PAK KADIRUN: CERITA PENDEK MUHAMMAD THOBRONI



 

PAK KADIRUN

 
Sesungguhnya tiada yang aneh dari hari-hari Pak Kadirun, bahkan sejak sekian tahun yang silam. Ia hidup bersama seorang istri dan tiga orang putra-putrinya. Rumahnya sederhana, bahkan lebih dari sederhana. Dan memang demikianlah ujaran yang selalu diterima Pak Kadirun dari kedua orang tuanya. Hidup sederhana. Bersahaja dalam detik-detik hidupnya.

Pagi-pagi Pak Kadirun sudah mengambil setimba air dari sumur. Lalu disiraminya halaman rumahnya yang tidak terlalu luas, tapi asri dikelilingi oleh beberapa bunga yang ditanam Sholeh, putra bungsunya yang masih SMU sangat suka dengan bunga-bunga. Setelah tanah halaman rumahnya tampak basah, Pak Kadirun pun menyapunya hingga tampak goresan-goresan bekas lidi sapunya.

Selepas menyapu halaman, Pak Kadirun selalu menuju sekitar sumur yang terletak di belakang rumah. Di situlah Halimah, putri  keduanya meletakkan piring dan perkakas dapur yang telah terpakai. Di dapur, Bu Alimah menikmati hobinya meracik menu-menu terbaru untuk dihidangkan kepada keluarganya. Sedangkan Burhan, sudah tentu sedang memberi makan ayam di kandang, samping rumah mereka. Selalu seperti itu. Sesekali Burhan akan menuju dapur mengambilkan air untuk dimasak Bu Alimah dan Halimah.

Dan Pak Kadirun selalu asyik dengan pekerjaannya untuk mencuci piring dan perkakas dapur yang telah terpakai. Lalu, sebelum mandi Pak Kadirun akan menyempatkan diri untuk menggosok dinding kamar mandi dan menyiramnya hingga dinding-dinding itu tampak seperti hamparan permadani. Selesai mandi sambil menunggu istri dan anak-anaknya selesai menyiapkan sarapan dan mandi, Pak Kadirun menyiapkan perkakas dan kelengkapan menjahitnya. Pak Kadirun memang seorang penjahit ulung. Sejak usia lima belas tahun keahlian itu ditekuninya. Keahlian menjahit itu didapatnya dari warisan turun-temurun sejak jaman mbahnya masih hidup. Demikianlah Pak Kadirun menikmati hari-harinya.

Tapi sejak seminggu lalu Pak Kadirun sering merenung di kursi bambu yang terletak di teras rumahnya. Seminggu lalu, seorang remaja, aktivis masjid di kampung itu dating ke rumah Pak kadirun. Remaja itu membawa surat permohonan agar Pak kadirun bersedia menjadi penceramah pada ceramah bakda tarawih, bulan Ramadhan mendatang.

“Mohon Pak Kadirun mengisi lembar kesediaan menjadi penceramah,” ujar si remaja itu tanpa basa-basi. Pak Kadirun termenung. Sejak kapan ia menjadi seorang penceramah?

Pak Kadirun hanyalah orang kecil. Wong cilik. Tidak pernah mengenyam pendidikan, sekalipun Sekolah Rakyat. Bahkan, satu-satunya pengetahuan yang dimilikinya, ya tentang jahit-menjahit itu. Kalaupun sekarang anak-anaknya sudah mengenyam pendidikan, bahkan paling rendah berpendidikan SMU, Pak Kadirun merasa itu tanggungjawabnya sebagai orang tua agar anak-anaknya lebih baik dari kedua orang tuanya.

“Pak Kadirun..” Si remaja masjid itu mengagetkannya.

“Saya tidak bisa, Dik!”

“Saya hanya mendapatkan titipan. Pak Kadirun musti mengisi lembar kesediaan ini..”

“Kenapa musti, Dik?”

“Karena ini sudah dirapatkan oleh pengurus masjid. Remaja masjid hanya menjalankan saja.”

Pak Kadirun manggut-manggut. Ia berusaha memahami kesulitan yang biasa dialami oleh para remaja masjid. Ia pernah remaja dan karena itu sangat paham dengan kedudukan para remaja di hadapan orang tua mereka. Tapi, apa yang bisa diperbuat Pak Kadirun untuk melepaskan kesulitan remaja masjid itu? Lama sekali Pak Kadirun dan remaja masjid itu tidak saling berbicara, masing-masing termenung dengan pikirannya.

