CERITA PENDEK MALIK, TARAKAN

Keseleo

Oleh Malik



Aku  hanya pegawai rendahan di suatu jawatan pemerintah. Tugas pokokku adalah melaksanakan segala perintah majikan. Mulai mencuci mobil dinas, mengantar majikan kemanapun pergi dan menunggui di mobil hingga majikan selesai acaranya meskipun sampai larut malam. Tidak ketinggalan juga mengantar istri majikan ke super market,  pergi ke salon, termasuk mengantar dan menjemput anak majikan ke dan dari sekolah. Tetapi itu semua harus aku kerjakan dengan dengan senang hati walaupun kadangkala dengan setengah hati. Tetapi mau apalagi ? Maka tidak heran, bila menyangkut urusan kepegawaianku tidak pernah terkendala. Banyak teman sesama pegawai rendahan yang iri, bahkan kadangkala mereka menyindir diriku.
”Biasa, anak kesayangan majikan, jangan heran kalau urusannya selalu lancar” kata  Maruto, seorang sarjana yang menjadi petugas kebersihan, yang sok idealis. 
”Siapa yang dekat api ya.., jelas duluan masak, tapi awas lho gosong !” kata Sugio, juga seorang sarjana yang bertugas sebagai satpam. Tetapi omongan mereka kuanggap angin lalu, bagiku yang penting bekerja dan mendapatkan gaji, itu saja.   
            Setelah lima tahun menjadi pejabat tinggi, majikanku harus segera mengakhiri masa jabatannya. Itu berarti statusku sebagai bawahan majikan juga akan berakhir. Tetapi rupanya majikanku masih ingin menjadi pejabat  tertinggi daerah. Dia masih ingin ikut pemilihan kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat.  Dia masih ingin menikmati empuknya kursi merk pejabat. 
”Saya ingin mengabdikan sisa hidup untuk rakyat banyak. Ini adalah pengabdian terakhir kepada nusa dan bangsa”, katanya kepadaku diperjalanan pulang setelah mengikuti pertemuan hingga larut malam. Saya hanya mengangguk-angguk. Setelah itu hampir setiap hari, siang atau malam, harus mengantarkan beliau ke sebuah bangunan yang di depannya bertuliskan ”RUMAH PERUBAHAN BAPAK RABISO”.
Malam ini aku  harus mengantarkan majikan ke rumah kepala desa Patmo dipinggiran kota yang jaraknya cukup jauh. Malam berikutnya mengantarkan majikan ke rumah kepala desa Tumin, yang  rumahnya jauh masuk gang yang tidak dapat dilalui mobil. Terpaksa aku harus memanggul dua kotak kardus yang  berat. Majikan akhir-akhir ini, selalu membawa kotak kardus yang entah apa isinya setiap berkunjung kerumah tokoh masyarakat.
”Pengabdian itu memang membutuhkan perjuangan, dan perjuangan membutuhkan pengorbanan. Ya... pengorbanan tenaga, pengorbanan pikiran dan pengorbanan yang lainnya ”, kata majikan seolah-olah tahu isi hatiku.
            Semakin dekat dengan hari pemilihan umum, semakin sibuk dan semakin tinggi frekuensi kunjungan majikan ke berbagai tempat dan tokoh masyarakat. Tentunya semakin besar dan berat pula kotak kardus yang harus kubawa.  
”Semakin tinggi cita-cita, semakin berat pula perjuangan yang harus ditempuh”,  kata majikan ketika melihatku merasa terlalu berat memanggul kotak kardus.
Begitu pula jumlah tamu yang berkunjung ke rumah majikan semakin banyak. Tidak ada hari yang tidak ada tamu berkunjung. Mereka datang dari berbagai tempat dan profesi. Ada tukang ojek, sopir angkot, nelayan, buruh bangunan, kumpulan ibu-ibu arisan, pengusaha, mahasiswa, karyawan pabrik, pedagang, penjual sayur, pemborong dan tidak ketinggalan para pegawai negeri yang masih aktif di jawatan pemerintah.
