CERITA PENDEK MAHDI IDRIS, ACEH



Antara Ibu dan Surga


Cerpen Mahdi Idris




            Melihat ibu yang kadangkala duduk di bawah rumah panggung kami sibuk mengayam tikar, atau sesekali duduk di depan jendela sambil menyulam kain kasap, seolah melihat sebuah kitab kuno dengan segala fatwa yang sulit dicerna nalar di dalamnya. Betapa tidak, ibu yang sering  mewanti-wanti kami dengan segala ihwal, pantangan-pantangan, anjuran-anjuran, agar senantiasa kami terjauh dari segala malapetaka dan kemalangan nasib, yang tak diketahui kapan datangnya, yang diawali isyarat-isyarat aneh dan di luar akal sehat. Oleh karena itu pula ibu bagi kami adalah muara yang amat dalam, semakin kami dewasa semakin pula tak memahami kedalamannya.

            Aku tak lebih dari itu menerjemahkan seorang ibu, perempuan yang memiliki banyaknya rahim untuk melahirkan teka-teki, yang tak sekadar melahirkan bayi-bayi yang kemudian tumbuh dewasa menjadi anak paling tangguh menelusuri lorong-lorong samar, jelmaan teka-teki yang seolah lahir bersama kami.

            Mungkin karena ibu dianggap pengkhotbah yang paling meresahkan, koarannya serupa rencong tajam yang menusuk dada, secara diam-diam ayah meninggalkan kami. Aku merasa ayah jenuh mendengarkan rambu-rambu yang membuatnya harus menentukan satu-satunya pilihan; menerima perkataan ibu, atau bertengkar dengannya.

Aku masih ingat ketika aku berusia lima belas tahun, ayah sedang menanam sebatang pohon sawo di depan rumah kami. Ibu melarang ayah menanam pohon sawo di depan rumah, apapun alasanya, walau hanya sekadar untuk berteduh di bawah kerindangannya.

            “Tidak baik menanam sawo di depan rumah. Karena akan menyebabkan penghuni rumah ini bertengkar, atau bakal terjadi sesuatu yang membuat kita tak pernah tentram berada di dalamnya,” jelas ibu sambil mendekati ayah, dengan tatapan yang amat tak menyenangkan.

            “Siapa bilang, begitu?”

            “Bacalah kitab Seribu Petunjuk Duniawi!” sahut ibu dengan lantang.

            “Pergi sana! Ini bukan urusanmu!” bentak ayah.

            Namun ibu masih juga bersikeras mempertahankan sikapnya dengan egois, yang menurutku agak berlebihan. Meskipun ayah sudah membentaknya, ibu tetap berkacak pinggang di hadapan ayah. Dan saat itu aku tak mampu berbuat apa pun, selain beranjak meninggalkan kedua orangtuaku yang terus berseteru hebat.

            “Tidak bisa!” kudengar bentakan ibu ketika aku sudah berada dalam rumah. Kemudian ayah mengalah, sebatang pohon sawo itu tak jadi ditanamnya, seiring kepergiannya secara tiba-tiba. Aku tak  melihat lagi ayah di rumah kami. Tidak pula sesobekan bajunya. Tidak pula sejumput abu rokoknya yang seringkali bertebaran di mana-mana, kami akan mengira di situlah ayah menghabiskan waktu yang lama sesuai dengan tumpukan abu rokoknya itu.

Tak ada yang menyangka jika ayah benar-benar pergi secepat itu. Aku sendiri tak pernah melihat ayah sebelumnya serapuh itu. Biasanya ayah hanya terkekeh mendengar celoteh ibu. Wajahnya tetap menunjukkan ketulusan meskipun sikap ibu bagai serigala betina kehilangan anaknya. Namun saat itu, semua berjalan di luar dugaan.

            “Bagaimanapun ibu, surga tetap di bawah telapak kakinya,” ujar Fatimah kakakku.

            Aku mengerti, perkataan Fatimah mengisyaratkan agar kami senantiasa tidak marah pada ibu. Bahkan tak seiris dendam pun tergores di hati, selain merelakan apa saja yang ia putuskan, seolah sang hakim sedang memukul palu di persidangan. Tapi kami tak mampu menyimpan kepiluan atas kepergian ayah karena fatwa ibu yang meresahkan itu. Ayah bagi kami ibarat sebatang angsana yang rindang, tempat teduh kala musim panas dan gersang, di mana kami mencurahkan perasan saat ibu berang akibat kami mengabaikan larangannya. Ibu sering melarangku mandi di sungai pada sore hari karena akan dirasuki iblis penunggu sungai, dan melarang Fatimah duduk di ambang pintu saat pagi hari karena akan sulit mendapat rezeki bagi keluarga kami. Selain itu, sangat pantang bagi perempuan duduk di ambang pintu pula, sebab, akan menyulitkannya dalam melahirkan kelak.

