Keseleo
Oleh Malik
Aku
hanya pegawai rendahan di suatu jawatan pemerintah. Tugas pokokku adalah
melaksanakan segala perintah majikan. Mulai mencuci mobil dinas, mengantar
majikan kemanapun pergi dan menunggui di mobil hingga majikan selesai acaranya meskipun
sampai larut malam. Tidak ketinggalan juga mengantar istri majikan ke super
market, pergi ke salon, termasuk
mengantar dan menjemput anak majikan ke dan dari sekolah. Tetapi itu semua harus
aku kerjakan dengan dengan senang hati walaupun kadangkala dengan setengah
hati. Tetapi mau apalagi ? Maka tidak heran, bila menyangkut urusan
kepegawaianku tidak pernah terkendala. Banyak teman sesama pegawai rendahan
yang iri, bahkan kadangkala mereka menyindir diriku.
”Biasa, anak kesayangan majikan, jangan heran
kalau urusannya selalu lancar” kata Maruto, seorang sarjana yang menjadi petugas
kebersihan, yang sok idealis.
”Siapa yang dekat api ya.., jelas duluan
masak, tapi awas lho gosong !” kata Sugio, juga seorang sarjana yang bertugas
sebagai satpam. Tetapi omongan mereka kuanggap angin lalu, bagiku yang penting
bekerja dan mendapatkan gaji, itu saja.
Setelah
lima tahun menjadi pejabat tinggi, majikanku harus segera mengakhiri masa
jabatannya. Itu berarti statusku sebagai bawahan majikan juga akan berakhir. Tetapi
rupanya majikanku masih ingin menjadi pejabat
tertinggi daerah. Dia masih ingin ikut pemilihan kepala daerah yang dipilih
langsung oleh rakyat. Dia masih ingin
menikmati empuknya kursi merk pejabat.
”Saya ingin mengabdikan sisa hidup untuk
rakyat banyak. Ini adalah pengabdian terakhir kepada nusa dan bangsa”, katanya
kepadaku diperjalanan pulang setelah mengikuti pertemuan hingga larut malam.
Saya hanya mengangguk-angguk. Setelah itu hampir setiap hari, siang atau malam,
harus mengantarkan beliau ke sebuah bangunan yang di depannya bertuliskan
”RUMAH PERUBAHAN BAPAK RABISO”.
Malam ini aku harus mengantarkan majikan ke rumah kepala
desa Patmo dipinggiran kota yang jaraknya cukup jauh. Malam berikutnya
mengantarkan majikan ke rumah kepala desa Tumin, yang rumahnya jauh masuk gang yang tidak dapat
dilalui mobil. Terpaksa aku harus memanggul dua kotak kardus yang berat. Majikan akhir-akhir ini, selalu membawa
kotak kardus yang entah apa isinya setiap berkunjung kerumah tokoh masyarakat.
”Pengabdian itu memang membutuhkan
perjuangan, dan perjuangan membutuhkan pengorbanan. Ya... pengorbanan tenaga,
pengorbanan pikiran dan pengorbanan yang lainnya ”, kata majikan seolah-olah
tahu isi hatiku.
Semakin
dekat dengan hari pemilihan umum, semakin sibuk dan semakin tinggi frekuensi
kunjungan majikan ke berbagai tempat dan tokoh masyarakat. Tentunya semakin
besar dan berat pula kotak kardus yang harus kubawa.
”Semakin tinggi cita-cita, semakin berat pula
perjuangan yang harus ditempuh”, kata
majikan ketika melihatku merasa terlalu berat memanggul kotak kardus.
Begitu pula jumlah tamu yang berkunjung ke
rumah majikan semakin banyak. Tidak ada hari yang tidak ada tamu berkunjung. Mereka datang dari berbagai
tempat dan profesi. Ada tukang ojek, sopir angkot, nelayan, buruh bangunan,
kumpulan ibu-ibu arisan, pengusaha, mahasiswa, karyawan pabrik, pedagang,
penjual sayur, pemborong dan tidak ketinggalan para pegawai negeri yang masih
aktif di jawatan pemerintah.