Mereka datang dengan berbagai cara, misalnya; tukang ojek datang dengan rombongan besar lengkap dengan sepeda motor dan helm khas ojek mereka. Sopir angkot datang dengan mobil angkotnya yang didalamnya berisi ibu-ibu arisan. Kebanyakan mereka datang pada siang hari, kecuali para pegawai negeri sipil yang kebanyakan datang pada malam hari. Barangkali mereka malu kalau datang siang hari atau barangkali sebab lain, yang jelas banyak diantara mereka yang saya kenali, meskipun hanya kenal wajah. Karena banyak diantara mereka satu kantor dengan majikan. Hanya Maruto dan Sugio yang tidak saya lihat datang.
”Untuk mewujudkan cita-cita kita harus pandai menjalin kerja sama dengan siapa saja, karena kita pasti akan membutuhkan bantuan dari  orang lain”, kata majikan kepadaku  setelah mengantarkan tamu terakhir sampai di pintu pagar  pada suatu malam. Kini giliranku untuk membersihkan ruang tamu dari berbagai sampah yang bertebaran. Asbak yang penuh puntung rokok, sisa makanan, kulit kacang goreng, dan sobekan-sobekan kertas yang bertuliskan nama, alamat, nomor telepon dan berbagai tulisan lain.
Saat kampanyepun tiba, majikanku semakin sibuk dan sangat padat jadwal kegiatannya. Itu artinya pekerjaanku semakin berat dan melelahkan. Aku hanya berharap semoga ini cepat berakhir.
”Mukidi, kamu harus selalu membantu saya, karena selama ini kamu bisa menyelesaikan pekerjaan yang saya berikan, percayalah, saya pasti ingat dengan apa yang telah kamu kerjakan. Maka, doakan saja semoga perjuangan ini berhasil dan sukses ”,  kata majikan ketika diperjalanan pulang dari suatu desa tempat melaksanakan kampanye.
Besoknya kembali mengantarkan majikan kampanye di desa yang sangat jauh letaknya. Desa Rawamakmur, desa tempat aku dilahirkan, dibesarkan dan menamatkan sekolahku sampai tingkat SLTP. SMA aku tempuh dikota,  menumpang di rumah Pak Rabiso sambil menjadi tukang sapu dikantor Pak Rabiso. Waktu itu beliau masih pegawai biasa. Setelah menjadi pejabat tinggi akupun  ditariknya menjadi staf beliau merangkap sopir, ya...mau apa lagi. Barangkali inilah suratan nasibku. Kamipun menuju lapangan desa. Disana telah disiapkan panggung kampanye yang lumayan besar. Penduduk sudah banyak yang datang, sebagian besar mereka adalah kaum tua. Tak lama kemudian majikan menuju podium untuk memulai pidato kampanyenya. Betapa semangat dan berapi-apinya beliau. Sepintas kudengar namaku disebut – sebut dalam kampanyenya, tapi aku tidak terlalu mendengarkan dengan jelas. Karena aku mendengarkan sambil terkantuk-kantuk.
”Kamu lihat, tidak tadi, betapa penduduk desamu sangat antusias mengikuti setiap isi pidatoku, terlebih ketika kusebut namamu ?” tanya majikan ketika diperjalanan pulang. Saya hanya tersenyum sambil mengangguk.
Masih terngiang pertanyaan majikan tadi siang. Kamu lihat, tidak tadi, betapa penduduk desamu sangat antusias mengikuti setiap isi pidatoku, terlebih ketika kusebut namamu. Dalam kampanyenya majikan menyebut namaku ? Apa maksudnya ? Apa karena di desa kelahiranku? Ah, entahlah apa maksudnya, aku tidak tahu.
Malam harinya majikan sangat sibuk, karena harus memantau  dan memeriksa segenap persiapan menjelang hari pemilihan. Sesaat majikan masuk kamarnya. Tidak lama kemudian keluar.
”Ternyata pas, sesuai dengan petunjuk ”, kata majikan kepada beberapa orang yang masih terlihat serius memperbincangkan hari pemilihan besok.
”Apanya yang pas Pak ?”, tanya salah seorang dari mereka.
”Hari pemilihannya. Hari bagus yang sesuai dengan petunjuk ini”, kata majikan lalu duduk sambil membaca buku berjudul Kitab Primbon.
”Tidak rugi saya mentraktir makan dan membelikan seragam lengkap untuk semua panitia pemilihan kota ” Kata majikan lagi.
