pun langsung membalikkan wajahku ke arahnya dan menceritakan kejadian memalukan semalam kepadanya secara mendetail. Dan semua orang sudah pasti tau responnya seperti apa. Ia menertawakanku sejadi-jadinya. “oh no!!”. Teriakku dalam hati.
            “Aku malu Jes…” kataku padanya sambil memejamkan mata dan dengan kedua tanganku mencengkram bantal yang ada di tanganku. Ia segera kembali menguasai dirinya menatap mataku dalam. “Ini pilihan kita Mi… Kita jangan menyesal sedikit pun. Mereka nggak hanya jijik pada kita. Namun, mereka juga membatasi ruang gerak kita, dari pegawai negeri, pegawai swasta maupun profesi lainnya. Bahkan untuk membuat sebuah KTP aja kita sampai mengundang masalah lain. Biarkan mereka menikmati hidup mereka, kita nikmati cara hidup kita yang bebas di jalanan”.
            Aku tau, Jesica lebih bisa menerima kenyataan ini. Aku ingin seperti dia. Begitu kuat dan tegar. Walaupun nggak sedikit hambatan yang menemukannya di pejalanan hidupnya yang kelam. Sebelumnya ia adalah seorang anak laki-laki yang jantan. Namun, karena seorang wanita yang dicintainya pergi meninggalkannya disaat ia kekurangan uang dengan meninggalkan seorang anak kecil yang harus ia tanggung kehidupan dan perkembangannya.
            Sama halnya denganku. Dulu aku seorang anak laki-laki yang lucu. Semakin ku beranjak menjadi seorang remaja yang baru puber, aku sangat panik dengan kelainanku. Aku tidak tertarik dengan teman perempuanku. Aku hanya terangsang dengan teman laki-lakiku. Namun, dari dulu aku tak sama dengan banci-banci kebanyakan yang dengan bangga menonjolkan sifat kewanitaan mereka. Namun, tetap saja aku tercium juga. Tentu saja hal ini membuat aku dikucilkan dari lingkungan sekolah sampai lingkungan di keluargaku sendiri. Keluargaku sendiri malu mengakui aku sebagai keturunan mereka. Ironis sekali nasibku. Sehingga Jesica memperkenalkan aku dengan kehidupan bebas di jalanan seperti yang aku  lakukan sekarang.
            Setelah dua jam Jesica di kamarku, ia pulang kembali ke rumahnya. Pikiran tak menentu mampir lagi di benakku yang tak kunjung dapat ku jelaskan. Apa sih mauku? Aku seorang banci. Tapi, penampilanku tetap seperti layakya laki-laki trendy zaman sekarang. Aku ingin sekali tertarik pada wanita seperti laki-laki pada umumnya. Namun, mengapa jeruk makan jeruk? Aku tetap seperti laki-laki tapi dengan kepribadian yang lembut dan sopan.
            Matahari kian malu menampakkan kegagahannya…suasa yang tidak panas, namun juga tidak mendung. “hffftt... nyaman nih suasananya…jalan-jalan ah”. Ucap Emi pada dirinya sendiri.
            Dengan gayanya yang trendy namun tak nampak kewanitaan sedikit pun ia menapaki kota besar. Dengan membayar sebuah kendaraan taksi yang ia tumpangi, ia menuju ke sebuah pusat perbelanjaan dengan niat cuci mata.
            Kaki kanannya kini menyentuh tepi jalan di samping gerbang pusat perbelanjaan di kota itu. Baru saja kakinya menginjak setrat dari jalanan tersebut, ia langsung membanting pintu mobil agar pintu dapat tertutup dengan rapat. Taksi pun mulai jalan untuk meninggalkan tempat tersebut. Namun, ada kelalaian yang membuat dirinya tertimpa musibah. Tali tas yang ia kenakan ternyata nyangkut di pintu taksi. Malangnya nasib Emi saat itu. ia pun berlari mengikuti arah mobil yang mulai menuju ke tengah jalan raya. Ia berusaha menyadarkan supir taksi dengan berteriak dan menggedor-gedor pintu taksi tersebut. Namun memang naaas menantinya di jalan itu. Mobil itu berhenti mendadak dan ia pun menjadi oleng. Tiba-tiba saja sebuah motor yang tidak bisa mengendalikan motornya menabrak tubuh langsing Emi. Ia terkapar di samping taksi dan beberapa kendaraan pun berhenti.