Lelah menunggu kebingungan Pak Kadirun, remaja masjid itu pun mohon pamit. Pak Kadirun manggut-manggut. Ia belum bisa melepaskan keheranannya: Kenapa para pengurus memilihnya menjadi penceramah? Sementara si remaja masjid segera menuju rumah ketua takmir masjid. Dilaporkannya ulah Pak kadirun yang tidak mau mengisi lembar kesediaan.

“Pak Kadirun seperti orang kebingungan, bahkan tampak linglung,” sambil menunduk si remaja masjid itu berujar kepada ketua takmir. Ketua takmir itu menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Persis seperti dalam mimpi itu..” gumamnya. “Seorang tua berpakaian putih-putih berwajah bersih mendatangiku dengan sebuah kisah tentang adanya seorang yang mendapatkan kemuliaan di sisi Allah Swt… orang yang mendapat kemuliaan itu bernama Pak kadirun. Sehari-harinya menjadi seorang penjahit. Kepadanyalah aku mendapatkan pesan agar mengundangnya sebagai penceramah tarawih…”tambah ketua takmir.

“Menurut kakek tua  itu, Pak kadirun pasti akan menolak permohonan menjadi penceramah. Selain itu, menurutnya Pak kadirun merupakan orang yang bersahaja sekaligus rendah hati,” cerita ketua takmir.

“Hanya sebuah mimpi, kenapa Bapak mempercayainya?”

“Mimpi itu datang sejak tiga malam lalu, dan datang untuk ketiga kalinya malam tadi. Apakah aku tidak harus mempercayainya?” suara ketua takmir agak meninggi. Rupanya beliau kurang terima dengan pertanyaan si remaja masjid. Si remaja masjid terdiam.

“Aku sendiri sebenarnya heran, apa yang menyebabkan Pak Kadirun mendapatkan kemuliaan di sisi Allah, seperti dikatakan kakek tua itu. Makanya, aku ingin mendapatkan nasehat langsung dari yang bersangkutan,”

“Bukankah Pak Kadirun hanyalah seorang penjahit?”

“Aku mengerti. Tapi, aku menuruti nasehat kakek tua dalam mimpi itu. Undanglah Pak Kadirun dalam ceramah tarawih, Ramadhan mendatang!”

            Dan si remaja masjid itu pun kembali ke rumah Pak Kadirun. Si remaja masjid tidak datang sendirian. Ia membawa serta seorang temannya. Keduanya langsung mendatangi Pak Kadirun yang belum beranjak dari kursi bambunya. Rupanya ia masih memikirkan permohonan pengurus takmir yang lalu. Bila dilihatnya remaja masjid datang kembali, hatinya bertanya-tanya.

            “Ketua takmir menyuruh kami ke sini. Pak Kadirun mohon bersedia mengisi lembar kesedian menjadi penceramah,” kata Si remaja masjid.

            “Bukankah kalin mengerti, aku bukan orang berpendidikan, bahkan tidak pernah berbicara di atas podium sekali pun?”

            “Kami hanya menjalankan tugas. Ketua takmir sangat menginginkan Pak Kadirun bisa mengisi ceramah tarawih bulan Ramadhan mendatang,”

            “Aku tidak bisa. Tolong sampaikan maafku kepada ketua takmir dan seluruh pengurus masjid, untuk permintaan yang satu ini, maaf, aku tidak bisa membantu. Bila sekadar kerja bakti, aku bersedia. Tapi untuk berceramah di depan orang banyak, sekali lagi, aku mohon maaf. Bukan aku tidak mau, tapi kalian sudah mengerti, apa yang  bisa kusampaikan dan kunasehatkan kepada kalian?”

            Kedua remaja masjid itu tidak bertanya-tanya lagi. Keduanya segera berpamitan pergi. Tapi belum lagi keduanya keluar halaman, ketua takmir dan beberapa pengurus sudah tiba di tempat itu. Ketua takmir segera mengajak rombongan menemui Pak kadirun. Pak kadirun semakin terheran-heran. Kenapa orang-orang ini seperti setengah memaksanya menjadi seorang penceramah, sebuah pekerjaan yang jelas tidak dimampuinya?