”Jangan mencurigai saya akan melakukan money politic. Saya hanya menginginkan agar hari pemilihan sesuai dengan yang saya inginkan, itu kan bukan money politik”.  Saya hanya mendenganrkan dengan penuh ketidakmengertian.
 Hari pemilihanpun tiba. Hari yang dinanti-nanti segenap warga kota. Sejak pagi warga berbondong-bondong menuju TPS, Tempat Pemungutan Suara. Berbagai kreasi ditampilkan oleh para panitia TPS di masing-masing TPSnya. TPS yang paling meriah adalah TPS di wilayah tempat tinggal majikan. Pengeras suara mengalunkan lagu-lagu perjuangan. Tenda ukuran besar sudah sejak kemarin dipasang dan lengkap dengan hiasan dan dekorasi warna-warni. Beberapa meja berjejer penuh berisi beraneka makanan dan minuman. Setiap pemilih yang datang, dipersilakan duduk dulu untuk menunggu giliran memilih, sambil menikmati makanan dan minuman sesukanya. Semua itu tentunya ditanggung oleh majikan.
Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh warga masyarakat. Mereka tahu bahwa ada makanan dan minuman gratis di TPS. Maka merekapun datang dengan mengajak anggota keluarganya, anak, adik, cucu ataupun keponakan atau siapa saja yang bisa diajak serta. Setelah melakukan pemilihan dan merasa puas menikmati makanan dan minuman, merekapun pulang dengan membawa tas plastik yang mereka isi makanan dan minuman. Di perjalanan pulang mereka bertemu dengan warga dari RT lain yang akan pergi ataupun pulang dari TPS. Mereka saling tukar cerita pengalaman memilih di TPS masing-masing.
Tanpa diduga, berbondong-bondong warga masyarakat mendatangi TPS di wilayah majikan. Mereka beserta anggota keluarga yang ikut, terlihat lebih agresif dan agak memaksakan kehendak. Mereka langsung  menyerbu meja yang berisi makanan dan minuman. Bahkan banyak dari mereka yang langsung mengambil surat suara dan menuju bilik suara. Hal ini tentu mendapat protes dari para saksi. Mereka adu argumen dan berdebat dengan panitia TPS. Sementara tengah terjadi perdebatan seru, tiba-tiba majikan datang untuk melakukan pemilihan.
”Apa kabar Bapak-bapak dan Ibu-ibu semuanya ?”, sapa majikan sambil melambai-lambaikan tangan kepada warga masyarakat dan masyarakatpun membalas lambaian tangan majikan.
Salah satu panitia TPS menghampiri majikan dan membisikkan sesuatu ketelinga majikan. Tidak lama majikan menghampiri para saksi yang masih terlihat emosi akibat adu argumen dengan panitia TPS. Kemudian majikan membisikan sesuatu ketelinga para saksi. Terlihat para saksi mengangguk-angguk dan tersenyum.
 Majikanpun melakukan pemilihan di bilik suara, setelah selesai, lalu menemui warga masyarakat. Melihat majikan menemui mereka, maka warga secara spontan  mendekat dan mengerubuti majikan untuk berjabat tangan. Para ajudan dan pengawal berusaha melindungi majikan dari desakan warga.
”Pelan-pelan ” teriak pengawal majikan.
”Sabar-sabar, semua pasti kebagian. Ini sekedar untuk membeli es kalau Bapak dan Ibu haus ”, kata majikan kepada warga sambil membagikan lembaran sepuluh ribuan. Tetapi warga tidak menghiraukan kata-kata pengawal maupun kata-kata majikan. Jumlah warga yang mengerubuti majikan bertambah banyak. Mereka semakin merangsek dan semakin mendesak majikan untuk berebut pembagian. Mereka saling mendesak, saling dorong dan saling sikut. Suasana semakin kacau dan tidak terkendali. Majikan semakin kewalahan mendapat desakan dari warga. Pengawal dan ajudan sudah tidak mampu mencegah warga untuk sedikit menjauh. Majikan hanya terlihat tangannya melambai-lambai ke atas.
Melihat situasi yang semakin kacau balau, muncul rasa ke-bawahan-ku untuk menyelamatkan majikan. Maka dengan cepat aku menuju ke arah warga yang mengerubuti majikan. Menyibak kerumunan warga dengan sekuat tenaga. Dengan susah payah saya meraih tangan majikan.
