CERITA PENDEK YULIZAR FADLI

MAY


Oleh Yulizar Fadli


May menghidupkan televisi setelah membuatkan Jul kopi pahit dan meletakkannya di atas meja. Gadis itu mendekat dan mulai menunjukkan karyanya. Jul meraih cerita yang gadis itu sodorkan dan mulai membacanya. Mereka duduk di sofa hijau toska dengan jarak lima jari orang dewasa. Sesekali lelaki itu memandangi mata belok yang menghiasi wajah bulat telurnya. Jul suka karena malam ini gadisnya mengenakan baju tidur terusan merah muda.

“Jul, kau pernah dengar nama Carl Gustav Jung?” .

“Tidak. Aku tak tahu, May.”

“Oke, tak penting. Yang terang, berikutnya, aku bakal meneliti tentang mimpi. Aku akan buat fiksi mikronya.” Menggebu-gebu ia berujar, semenggebu perasaanku padanya.

“Ya. Aku mengamini. Tapi aku baca dulu karyamu. Tolong jangan diganggu,” tukas Jul. Lelaki itu kembali membaca cerita-ceritanya. Gadis itu mengangguk kemudian mengambil buku Popular Culture karangan Dominic Strinati yang ia taruh di meja dekat cangkir kopi Jul. Mereka berdua khusyuk membaca. Sementara, dari saluran televisi, komentar Anggun untuk salah satu kontestan X-Factor heboh terdengar.

1
Di sepanjang jalan, para pedagang asongan turut meramaikan jalan. Pagi yang indah. Hari yang cerah.


Tiba-tiba terdengar suara.

“Awal kalimatnya nggak menarik. Klise.” Aku menyeletuk.

Please deh, baca dulu semua, ” katanya tanpa menoleh.

“Tapi memang nggak menarik, May.”

“Baca dulu semua. Oke?”

“Ya ya ya. Oke. Oke.”
*
Di bawah matahari jam delapan pagi. Seorang pemuda mengayuh sepeda tua di depan kantor walikota. Ada ransel di punggungnya. Seekor kucing yang sedang mengejar tikus got melintas di depannya. Lelaki itu kaget, begitu juga kucing yang hampir ditabraknya.

Dari arah yang berlawanan, pedagang mainan, tukang semir, juga petugas lalu lintas tiba-tiba dikagetkan oleh suara ledakan. Semua orang terhenyak. Termasuk lelaki paruh baya yang sedang makan di warung soto babat—sendoknya mengambang di antara mangkok dan mulutnya. Sepersekian detik jantung orang-orang itu mendadak berhenti. Seolah darah tak mengalir lagi ke wajah mereka.

Ledakan itu terdengar tiga kali. Orang-orang menutup telinga dan berteriak histeris. Mereka mencari-cari sumber bunyi. Beberapa orang bertukar pandang, kemudian menatap berkeliling ke arah kantor walikota. Seorang pemuda tergeletak tak jauh dari sepeda. Tak bergerak. Punggungnya penuh luka. Mungkin mati.

2
Di rumah bedeng, sebrang jembatan, dari dalam kamar mandi, terdengar senandung perempuan. Telinga perempuan itu, yang terhalang bunyi air keran, mendengar percakapan samar.

”Jangan khawatir, ini aman.”

Kenapa tidak pakai tabung gas yang besar sih?”

”Dijamin aman. Tenang ajalah?”

”Ya terserah. Yang penting hati-hati.”

Selang beberapa menit, ketika senandung perempuan itu berhenti. Terdengar ledakan berkali-kali. Ada teriak kesakitan. Orang berhambur keluar rumah, termasuk perempuan dalam kamar mandi itu.

3
Di putih bangku kayu taman kota, terdengar tawa kecil penjual koran, juga kidung bocah pembawa kotak amal. Di sebelah kanan bawah, di balik tanah, ada tangan mungil meraba. Ia lah kecambah kacang tanah.

Lalu perempuan tua meludah. Namun pantaskah disebut ludah, bila ia berwana merah?

Suatu ketika, bangku kayu itu berbincang dengan salah satu pengunjung, seorang laki-laki bongkok yang terlalu senang membersihkan sampah-sampah di sepanjang jalan, rumah ibadah, pasar, dan sekolah. Bajunya cokelat kusam seperti mukanya yang muram.

Ia suka menyapu bersih seluruh sampah tanpa bayaran. Pernah sekali ia naik ke atap rumah milik janda sebatang kara, membetulkan susunan genting tanpa meminta imbalan.

Apa yang ia cari? Tak ada yang tahu. Yang terang ia selalu membawa foto seorang perempuan ke mana pun ia pergi, dan selalu menangis ketika ditanya siapa nama aslinya. Ia benar-benar lupa.

Malam dan gerimis datang seperti sepasang remaja berpelukan. Lelaki itu rebah di bangku kayu. Ia menangis bersama gerimis tipis-tipis. Katak beryanyi. Gerimis perlahan jadi hujan. Angin bertiup kencang, meluruhkan daun-daun dan kembang kertas di sekitar taman. Lelaki itu berhenti menangis. Bau amis menyeruak dan mengubah putih bangku kayu jadi merah.