            Memang harus kuakui, bahwa ibu paling tidak senang dengan segala hal yang baru. Adat dan resam zaman kakek-nenek kami mesti dipertahankan. Ibu tak mau minum air mineral, yang setiap minggu aku bawa pulang ke rumah, karena menurut kami lebih terjamin bersih daripada minum air sungai yang sudah tercemar dengan berbagai limbah industri yang hanyut dibawa arusnya. Ibu juga tidak mau makan nasi yang ditanak alat pemasak listrik, katanya, sangat berbahaya bagi kesehatan. Jika kakakku Fatimah memasak dengan alat itu, harus pula memasak lain untuk ibu, di atas tungku, yang dibawahnya kayu dan reranting kering. Kata ibu, nasi yang dimasak dengan kayu bakar beraroma sedap dan enak.

***  

            Kepergian ayah seolah tak terbeban bagi ibu yang mulai hidup dengan kesibukan bekerja untuk membiayai sekolah kami, aku dan Fatimah kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta di kota kami. Setiap hari ibu harus mengatur waktu. Setengah hari pergi ke kebun pinang dan setengah hari berada di rumah menyulam kain kasap atau menganyam tikar. Kami membantu ibu hanya pada hari libur. Namun bagiku, kepergian ayah amat menyengserakan, melihat ibu yang tak hentinya membanting tulang, mengucur keringat dari terbit fajar sampai menjelang tidur malam.

            Ketika aku mengatakan ingin berhenti kuliah, biar kakakku saja meneruskannya, karena dia sekarang duduk di semester terakhir, ibu cepat menyela. Ia tak setuju sama sekali akan tindakan bodoh itu. Katanya, jaman sekarang mencari uang bukan lagi dengan banting tulang, ia mencontoh dirinya yang sampai kini harus mengucur keringat mencari makan. Bayangkan, jika dulu ibu sekolah, pasti sekarang hidup tenang dan nyaman, walaupun bekerja pasti tidak di bawah terik panas matahari.

            “Ibu percaya suatu saat nanti kamu pasti sukses. Ibu ingat  betul tanggal kelahiranmu pada dua belas Maulid, yang berarti, apa saja yang kau cita-citakan pasti terkabul. Buktinya Pamanmu, dia lahir sama persis pada masa kelahiranmu. Hidupnya sekarang sudah mapan, bahkan lebih dari cukup,” jelas ibu.

            Ah, memang ibu selalu begitu, ramalan-ramalannya seolah firman yang tepat benar sasaran. Padahal, bagiku, hal itu tak lebih sebagai hiburan belaka. Sesuatu yang amat berlebihan, tak patut dipercaya. Bukankah nasib manusia sebuah rahasia Tuhan?

            “Jadi, kenapa Ibu memilih hidup kita seperti ini?”

            “Hidup tak ada pilihan, tapi mesti dijalani apa adanya.”

            “Tapi kata ibu tadi…”

            “Kata ibu memang benar. Tapi dulu nenekmu tidak pernah mengatakan semua ini pada ibu. Ibu tahu semua ini setelah nenekmu meninggal. Dan kitab itulah satu-satunya warisan darinya. Nenekmu tak meninggalkan apapun. Sedangkan Kakekmu sudah meninggalkan kami pada usia ibu sepuluh tahun?”

            “Meninggalkan dunia, maksudnya?”

            “Bukan. Tapi dia pergi setelah bertengkar dengan nenekmu. Waktu itu nenekmu melarangnya berlaut pada hari kelima bulan Haji. Sebab pada hari itu masih dilarang berlaut, boleh berlaut  sesudah hari ketujuh,” jawab ibu, “Setelah itu kakekmu tak pernah kembali. Ibu yakin, ia mati di laut.” Matanya berkaca-kaca. Seolah ada kenangan  pahit dan menyedihkan dalam ingatannya.

***

            Percayalah, bahwa kesohoran ibu sebagai peramal mulai terdengar di seantero kampung, bahkan, sampai sekecamatan. Sebelum itu hanya satu atau dua tetangga yang meminta petunjuknya untuk melangsungkan hajatan hidup mereka, seperti meminta ramalan untuk penetapan hari baik  pada acara perkawinan. Ibu seolah sang bijak yang dimintai segala petuah dan anjurannya.

Saban sore, orang-orang berdatangan ke rumah kami, mulai petani sampai orang berpangkat. Bahkan, kata ibu, ada calon bupati yang datang meminta petunjuknya  agar terpilih pada Pilkada tahun ini. Luarbiasa. Aku menggeleng-geleng kepala. Hanya Fatimah-lah yang mulai sibuk melayani tetamu pasien ibu. Ia harus membuat kopi atau teh, menghidangkan ke hadapan mereka, dinikmati sembari menanti giliran untuk diramal.

Fatimah semakin terbiasa dengan pekerjaan  yang ia peroleh dari ketenaran nama Ibu sebagai sang peramal ulung itu. Bahkan, ia semakin cekatan, tidak lagi lamban mengerjakan tugasnya. Padahal dulu, kakakku itu sangat lamban, gaya berjalannya saja seperti siput. Hingga sering dibentak ibu karena mencuci piring seember saja  menghabiskan waktu hampir setengah hari. Piring-piring itu seperti bukan dicuci atau digosok dengan buntalan benang jaring yang diolesi sabun colek, tapi dielus layaknya seorang anak yang sedang membelai kucing kesayangannya.

