CERITA PENDEK RAHMI NAMIROTULMINA




B L O K I R
Rahmi Namirotulmina

Gelap memangsa cahaya. Senyap memangsa suara. Malam menaiki anak tangga. Perempuan itu masih tertegun di samping jendela.
Ia memegang androidnya yang tak berhenti bergetar getar, memberi tahu chat-chat whatsaap yang masuk. Sangat bersemangat perempuan itu menyambut setiap chat. Ia memeriksa dengan cekatan. Setelah itu kecewa. Handphonenya bergetar, ia bersemangat. Memeriksa dengan cekatan. Lantas kecewa. Begitu seterusnya. Berulang ulang. Sampai sampai ia kelelahan.
Malam terus menaiki anak tangga. Perempuan itu lunglai terbaring diranjang. Ia mendekap handphone di dadanya. Seolah-olah ia tidak ingin melewatkan satu getaranpun. Satu pemberitahuan chat yang masuk. Ia sunguh tidak ingin melewatkannya.
Handphonenya bergetar berulang-ulang. Sepertinya ada chat yang berebut masuk. Ia bersemangat. Kembali dipriksanya satu persatu. Ia mengulang. Kembali diperiksanya satu persatu. Ia tidak percaya bahwa ia tidak menemukan yang dicarinya. Kembali ia mengulang. Diperiksanya satu persatu. Sekarang wajahnya bertambah murung.
Ia memejamkan mata. Udara terasa hampa oksigen. Perempuan itu digempur resah. Dihajar gundah. Ia menjadi sangat ringkih. Memiringkan badannya kekanan, lalu menghempaskannya ke kiri. Ia merasa tulang tulang tidak lagi berada di tempat yang seharusnya. Ia tidak nyaman dengan tubuhnya, dengan hatinya. Dari gelisahnya ia sedang menunggu chat dari seorang laki laki.
Ia masih terus memejamkan matanya. Dibayangkannya laki laki yang ditunggu chatnya itu sedang berpeluh-peluh karena istrinya menggelinjang berkali-kali di ranjang. Itulah sebabnya ia tidak sempat dan mustahil menulis chat. Tapi itu bukan hal yang ditakuti. Sungguh itu bukan hal yang dicemburuinya. Toh ia sudah tahu bahwa laki laki itu sudah menikah. Lagi pula sejujurnya ia seharusnya berterimaksih pada istri laki-laki itu. Sebab telah merawat seseorang yang selalu dirindukan chat-chatnya. Tentu saja lebih dari itu. Seseorang yang dicintainya puluhan tahun silam. Sampai malam ini. Mungkin saja sampai ia mati.
Sekarang, malam menuruni anak tangga. Menuju gapura pagi. Ia meremas handphone di dadanya. Dengan begitu ia berharap bisa mengendalikan detak jantungnya. Ada hal yang lebih menyeramkan yang dibayangkannya terjadi pada laki-laki itu. Sesuatu yang membuat laki-laki itu selamanya tidak akan pernah lagi menulis chat untuknya.
Ia membayangkan, di ribuan kilo dari kamarnya, laki laki yang ditunggu chatnya itu juga sedang memegang handphonenya. Laki laki itu tahu seseorang menunggu chatnya. Seseorang yang begitu rapuh menunggu chatnya. Begitu sekarat menunggu chatnya. Hanya saja lelaki itu tak bergeming. Ia memutuskan untuk tidak menulis satu hurufpun. Malam ini, besok pagi, siang harinya, waktu senja, malam berikutnya dan berikutnya. Selamanya. Kenapa? Tentu saja hanya laki laki itu yang tahu jawabannya.
Bayangan menakutkan itu menghilang berganti dengan matanya yang basah. Seperti bulir-bulir embun. Berjatuhan  lambat dari sudut matanya. Terasa hangat di pipinya. Namun membakar hatinya.
Malam menjejakkan kakinya di anak tangga terakhir. Berpelukan bersama sahut suara adzan subuh sayup-sayup. Malam menjemput pagi. Sudah pagi rupanya. 