            “Kedua remaja masjid itu sudah datang dua kali kesini. Sudah pula saya sampaikan, saya mohon maaf tidak bisa memenuhi permohonan untuk menjadi penceramah. Bukankah Bapak-bapak sangat mengerti. Saya hanyalah seorang penjahit, sejak muda dulu. Saya bukan ahli agama. Bukan pula kiai dan ustadz yang pintar berpidato. Sebenarnya, apa yang menyebabkan Bapak-bapak seperti setengah memaksa saya menjadi seorang penceramah?”

            “Kami tidak menuntut muluk-muluk, Pak Kadirun. Kami hanya ingin mendengar cerita hidup Bapak sehari-hari. Mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali. Itu saja. Tidak lebih tidak kurang. Kami tidak butuh ceramah yang lucu, karena kami terbiasa menonton srimulat. Tidak pula kami memerlukan pidato yang menggebu-gebu. Cukup cerita saja!” ujar ketua takmir. Suaranya pelan. Memelas. Hingga Pak Kadirun pun terdiam. Demi menghargai kedatangan tamunya, Pak Kadirun segera mengisi lembar kesediaan menjadi penceramah tarawih hingga para tamu itu pun mohon undur diri.

***

            Bangunan masjid itu seperti tergetar. Ruangan masjid seperti tak tersisa menampung jamaah yang tumpah hingga teras masjid. Di mimbar, Pak Kadirun terdiam sejenak. Para jamaah dengan setia menunggu Pak kadirun berbicara. Ketua takmir dan segenap pengurus duduk paling depan.

            Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh…Terlebih dulu saya ingin mohon maaf. Saya tidak bisa berbahasa arab. Karena itu sesuai kesepakatan dengan ketua takmir dan pengurus yang datang ke rumah saya tempo hari, saya akan langsung bercerita seputar hidup saya, sejak bangun tidur hingga tidur kembali…” Demi mendengar suara Pak Kadirun, para jamaah mendongakkan kepalanya.

            “Saya bangun pagi-pagi, tepat terdengar azan shubuh. Selesai shalat shubuh, saya berolahraga sejenak. Selanjutnya saya …huk..huk..” Pak kadirun melepaskan batuk terlebih dulu. Para jamaah menahan napas.

            “Selanjutnya saya menyiram halaman dan menyapunya hingga tidak tersisa sehelai daun pun di halaman itu. Lepas dari menyapu halaman, saya membantu istri mencuci piring. Lalu, sebelum mandi, saya menyempatkan diri untuk menggosok dinding kamar mandi. Dan selebihnya, saya langsung mandi…” Pak Kadirun berhenti sejenak. Diteguknya segelas air putih yang disediakan oleh remaja masjid.

            “Sambil menunggu istri dan anak saya selesai menyiapkan sarapan dan menunggu mereka selesai mandi dan mengurus diri, saya menyiapkan pekerjaan menjahit yang saya saya tekuni sejak muda dulu. Persis seperti yang bapak, ibu dan anak-anak lihat selama ini. Pekerjaan ini saya lakukan hingga sore. Saya berhenti sejenak untuk makan dan menyempatkan sholat dhuhur dan ashar. Selesai menjahit, saya beristirahat sejenak sambil menunggu maghrib tiba. Antara maghrib hingga lepas isya, seperti bapak, ibu dan anak-anak saksikan sendiri, saya masih berada di masjid ini. Bila ada pengajian, saya berusaha menyempatkan untuk mengikutinya. Bila tiada acara di masjid, saya pun berangkat istirahat untuk menyegarkan tubuh. Dan begitu seterusnya. Tidak ada yang aneh bukan?” Pak Kadirun bercerita panjang-lebar.

            Para jamaah terpana. Kepala mereka terdongak. Mulut mereka ternganga. Mata mereka lebar terbuka. Pak Kadirun tidak tampak di podium depan mereka. Di podium itu hanya ada seorang kakek tua berpakaian putih-putih, berwajah putih bersih. Bibirnya tersenyum. Matanya teduh memandang satu-persatu wajah para jamaah. Tubuh kakek itu seperti bersayap. Persis malaikat yang didongengkan kakek-nanek menjelang tidur. Tubuh itu melayang turun, dan mendatangi satu-persatu para jamaah, sambil berbisik: “Itulah Pak Kadirun yang mulia. Ikuti kerja kerasnya. Teladani kerajinannya...”

            Pak Kadirun menutup cermaah dengan salam, dan turun dari podium. Tepat saat kakek berwajah putih bersih hilang dari pandangan para jamaah.






Comments