Mereka datang dengan
berbagai cara, misalnya; tukang ojek datang dengan rombongan besar lengkap
dengan sepeda motor dan helm khas ojek mereka. Sopir angkot datang dengan mobil
angkotnya yang didalamnya berisi ibu-ibu arisan. Kebanyakan mereka datang pada
siang hari, kecuali para pegawai negeri sipil yang kebanyakan datang pada malam
hari. Barangkali mereka malu kalau datang siang hari atau barangkali sebab
lain, yang jelas banyak diantara mereka yang saya kenali, meskipun hanya kenal
wajah. Karena banyak diantara mereka satu kantor dengan majikan. Hanya Maruto
dan Sugio yang tidak saya lihat datang.
”Untuk mewujudkan cita-cita kita harus pandai
menjalin kerja sama dengan siapa saja, karena kita pasti akan membutuhkan
bantuan dari orang lain”, kata majikan
kepadaku setelah mengantarkan tamu
terakhir sampai di pintu pagar pada
suatu malam. Kini giliranku untuk membersihkan ruang tamu dari berbagai sampah
yang bertebaran. Asbak yang penuh puntung rokok, sisa makanan, kulit kacang
goreng, dan sobekan-sobekan kertas yang bertuliskan nama, alamat, nomor telepon
dan berbagai tulisan lain.
Saat kampanyepun tiba,
majikanku semakin sibuk dan sangat padat jadwal kegiatannya. Itu artinya
pekerjaanku semakin berat dan melelahkan. Aku hanya berharap semoga ini cepat
berakhir.
”Mukidi, kamu harus selalu membantu saya,
karena selama ini kamu bisa menyelesaikan pekerjaan yang saya berikan,
percayalah, saya pasti ingat dengan apa yang telah kamu kerjakan. Maka, doakan
saja semoga perjuangan ini berhasil dan sukses ”, kata majikan ketika diperjalanan pulang dari
suatu desa tempat melaksanakan kampanye.
Besoknya kembali
mengantarkan majikan kampanye di desa yang sangat jauh letaknya. Desa
Rawamakmur, desa tempat aku dilahirkan, dibesarkan dan menamatkan sekolahku
sampai tingkat SLTP. SMA aku tempuh dikota,
menumpang di rumah Pak Rabiso sambil menjadi tukang sapu dikantor Pak
Rabiso. Waktu itu beliau masih pegawai biasa. Setelah menjadi pejabat tinggi
akupun ditariknya menjadi staf beliau
merangkap sopir, ya...mau apa lagi. Barangkali inilah suratan nasibku. Kamipun
menuju lapangan desa. Disana telah disiapkan panggung kampanye yang lumayan
besar. Penduduk sudah banyak yang
datang, sebagian besar mereka adalah kaum tua. Tak lama kemudian majikan menuju
podium untuk memulai pidato kampanyenya. Betapa semangat dan berapi-apinya
beliau. Sepintas kudengar namaku disebut – sebut dalam kampanyenya, tapi aku
tidak terlalu mendengarkan dengan jelas. Karena aku mendengarkan sambil
terkantuk-kantuk.
”Kamu lihat,
tidak tadi, betapa penduduk desamu sangat antusias mengikuti setiap isi pidatoku,
terlebih ketika kusebut namamu ?” tanya majikan ketika diperjalanan pulang.
Saya hanya tersenyum sambil mengangguk.
Masih terngiang pertanyaan majikan tadi
siang. Kamu lihat, tidak tadi, betapa penduduk desamu sangat antusias mengikuti
setiap isi pidatoku, terlebih ketika kusebut namamu. Dalam kampanyenya majikan
menyebut namaku ? Apa maksudnya ? Apa karena di desa kelahiranku? Ah, entahlah
apa maksudnya, aku tidak tahu.
Malam harinya majikan sangat sibuk, karena
harus memantau dan memeriksa segenap
persiapan menjelang hari pemilihan. Sesaat majikan masuk kamarnya. Tidak lama
kemudian keluar.
”Ternyata
pas, sesuai dengan petunjuk ”, kata majikan kepada beberapa orang yang masih
terlihat serius memperbincangkan hari pemilihan besok.
”Apanya yang
pas Pak ?”, tanya salah seorang dari mereka.
”Hari
pemilihannya. Hari bagus yang sesuai dengan petunjuk ini”, kata majikan lalu
duduk sambil membaca buku berjudul Kitab Primbon.
”Tidak rugi
saya mentraktir makan dan membelikan seragam lengkap untuk semua panitia
pemilihan kota ” Kata majikan lagi.