”Mukidi, tolong. Cepat keluarkan  saya dari kerumunan ini”, kata majikan ketika melihatku ada didepannya. Aku hanya mengangguk..  Kemudian merangkul bahu majikan dari arah samping. Sambil tertatih-tatih  majikan berhasil saya bimbing keluar dari  desakan warga yang mengerumuni.
”Mana pengawal dan ajudan? Mengapa mereka tidak segera menolongku? Takut ya”? Tanya majikan dengan nada marah kepadaku. Akupun hanya diam saja.
Setelah dapat keluar dari kerumunan warga, kulepas rangkulan di bahunya. Kugandeng lengan bagian atas majikan, dan sambil setengah berlari, majikan saya bawa ke mobil yang parkir agak jauh dari lokasi TPS. Pengawal dan ajudan mengikuti dari belakang. Ternyata masih ada saja beberapa orang warga yang nekat membuntuti kami.
”Aduh”, teriak majikan ketika tinggal beberapa langkah dari mobil.
”Kenapa Pak ?”, tanyaku.
Kakiku, sakit”, jawab majikan sambil tetap berjalan. Tapi kini dengan terseok-seok. Dengan susah payah kamipun dapat masuk mobil. Setelah para pengawal  dan ajudan naik, kutancap gas dan pulang ke rumah majikan.
Setibanya di rumah, majikan marah kepada para pengawal dan ajudan.
”Kamu  kenapa lambat geraknya? Percuma saja jadi pengawal dan ajudan”, kata majikan sambil mengurut-urut kakinya yang  membengkak.
”Kami  sebenarnya sudah berusaha melindungi Bapak, tapi warga begitu semangat dan antusias untuk melihat dari dekat pemimpin mereka ”, jawab salah satu ajudan sambil juga memijit-mijit kaki majikan. 
”Maka kami kewalahan untuk mengatur warga agar tertib ”, kata yang lain.
”Oh..ya? Jadi mereka sudah menganggap saya pemimpin mereka? Berarti masyarakat sudah dapat berpikir dengan bijak”, kata majikan lalu berdiri. Dengan terseok majikan berjalan mondar-mandir sambil tangan disilangkan dibagian belakang pinggang.
”Tidak sia-sia perjuangan ini, meski kaki bengkak karena keseleo, saya tetap puas karena perolehan suara nantinya pasti juga bengkak”, kata majikan sambil tersenyum.
Koran lokal segera memberitakan tentang antusias masyarakat dan kaki majikan yang keseleo. Satu hari setelah hari pemilihan, warga banyak yang kembali mendatangi rumah majikan untuk melihat dan membezuk majikan yang kakinya sakit. Mulai  tukang ojek, tukang becak, sopir angkot, tokoh masyarakat dan pejabat dari berbagai instansi. Ibu-ibu PKK, ibu-ibu darma wanita, ibu-ibu anggota arisan, juga ibu-ibu anggota perkumpulan salawatan. Tentunya mereka menemui istri majikan.
” Kasihan ya, Bapak, untuk membela rakyat sampai harus menderita seperti ini ”, kata istri seorang  pejabat sebuah jawatan kepada istri majikan. Istri-istri yang lain hanya mengangguk-angguk.
 Mereka semua datang dengan membawa berbagai macam bawaan. Ada yang membawa obat gosok yang mujarab, ada yang membawa buah-buahan, ada yang membawa makanan, yang tentunya berharga mahal. Tentu saja mereka tidak lupa  menyelipkan nama dan nomor telepon mereka disetiap bungkusan yang mereka bawa yang disertai beberapa kalimat pengharapan, semoga majikan cepat sembuh.  Mereka datang silih berganti, kalau tidak pagi, mereka datang siang atau malam hari. Begitu terus sampai hari kelima, dua hari menjelang hari pengumuman hasil pemilu kepala daerah. Hanya Maruto dan Sugio yang tidak kelihatan datang membezuk. Setelah lewat lima hari sejak hari pemilihan, kaki majikan belum juga sembuh.