Kini Fatimah benar-benar telah berubah, seiring  melajunya waktu. Dia telah menjadi  gadis dewasa  yang mengerti benar dengan pekerjaan dan tanggungjawab, sebagaimana para gadis teman-temannya, yang terus saja bekerja tanpa mengindahkan keterbatasan sebagai perempuan dan adat istiadat nenek moyang, bahwa perempuan itu hiasan bagi rumah mereka, sang pemilik rumah yang senantiasa menjadi citra bagi penghuninya, rumah adalah surga bila tersentuh tangan lembut seorang perempuan. Bagi Fatimah, tidak demikian lagi halnya. Dia telah mengganti Ibu dalam segalanya, bukan saja menghidangi minuman para tamu. Tapi, datang musim tanam padi, dia pun menggantikan Ibu untuk menanamnya. Semua yang dilakukan Ibu dulu, kini berpindah padanya. Fatimah tak bisa menyelesaikan kuliahnya. Tinggallah aku yang hidup secara normal, saban hari kuliah, pergi pagi dan pulang sore.             

Surga di bawah telapak kaki Ibu, sebuah kalimat yang amat keramat bagiku. Jangan kau kasari ibumu, meskipun dengan perkataan ”ah” sekalipun, dan berkatalah padanya dengan perkataan yang  mulia, bunyi sebuah ayat yang disampaikan guruku terngiang sampai kapan pun, seolah paku yang tertancap kuat pada dinding beton. Sehingga apapun yang dikatakan Ibu, aku tetap menurutinya. Tak pernah kusanggah sekalipun. Kubiarkan segalanya mengalir bagai air yang mencari celah dan dataran terendah, bahkan kemudian ia kering dihisap tanah kerontang.  Begitu pula kemudian terjadi. Ibu terserang kencing manis, Fatimah menderita penyakit tipes. Tapi Ibu kemudian meninggal pada malam tahun baru Masehi, setelah kaki kanannya diamputasi.

Sepeninggalan Ibu, Fatimah makin menderita, selain penderitaan tubuhnya yang semakin aus, tinggal kulit pembungkus tulang. Bahkan dia hanya terbaring lemah di pembaringan, menanti sesuatu yang akan datang dan meninggalkannya, yang lambat-laun dia merasa ajalnya semakin dekat. Dia seringkali berkeluh-kesah padaku, bahwa dia menyesal menuruti kehendak ibu. Seandainya dulu dia menyelesaikan kuliah, tentu kini dia sudah bekerja. Dia tak bakal menderita seperti ini. Tapi perkataannya itu segera kutanggap, ”Surga ada di bahwah telapak kaki ibu, apakah kau lupa?” Lalu dia pun diam, bahkan tak pernah lagi mengatakan penyesalannya, sampai dia meninggal dunia pada hari keseratus kematian ibu. Dan aku sangat berharap suatu saat nanti bermimpi dan dalam mimpi itu aku melihat Fatimah bersama ibu, sedang duduk di sebuah taman surga yang telah dijanjikan Tuhan untuknya. Namun bertahun-tahun lamanya aku menunggu Fatimah datang dalam mimpi, tak jua muncul. Malah pada suatu pagi, ayahku yang dulu pergi karena perseteruan hebat dengan ibu, kembali pulang menemuiku.

                                                      (Tanah Luas, 4 Agustus 2011 – 15 Januari 2012)











+++++++

Mahdi Idris lahir di desa Keureutoe Kec. Lapang, Aceh Utara, 3 Mei 1979. Menulis cerpen dan puisi, pernah dimuat di Serambi Indonesia, Harian Aceh, Aceh Independent, Majalah Potret, Tabloid Narit, Lintas Gayo, Jurnal Seni Kuflet, Acehcorner.com, Korandigital.com, Waspada, Medan Bisnis, Pikiran Merdeka, Suara Pembaruan, Majalah Sastra Sarbi, Radar Seni,  Tabloid Uswah, dan The Atjeh Post. Cerpen dan puisinya juga terhimpun dalam Antologi Kerdam Cinta Palestina (2010) Sesayat Munajat Doa (2011), Eptaf Arau (2012) Narasi Tembuni (2012) Ayat-Ayat Ramdhan (2012) dan beberapa antologi bersama yang akan etrbit. Naskah kumpulan puisinya Nyanyian Rimba memenangkan juara II pada sayembara Puskurbuk Kemendikbud 2011. Kumpulan cerpennya yang telah terbit Lelaki Bermata Kabut (Cipta Media, 2011). Kini aktif sebagai sekretaris umum FLP Lhokseumawe dan  Balai Sastra Samudra Pasai. Menetap di Tanah Luas, Aceh Utara.

Comments