”Jangan
mencurigai saya akan melakukan money
politic. Saya hanya menginginkan agar hari pemilihan sesuai dengan yang
saya inginkan, itu kan bukan money politik”.
Saya hanya mendenganrkan dengan penuh ketidakmengertian.
Hari pemilihanpun tiba.
Hari yang dinanti-nanti segenap warga kota. Sejak pagi warga berbondong-bondong menuju TPS, Tempat Pemungutan
Suara. Berbagai kreasi ditampilkan oleh para panitia TPS di masing-masing
TPSnya. TPS yang paling meriah adalah TPS di wilayah tempat tinggal majikan.
Pengeras suara mengalunkan lagu-lagu perjuangan. Tenda ukuran besar sudah sejak
kemarin dipasang dan lengkap dengan hiasan dan dekorasi warna-warni. Beberapa
meja berjejer penuh berisi beraneka makanan dan minuman. Setiap pemilih yang
datang, dipersilakan duduk dulu untuk menunggu giliran memilih, sambil
menikmati makanan dan minuman sesukanya. Semua itu tentunya ditanggung oleh
majikan.
Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh warga
masyarakat. Mereka tahu bahwa ada makanan dan minuman gratis di TPS. Maka
merekapun datang dengan mengajak anggota keluarganya, anak, adik, cucu ataupun
keponakan atau siapa saja yang bisa diajak serta. Setelah melakukan pemilihan
dan merasa puas menikmati makanan dan minuman, merekapun pulang dengan membawa
tas plastik yang mereka isi makanan dan minuman. Di perjalanan pulang
mereka bertemu dengan warga dari RT lain yang akan pergi ataupun pulang dari
TPS. Mereka saling tukar cerita
pengalaman memilih di TPS masing-masing.
Tanpa diduga, berbondong-bondong warga
masyarakat mendatangi TPS di wilayah majikan. Mereka beserta anggota keluarga
yang ikut, terlihat lebih agresif dan agak memaksakan kehendak. Mereka langsung menyerbu meja yang berisi makanan dan
minuman. Bahkan banyak dari mereka yang langsung mengambil surat suara dan menuju
bilik suara. Hal ini tentu mendapat protes dari para saksi. Mereka adu argumen dan
berdebat dengan panitia TPS. Sementara tengah terjadi perdebatan seru,
tiba-tiba majikan datang untuk melakukan pemilihan.
”Apa kabar Bapak-bapak dan Ibu-ibu semuanya ?”, sapa majikan
sambil melambai-lambaikan tangan kepada warga masyarakat dan masyarakatpun
membalas lambaian tangan majikan.
Salah satu panitia TPS
menghampiri majikan dan membisikkan sesuatu ketelinga majikan. Tidak lama majikan
menghampiri para saksi yang masih terlihat emosi akibat adu argumen dengan
panitia TPS. Kemudian majikan membisikan sesuatu ketelinga para saksi. Terlihat
para saksi mengangguk-angguk dan tersenyum.
Majikanpun melakukan pemilihan di bilik suara,
setelah selesai, lalu menemui warga masyarakat. Melihat majikan menemui mereka,
maka warga secara spontan mendekat dan
mengerubuti majikan untuk berjabat tangan. Para ajudan dan pengawal berusaha
melindungi majikan dari desakan warga.
”Pelan-pelan ” teriak pengawal majikan.
”Sabar-sabar, semua pasti kebagian. Ini
sekedar untuk membeli es kalau Bapak dan Ibu haus ”, kata majikan kepada warga
sambil membagikan lembaran sepuluh ribuan. Tetapi warga tidak menghiraukan
kata-kata pengawal maupun kata-kata majikan. Jumlah warga yang mengerubuti
majikan bertambah banyak. Mereka semakin merangsek dan semakin mendesak majikan
untuk berebut pembagian. Mereka saling mendesak, saling dorong dan saling
sikut. Suasana semakin kacau dan tidak terkendali. Majikan semakin kewalahan
mendapat desakan dari warga. Pengawal dan ajudan sudah tidak mampu mencegah
warga untuk sedikit menjauh. Majikan hanya terlihat tangannya melambai-lambai
ke atas.
Melihat situasi yang
semakin kacau balau, muncul rasa ke-bawahan-ku
untuk menyelamatkan majikan. Maka dengan cepat aku menuju ke arah warga yang
mengerubuti majikan. Menyibak
kerumunan warga dengan sekuat tenaga. Dengan susah payah saya meraih tangan
majikan.