Warga   mulai menduga-duga siapa yang bakal tampil sebagai pemenang. Koran lokal memuat analisis dan komentar dari  para pengamat. Masing-masing  mengemukakan pendapat dan komentarnya sesuai dengan sudut pandang masing-masing.  Stasiun televisi lokal menayangkan acara yang membahas pelaksanaan pemilihan dan perkiraan siapa yang akan tampil sebagai pemenang. Berbagai tokoh dijadikan nara sumber, diminta untuk menyampaikan  hasil kajian dan analisisnya. Warga disetiap kesempatan selalu membicarakan pemilihan yang baru saja mereka alami. Berbagai tanggapan kepada masing-masing tokoh mereka lontarkan.
Hari yang ditunggu-tunggupun tiba. Panitia pemilihan daerah mengumumkan hasil pemilihan. Pengumuman berisi lengkap dengan perolehan suara masing-masing calon. Ternyata majikan  memperoleh suara terbanyak dibandingkan calon lain. Maka majikan tampil sebagai pemenang, sebagai pemimpin rakyat di daerah kami periode mendatang. Begitu mengetahui sebagai pemenang, majikan gembira luar biasa. Berkali-kali mengucapkan syukur. Sayapun dipanggilnya.
”Mukidi, ternyata tidak sia-sia perjuangan kita. Rakyat sudah cerdas menentukan pilihannya”, kata majikan. ”Kita tidak boleh menyakiti hati mereka”, lanjutnya lagi.
Hari untuk pelantikanpun sudah ditentukan. Segala persiapan sudah dilakukan sejak tiga hari lalu. Mulai menjahit jas baru, mencetak undangan, memesan makanan serta persiapan tempat untuk pelantikan. Tidak  ketinggalan persiapan keamanan pada saat pelantikan nanti. Mobil dinas barupun sudah dipersiapkan.
”Sekarang kita mulai babak perjuangan baru”, kata majikan ketika pulang dari dari gladi bersih pelantikan.  
Pejabat pusat yang akan melantik majikan sudah tiba. Para undangan sudah datang memenuhi gedung pertemuan umum, tempat dilangsungkannya pelantikan. Majikan dan istri awal-awal mempersiapkan diri. Majikan mengenakan jas terbaru, begitu pula sang istri mengenakan kebaya dengan motif dan model terbaru. Selama di perjalanan majikan selalu melambaikan tangan kepada setiap warga yang berpapasan.  Sesampainya di gedung tempat pelantikan, mereka langsung memasuki ruang pertemuan utama. Majikan selalu menoleh kekiri dan kekanan. Menyapa setiap undangan dengan senyum yang ramah.
Acara demi acara berlangsung dengan lancar. Majikan dengan lancar mengucapkan sumpah dan janji yang dibimbing oleh seorang rohaniwan. Setelah pelantikan selesai, dilanjutkan dengan ramah-tamah. Menjelang tengah hari acara pelantikan selesai.
”Kini saatnya untuk menikmati hasil perjuangan, maka kini saatnya menyusun rencana dan strategi.”, kata majikan diperjalanan pulang dari pelantikan.
Hari ini adalah hari pertama majikan bekerja sebagai pemimpin tertinggi di kota kami. Majikan berangkat ke kantor pagi sekali, belum ada pegawai yang datang. Agenda pertama hari ini adalah rapat dinas dengan segenap jajaran untuk merumuskan kebijakan kedepan. Berbagai usul dan saran dilontarkan oleh semua jajaran. Mulai dari usul kendaraan dinas. rumah dinas, dan pembangunan jalan. Selesai agenda rapat dinas, majikan melakukan inspeksi ke segenap jawatan yang ada di kota ini. Setiap pejabat dan pegawai yang ditemui akan tergopoh-gopoh menyambut.
Sebulan menjadi pemimpin tertinggi di kota kami, majikan mendapat surat panggilan dari kepolisian untuk menjalani pemeriksaan. Majikan dilaporkan oleh pasangan calon yang kalah dalam pemilihan karena diduga melakukan money politik, sehingga memenangkan pemilihan. Untuk menunjukan dan membuktikan sebagai pemimpin yang menjujung tinggi hukum, maka majikan memenuhi surat panggilan tersebut. Didalam pemeriksaan disodorkan setumpuk bukti-bukti pelanggaran yang dilakukan majikan selama mengikuti proses pemilihan. Majikan tidak mengakui semua butki-bukti itu, majikan menganggap ada rekayasa politik untuk menjatuhkan dirinya. Untuk membuktikan kebenaran tuduhan itu, harus dibawa ke persidangan.