            Suasana tiba-tiba menjadi panik dan orang sekitar mulai mengerumbungi tubuh Emi yang tak berdaya. Suara riuh tak terkendali dan udara pengap karena kerumbungan manusia-manusia itu tak membuat Emi sadarkan diri.
            “Ayo…angkat dia…bawa ke rumah sakit”. Kata seorang wanita setengah baya yang berdiri tepat disampingnya dan juga yang tak sengaja menabraknya. Namun pak supir ini kelihatan gugup dan tak bisa berpikir secara baik. “tapi…tapi…saya…” ucap pak Supir itu. “saya yang bayar!” tegas wanita tersebut. “ba…ba..ik!”.
            Tubuh Emi penuh dengan luka-luka dan ia pun segera dilarikan ke rumah sakit terdekat agar nyawanya dapat diselamatkan. Untung saja ia memiliki kartu identitas sehingga lebih mudah untuk dikenali dan segera wanita setengah baya itu berusaha menghubungi keluarga korban alias Emi.
            Setelah proses administrasi diselesaikan oleh wanita tersebut, wanita itu mencari alamat tempat Emi tinggal sesuai dengan alamat yang berada di KTP (Kartu Tanda Penduduk) milik Emi.
            Suasana busuk kota besar serasa bersarang di daerah itu, dalam benaknya masih ada kah orang yang mau tinggal di daerah seperti ini. Hati siapa pun akan miris melihatnya. Wanita itu tak berhenti bertanya kesana kemari demi sampai di tujuan. Sesampai di sebuah halaman kecil di depan rumah kecil yang mungkin bisa dikatakan mirip sebuah pondok daripada dikatakan sebuah rumah berdiri seseorang yang ia rasa sedari tadi duduk di depan rumah Emi.
            “Permisi…apa ini rumahnya Eman??” Tanya wanita itu. Warga sekitar juga mengetahui seorang Eman daripada seorang Emi.
            “Iya…benar. Saya juga sedang mencarinya. Ada apa ya?” Jawab Jesica lalu bertanya kembali dengan mengeryutkan keningnya.
            “saya Lastri. Anda kerabatnya Eman??” jawab wanita itu.
            “ya…saya temannya. Sebenarnya ada apa anda mencari teman saya?” Tanya Jesica kembali. “begini, mas Eman mengalami kecelakaan. Saya datang kemari untuk mencari keluarga mas Eman”.
Apa? Emi…maksud saya Eman kecelakaan! Dimana dia sekarang?” Tanya Jesica panik. “ya, maka dari itu saya ingin menemui keluarga korban”. Jelas Lastri.
            “Eman tidak punya keluarga di sini. Saya lah keluarga terdekatnya. Bawa saya ke tempat Eman berada”. Pinta Jesica.
            Jarak semakin memendek untuk tiba ke rumah sakit, jantung Jesika pun berdetak seperti genderang hendak berperang. Kini jiwanya yang separuh pergi menghianatinya dan merasakan sakit bahwa sahabat dan keluarga terdekatnya menimpa musibah seperti ini. Ia tak tau akibat apakah yang nanti akan menimpa separuh jiwanya itu. Perasaan keruh yang menggambarkan hati Jesica alias Mahmud.
           “Eman sadar” sontak Lastri.
            Airmata pun mengalir di wajah Jesica alias Mahmud. Betapa besar keinginannya agar Emi sadar dari tidur sementaranya dan menyadari bahwa kedua kakinya telah tiada. Karena kecelakaan itu, Emi harus kehilangan kedua kakinya. Airmata Emi mengalir setelah ia tahu bahwa kakinya telah tiada. Tak ada suara keluar dari bibirnya. Hanya airmata dan sesak yang mengapit dada yang ia dapat rasakan.

+++++++
Indri Mey Lianti. Alumnus PBSI FKIP Universitas Borneo Tarakan. Lahir di Tarakan, Kalimantan Utara.   Karyanya pernah dimuat dalam rubik sastra, Majalah Bongkar. Dapat dihubungi melalui email: kitty.rinko@ymail.com. Hp: 085247485706. Facebook pribadi “Indri Mey Lianti”.

Comments