”Mukidi,
tolong. Cepat keluarkan saya dari
kerumunan ini”, kata majikan ketika melihatku ada didepannya. Aku hanya
mengangguk.. Kemudian merangkul bahu
majikan dari arah samping. Sambil tertatih-tatih majikan berhasil saya bimbing keluar dari desakan warga yang mengerumuni.
”Mana
pengawal dan ajudan? Mengapa mereka tidak segera menolongku? Takut ya”? Tanya
majikan dengan nada marah kepadaku. Akupun hanya diam saja.
Setelah dapat keluar dari kerumunan warga,
kulepas rangkulan di bahunya. Kugandeng lengan bagian atas majikan, dan sambil
setengah berlari, majikan saya bawa ke mobil yang parkir agak jauh dari lokasi
TPS. Pengawal dan ajudan mengikuti dari belakang. Ternyata masih ada saja
beberapa orang warga yang nekat membuntuti kami.
”Aduh”,
teriak majikan ketika tinggal beberapa langkah dari mobil.
”Kenapa Pak ?”,
tanyaku.
”Kakiku, sakit”, jawab
majikan sambil tetap berjalan. Tapi kini dengan terseok-seok. Dengan susah payah
kamipun dapat masuk mobil. Setelah para pengawal dan ajudan naik, kutancap gas dan pulang ke
rumah majikan.
Setibanya di rumah, majikan marah kepada para
pengawal dan ajudan.
”Kamu kenapa lambat geraknya? Percuma saja jadi pengawal
dan ajudan”, kata majikan sambil mengurut-urut kakinya yang membengkak.
”Kami sebenarnya sudah berusaha melindungi Bapak,
tapi warga begitu semangat dan antusias untuk melihat dari dekat pemimpin
mereka ”, jawab salah satu ajudan sambil juga memijit-mijit kaki majikan.
”Maka kami
kewalahan untuk mengatur warga agar tertib ”, kata yang lain.
”Oh..ya? Jadi
mereka sudah menganggap saya pemimpin mereka? Berarti masyarakat sudah dapat
berpikir dengan bijak”, kata majikan lalu berdiri. Dengan terseok majikan
berjalan mondar-mandir sambil tangan disilangkan dibagian belakang pinggang.
”Tidak sia-sia perjuangan ini, meski kaki
bengkak karena keseleo, saya tetap puas karena perolehan suara nantinya pasti
juga bengkak”, kata majikan sambil tersenyum.
Koran lokal segera
memberitakan tentang antusias masyarakat dan kaki majikan yang keseleo. Satu
hari setelah hari pemilihan, warga banyak yang kembali mendatangi rumah majikan
untuk melihat dan membezuk majikan yang kakinya sakit. Mulai tukang ojek, tukang becak, sopir angkot,
tokoh masyarakat dan pejabat dari berbagai instansi. Ibu-ibu PKK, ibu-ibu darma
wanita, ibu-ibu anggota arisan, juga ibu-ibu anggota perkumpulan salawatan. Tentunya
mereka menemui istri majikan.
” Kasihan ya, Bapak, untuk membela rakyat
sampai harus menderita seperti ini ”, kata istri seorang pejabat sebuah jawatan kepada istri majikan.
Istri-istri yang lain hanya mengangguk-angguk.
Mereka semua datang dengan membawa berbagai
macam bawaan. Ada yang membawa obat gosok yang mujarab, ada yang membawa
buah-buahan, ada yang membawa makanan, yang tentunya berharga mahal. Tentu saja
mereka tidak lupa menyelipkan nama dan
nomor telepon mereka disetiap bungkusan yang mereka bawa yang disertai beberapa
kalimat pengharapan, semoga majikan cepat sembuh. Mereka datang silih berganti, kalau tidak
pagi, mereka datang siang atau malam hari. Begitu terus sampai hari kelima, dua
hari menjelang hari pengumuman hasil pemilu kepala daerah. Hanya Maruto dan
Sugio yang tidak kelihatan datang membezuk. Setelah lewat lima hari sejak hari
pemilihan, kaki majikan belum juga sembuh.
Warga mulai menduga-duga siapa yang bakal tampil sebagai
pemenang. Koran lokal memuat analisis dan komentar dari para pengamat. Masing-masing mengemukakan pendapat dan komentarnya sesuai
dengan sudut pandang masing-masing.