”Ternyata ada orang yang ingin mencoba kemampuanku”, kata majikan sepulang dari kantor polisi.
”Kita buktikan di pengadilan, siapa sebenarnya yang bermain kotor ”, gerutu majikan.
Selama persidangan majikan didampingi oleh tiga orang pembela ternama di kota ini. Berbagai argument disampaikan oleh tim pembela majikan. Tetapi majelis hakim tetap pada pendiriannya,  tidak menerima, justru menyodorkan bukti-bukti dan saksi-saksi yang semakin memberatkan majikan. Tidak seorangpun saksi yang meringankan majikan. Jaksa  penuntut umum, menuntut dibatalkannya pemilihan, dan dicopotnya majikan dari jabatannya sebagai pemimpin tertinggi di daerah kami. Dalam setiap persidangan, terlihat calon-calon pemimpin daerah peserta pemilihan yang kalah. Mereka terlihat antusias dalam mengikuti persidangan. Mereka inilah yang melaporkan majikan ke kantor polisi.
Setelah berkali-kali sidang, maka putusan dijatuhkan. Majelis hakim membuat vonis bahwa  pemilihan umum yang telah dilakukan untuk memilih pemimpin daerah dinyatakan batal demi hukum dan majikan dianggap telah melanggar hukum. Oleh
karenanya majikan dijatuhi hukuman kurungan tiga tahun. Begitu mendengar hakim membacakan keputusan, majikan yang semula duduk tenang  dikursi terdakwa, spontan berdiri. Berkacak pinggang, menuju meja majelis hakim lalu mencaci-maki dan mengeluarkan sumpah-serapah kepada majelis hakim, jaksa, pembela dan  semua orang yang ada di ruangan sidang. Majikan seperti orang kesetanan, berjalan berputar-putar di ruang sidang, sambil menunjuk-nunjuk  semua orang yang ada di ruangan itu dan mengucapkan kata-kata kotor. Majikan semakin tidak terkendali, orang-orang yang ada di ruang sidang saling bergumam, dan keheranan.
”Kasihan dia”, kata seseorang.
”Iya, ya”, kata yang lain.
”Itulah akibat tidak jujur, pemimpin kok tidak jujur. Baru sekarang dia merasakan”, sambung yang lain lagi.
”Biar menjadi pelajaran bagi pemimpin yang lain”, sambung temannya.
Hari itu juga majikan dijebloskan ke dalam sel. Istri dan anaknya hanya dapat menangis demi melihat suami dan bapak mereka dimasukkan sel. Sungguh diluar dugaan mereka.
”Rakyat akan tahu siapa sebenarnya yang tidak jujur. Lihatlah nanti, rakyat akan membebaskan pemimpin pilihan mereka”, teriak majikan dari dalam sel.
Koran dan TV lokal pun tidak ketinggalan memuat berita tentang majikan saya. Berbagai tanggapan dan komentar diungkapkan oleh berbagai kalangan. Ada yang tidak setuju, namun tidak sedikit yang setuju. Masing-masing dengan argument dan analisis mereka.
Setelah sepuluh hari mendekam dalam sel, ternyata hanya istri dan anak majikan yang setia membezuk. Tidak satupun warga atau pejabat di kota ini yang menengok. Terakhir kali hanya  Maruto dan Sugio, petugas cleaning service dan satpam di kantor majikan ketika masih menjadi kepala jawatan,  yang datang membezuk. Setelah mengucapkan salam maruto bertanya,
”Bagaimana keadaanya Pak?”. Majikan hanya diam, tanpa ekspresi dan menatap kosong  jauh kedepan. Sejenak mereka berdua saling berpandangan, dengan penuh tanda tanya mereka kemudian pergi meninggalkan ruangan sel. Majikan masih tetap diam. Entah diam karena apa?  

 
++++++++
 
Malik, lahir di Samarinda, 29 Oktober 1967. merupakan guru Bahasa dan Sastra Indonesia di
SMK Negeri I Tarakan, Kalimantan Utara. Alamat sekolah  Jl. P. Diponegoro, RT. I, Tarakan
Kalimantan Timu. Telepon (0551) 21897. Masih menulis cerpen dan mendampingi murid berproses kreatif drama maupun menulis. 



Comments