Perempuan itu menghapus air matanya yang sebenarnya sudah mengering. Yang sebenarnya air mata itu membanjiri hatinya. Ia kembali memeriksa handphonenya. Seperti yang sudah ia duga. Tak ada chat yang ditunggunya. Kembali ia diserbu air mata.
Sekelebat ia ingat. 10 Tahun lalu ia bersimpuh di kaki ibunya. Juga ketika adzan subuh lamat-lamat terdengar.
“Bu sebenarnya aku mencintai laki laki yang tidak pernah lagi kutemui. Sudah lima tahun, Bu. Sudah lima tahun, Bu. Aku tak pernah lagi melihatnya. Kami tidak pernah mengucapkan kata perpisahan sebab kami memang tidak pernah bersama. Tapi aku mencintainya, Bu. Sampai hari ini. Haruskah kulanjutkan pinangan dari laki-laki, Bu?” Ia menangis. Ibunya menangis. Mereka bertangis-tangisan.
“Mencintai itu takdir. Menikah itu nasib. Kamu bisa memilih dengan siapa kamu akan menikah. Tapi kamu tidak bisa memilih kamu harus jatuh cinta pada siapa. Sekarang kamu harus memutuskan menjalani takdir mu atau mengupayakan nasibmu untuk melanjutkan hidupmu.” Ibunya terbata bata. Ini adalah nasehat yang sangat rumit kedengarannya. Pun sangat rumit menjalaninya. Ketika pagi dilumat siang ia memutuskan untuk melupakan laki laki yang sudah 5 tahun tidak dilihatnya itu. Dan ternyata ia tidak pernah berhasil. Itulah kenapa ia menunggu chatnya semalaman ini.
            Pagi terasa begitu muram. Ini pagi di tahun ke 15 ia membawa  cintanya kemanapun. Tak mampu meletakkannya meski hanya sebentar. Meski ia menjalani pernaikahan dengan pria lain tapi tetap saja cintanya untuk laki laki yang ditunggu chatnya itupun tidak pernah habis. Dan perempuan itu tentu  saja sangat menderita
            Apa enaknya mencintai tapi tidak bersama? Apa enaknya mencintai lalu terpisah tanpa rencana? Apa enaknya mencintai lalu terhubung kembali dan laki laki itu sekarang suami orang lain? Apa enaknya mencintai hanya bisa bersyahdu rindu lewat  chat-chat whatsaap yang sebenarnya kosong melompong? Bahkan apa enaknya mencintai lalu semalam suntuk menunggu chat yang ternyata memang tidak pernah ada?
            Perempuan itu menatap layar handphone yang bluur sebab matanya basah. Ia menghapus kuat kuat matanya, berharap air matanya mengering. Lalu dikliknya foto profil seorang laki laki. Diciuminya dalam-dalam. Matanya kembali basah. Diciuminya lagi dalam-dalam. Lalu matanya bertambah basah. Setelah itu ia menekan menu “blokir”. Setelah itu tubuhnya terguncang guncang. Tangisnya pecah. Hatinya pecah. Ia merasa sangat berkeping-keping.

++++++
Rahmi Namirotulmina. Alumnus SMA Muhamadiyah 2 Yogyakarta dan FIS UNY ini sekarang mengabdi sebagai Guru SMK di Paser, Kalimantan Timur. Pernah aktif dan menempa diri di majalah kampus almamaternya, yakni EKSPRESI UNY. Selain mengajar, ia rajin menulis untuk koleksi pribadi.

Comments

  1. Sangat menarik, cerpen ini mengisahkan getaran perasaan akan tulisan yg dibacanya melalui hp, perasaan bahagia yg hanya di dapat melalui getaran hp namun diikuti oleh getaran kekuatan rindu penuh gebu, sungguh diakui kadang kita bahagia walau hanya melalui tulisan tanpa pertemuan

    ReplyDelete

Post a Comment