Stasiun televisi lokal menayangkan acara yang membahas pelaksanaan
pemilihan dan perkiraan siapa yang akan tampil sebagai pemenang. Berbagai tokoh
dijadikan nara sumber, diminta untuk menyampaikan hasil kajian dan analisisnya. Warga disetiap
kesempatan selalu membicarakan pemilihan yang baru saja mereka alami. Berbagai
tanggapan kepada masing-masing tokoh mereka lontarkan.
Hari yang ditunggu-tunggupun
tiba. Panitia pemilihan daerah mengumumkan hasil pemilihan. Pengumuman berisi lengkap dengan perolehan
suara masing-masing calon. Ternyata majikan
memperoleh suara terbanyak dibandingkan calon lain. Maka majikan tampil
sebagai pemenang, sebagai pemimpin rakyat di daerah kami periode mendatang.
Begitu mengetahui sebagai pemenang, majikan gembira luar biasa. Berkali-kali
mengucapkan syukur. Sayapun dipanggilnya.
”Mukidi,
ternyata tidak sia-sia perjuangan kita. Rakyat sudah cerdas menentukan
pilihannya”, kata majikan. ”Kita tidak boleh menyakiti hati mereka”, lanjutnya lagi.
Hari untuk pelantikanpun
sudah ditentukan. Segala
persiapan sudah dilakukan sejak tiga hari lalu. Mulai menjahit jas baru,
mencetak undangan, memesan makanan serta persiapan tempat untuk pelantikan.
Tidak ketinggalan persiapan keamanan
pada saat pelantikan nanti. Mobil dinas barupun sudah dipersiapkan.
”Sekarang
kita mulai babak perjuangan baru”, kata majikan ketika pulang dari dari gladi
bersih pelantikan.
Pejabat pusat yang akan
melantik majikan sudah tiba. Para undangan sudah datang memenuhi gedung
pertemuan umum, tempat dilangsungkannya pelantikan. Majikan dan istri
awal-awal mempersiapkan diri. Majikan mengenakan jas terbaru, begitu pula sang
istri mengenakan kebaya dengan motif dan model terbaru. Selama di perjalanan
majikan selalu melambaikan tangan kepada setiap warga yang berpapasan. Sesampainya di gedung tempat pelantikan,
mereka langsung memasuki ruang pertemuan utama. Majikan selalu menoleh kekiri
dan kekanan. Menyapa setiap undangan dengan senyum yang ramah.
Acara demi acara
berlangsung dengan lancar. Majikan dengan lancar mengucapkan sumpah dan janji
yang dibimbing oleh seorang rohaniwan. Setelah
pelantikan selesai, dilanjutkan dengan ramah-tamah. Menjelang tengah hari acara
pelantikan selesai.
”Kini
saatnya untuk menikmati hasil perjuangan, maka kini saatnya menyusun rencana
dan strategi.”, kata majikan diperjalanan pulang dari pelantikan.
Hari ini adalah hari pertama majikan bekerja
sebagai pemimpin tertinggi di kota
kami. Majikan berangkat ke kantor pagi sekali, belum ada pegawai yang datang. Agenda
pertama hari ini adalah rapat dinas dengan segenap jajaran untuk merumuskan
kebijakan kedepan. Berbagai usul dan saran dilontarkan oleh semua jajaran. Mulai
dari usul kendaraan dinas. rumah dinas, dan pembangunan jalan. Selesai agenda
rapat dinas, majikan melakukan inspeksi ke segenap jawatan yang ada di kota
ini. Setiap pejabat dan pegawai yang ditemui akan tergopoh-gopoh menyambut.
Sebulan menjadi pemimpin
tertinggi di kota kami, majikan mendapat surat panggilan dari kepolisian untuk
menjalani pemeriksaan. Majikan dilaporkan oleh pasangan calon yang kalah dalam
pemilihan karena diduga melakukan money politik, sehingga memenangkan
pemilihan. Untuk menunjukan dan membuktikan sebagai pemimpin yang menjujung
tinggi hukum, maka majikan memenuhi surat panggilan tersebut. Didalam
pemeriksaan disodorkan setumpuk bukti-bukti pelanggaran yang dilakukan majikan
selama mengikuti proses pemilihan. Majikan tidak mengakui semua butki-bukti
itu, majikan menganggap ada rekayasa politik untuk menjatuhkan dirinya. Untuk
membuktikan kebenaran tuduhan itu, harus dibawa ke persidangan.