4
Hujan lebat. Pemulung tua berjalan dengan kantong plastik di kepala. Ia membawa kardus lusuh seperti badannya yang renta. Matanya menatap berkeliling. Sekilas ada bayangan yang melintas, seperti cahaya, tapi kemudian lenyap dan lesap ke langit. Ia mencubit-cubit pipi, memastikan bahwa ia tidak sedang bermimpi. Kemudian menghela napas. Perlahan ia berjalan menuju teritis peribadatan, menggelar lembaran kardus yang ia pungut dari jalan sebelum hujan. Ia meringkuk. Lelap dan berbantal tangan kanan.

Ketika langit malam seolah terus mengutukinya dengan hujan, tubuhnya tiba-tiba terguncang. Ia terpental jauh akibat ledakan besar dari dalam rumah ibadah.

5
Seorang pria menggembalakan ratusan robot ciptaannya di tengah gedung pencakar langit. Di antara derap langkah ratusan robot, seorang bocah penjaja kepingan CD film kartun terinjak salah satu robotnya. Ususnya terburai dan mati seketika. Si penggembala menggelekek melihatnya. Kemudian melompat dari satu atap gedung ke atap gedung lainnya, mirip pahlawan dengan baju bergambar laba-laba.

Di langit, awan berangsur hitam. Tak satupun hewan langit melintas di atas kota. Mungkin takut. Pohon juga tak ada. Mungkin sudah ditebang, mungkin juga tak pernah ditanam. Sampah menggenang di ledeng besar, tempat semestinya air dialirkan. Di dekat pintu air, di antara tumpukan sampah, mayat perempuan tua terbujur kaku di atasnya. Hanya jalan raya yang sesak dengan kendaraan. Asap-asap kendaraan itu mulai menggantung di atas kota. Mereka, orang-orang dalam kendaraan itu, punya tujuan yang sama: pergi ke laut.

Tak ada satu pun petugas lalu lintas yang datang menertibkan jalan. Karena semua orang, tanpa terkecuali, sibuk berkendara dan berdesakan di jalan raya—berbondong untuk kemudian menceburkan diri ke laut berwarna hitam, sehitam aspal. Mereka lebih memilih bunuh diri ketimbang mati di tangan robot-robot itu.

Sementara ratusan manusia lainnya, yang tak sempat kabur menuju laut—dibunuh dan ditumpuk seperti sampah dalam liang besar yang digali di tengah kota. Liang itu seperti telaga raksasa. Merah airnya.

Ketika darah merah segar mengalir deras dari tubuh mayat-mayat itu, seekor lalat hijau nekat mendekat. Terbang dan hinggap. Dengungnya menjengahkan. Pada saat yang sama, di atas liang, puluhan robot mulai menimbunnya dengan batu, tanah liat, dan bongkahan aspal. Lalat nekat itu terjebak di dalamnya. Mati.

Hanya menyisakan seorang lelaki dan ratusan robot di sana. Gedung yang kosong, rumah yang kosong, dan hati yang kosong. Mulut lelaki itu terbuka. Ia tertawa bangga. Tawanya menggema ke seluruh penjuru kota. Beberapa waktu setelah puas tertawa, si penggembala robot teringat sesuatu. Ia kemudian berlari menuju tempat pemujaan, di bawah tanah, untuk menyiapkan ritual.

Mulailah ia menyiapkan sesembahan, kemudian memohon kepada sekutunya; raja jin dari Segitiga Bermuda. Ia minta segunung emas dan keabadian. Raja jin mengabulkan permintaannya. Keinginannya segera terwujud. Tapi ia tak pernah tahu bahwa sebaik-sebaik jin adalah sejahat-jahat manusia. Lelaki itu pasti menyesal. Sangat menyesal. Karena seluruh bangunan di kota itu, termasuk dirinya dan ratusan robot gembalaannya, perlahan membatu dan mengeras menjadi emas. Seluruh kota berubah menjadi emas, tanpa kecuali. Waktu seperti berhenti di kota itu.

Dari langit yang kian hitam, butiran salju turun perlahan-lahan seperti, kau tahu, guguran kapuk randu. Ya, kapuk randu.

Suara televisi beradu dengan deras hujan di luar, membuat suara kontestan yang membawakan Save Me Song: Anak Jalanan, samar terdengar. Secangkir kopi dan empat batang rokok sudah Jul tandaskan. Sebetulnya Jul sangat ingin pergi sejak tadi, tapi May selalu berhasil menahannya.

“Gimana pendapatmu. Bagus?” tanya May antusias.

“Bagus. Lumayan. Tapi aku tak yakin ini masuk dalam kategori cerita pendek.”

“Memang apa tolok ukurnya. Hmmm? Apaa?” May tersenyum. Nakal sekali. Jul tak menjawab. Lelaki itu malah tertawa, kaku sekali.

Awalnya jarak duduk mereka adalah lima jari orang dewasa, tapi setelah Jul melontarkan komentar, May justru mendekat. Dan itu membuat jarak mereka menjadi satu jari. Tidak, bukan satu jari, melainkan setebal satu lembar kertas kuarto. Mepet sekali.

May mendorong tubuh Jul. Gadis itu menindihnya dan mendekatkan wajahnya ke wajah Jul. May membuka gaun tidurnya. Ia jadi liar, Jul pun demikian.

“Maay ...”

“Hmm ... Apaaa?”

“Maaay”



 Bandarlampung, 2013.


++++++
Yulizar Fadli merupakan sastrawan muda dari Lampung. Aktif menulis cerpen dan juga menekuni teater. Ia juga satu di antara peserta Bengkel Penulisan Mastera: Cerpen pada tahun 2013 yang diikuti para sastrawan muda dari Indonesia, Malaysia, Brunei dan Singapura.

Comments