”Ternyata ada orang yang ingin mencoba
kemampuanku”, kata majikan sepulang dari kantor polisi.
”Kita buktikan di pengadilan, siapa
sebenarnya yang bermain kotor ”, gerutu majikan.
Selama persidangan
majikan didampingi oleh tiga orang pembela ternama di kota ini. Berbagai
argument disampaikan oleh tim pembela majikan. Tetapi majelis hakim tetap pada
pendiriannya, tidak menerima, justru
menyodorkan bukti-bukti dan saksi-saksi yang semakin memberatkan majikan. Tidak
seorangpun saksi yang meringankan majikan. Jaksa penuntut umum, menuntut dibatalkannya
pemilihan, dan dicopotnya majikan dari jabatannya sebagai pemimpin tertinggi di
daerah kami. Dalam setiap persidangan,
terlihat calon-calon pemimpin daerah peserta pemilihan yang kalah. Mereka terlihat antusias
dalam mengikuti persidangan. Mereka inilah yang melaporkan majikan ke kantor
polisi.
Setelah berkali-kali
sidang, maka putusan dijatuhkan. Majelis hakim membuat vonis bahwa pemilihan umum yang telah dilakukan untuk memilih
pemimpin daerah dinyatakan batal demi hukum dan majikan dianggap telah
melanggar hukum. Oleh
karenanya majikan dijatuhi hukuman kurungan
tiga tahun. Begitu mendengar hakim membacakan keputusan, majikan yang semula duduk
tenang dikursi terdakwa, spontan
berdiri. Berkacak pinggang, menuju meja majelis hakim lalu mencaci-maki dan
mengeluarkan sumpah-serapah kepada majelis hakim, jaksa, pembela dan semua orang yang ada di ruangan sidang.
Majikan seperti orang kesetanan, berjalan berputar-putar di ruang sidang,
sambil menunjuk-nunjuk semua orang yang
ada di ruangan itu dan mengucapkan kata-kata kotor. Majikan semakin tidak
terkendali, orang-orang yang ada di ruang sidang saling bergumam, dan
keheranan.
”Kasihan dia”, kata seseorang.
”Iya, ya”, kata yang lain.
”Itulah akibat tidak jujur, pemimpin kok
tidak jujur. Baru sekarang dia merasakan”, sambung yang lain lagi.
”Biar menjadi pelajaran bagi pemimpin yang
lain”, sambung temannya.
Hari itu juga majikan
dijebloskan ke dalam sel. Istri dan anaknya hanya dapat menangis demi melihat
suami dan bapak mereka dimasukkan sel. Sungguh diluar dugaan mereka.
”Rakyat akan tahu siapa sebenarnya yang tidak
jujur. Lihatlah nanti, rakyat akan membebaskan pemimpin pilihan mereka”, teriak
majikan dari dalam sel.
Koran dan TV lokal pun tidak ketinggalan
memuat berita tentang majikan saya. Berbagai tanggapan dan komentar diungkapkan
oleh berbagai kalangan. Ada yang tidak setuju, namun tidak sedikit yang setuju.
Masing-masing dengan argument dan analisis mereka.
Setelah sepuluh hari
mendekam dalam sel, ternyata hanya istri dan anak majikan yang setia membezuk.
Tidak satupun warga atau pejabat di kota ini yang menengok. Terakhir kali hanya
Maruto dan Sugio, petugas cleaning
service dan satpam di kantor majikan ketika masih menjadi kepala jawatan, yang datang membezuk. Setelah mengucapkan
salam maruto bertanya,
”Bagaimana keadaanya Pak?”. Majikan hanya
diam, tanpa ekspresi dan menatap kosong jauh kedepan. Sejenak mereka berdua saling
berpandangan, dengan penuh tanda tanya mereka kemudian pergi meninggalkan ruangan
sel. Majikan masih tetap diam. Entah diam karena apa?
SMK Negeri I Tarakan, Kalimantan Utara. Alamat
sekolah Jl. P. Diponegoro, RT.
I, Tarakan
Kalimantan
Timu. Telepon
(0551) 21897. Masih menulis cerpen dan mendampingi murid berproses kreatif drama maupun menulis.
Comments
Post a Comment