CERITA PENDEK EISTA SWAESTI, PURWOREJO, JAWA TENGAH



Laras dan Burung-burung Kertas

Cerpen Eista Swaesti


Laras menatap kotak berbalut kertas kado berwarna biru. Kotak itu berisi origami berbentuk burung berjumlah 99. Air matanya perlahan meleleh mengenang cerita di balik origami tersebut. Ada banyak cerita mewarnai setiap burung-burung kertas yang ia buat. Namun cerita itu telah terputus pada hitungan ke-99. Ia tak sanggup meneruskannya sendiri, walau hanya kurang satu. Terlalu sakit baginya untuk melanjutkan. Lagipula, kepada siapa ia akan memberikan seratus burung kertas itu nantinya?
Beribu peristiwa makin melayang dikepalanya. Senja kali ini, telah membawanya kembali menapaki kerinduan yang pernah ia rasakan. Selalu mengasyikkan memandang senja di atas bukit. Dulu. Namun sekarang hanyalah hampa yang dapat ia rasakan. Ia merasa harus memaksa keikhlasannya untuk rela melepas semua keping kenangan di balik senja dan burung-burungan kertas yang tak pernah genap, tapi Laras tetaplah Laras yang tidak bisa memaksa perasaannya. Ia menjadi bangkit dan terpuruk kembali karena masa lalu.
Senja makin turun, tapi Laras belum juga ingin beranjak. Dia sangat menikmati kesendiriannya bersama sekotak origami yang masih digenggamnya. Dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan terhadap benda itu. Akhirnya, Laras membuka satu per satu lipatan burung. Ia baca tulisan di dalamnya. Semuanya berisi kalimat motivasi. Lipatan pertama dibukanya, “ Matahari selalu ada di dalam hatimu untuk membakar kemalasan hingga menjadi semangat”. Laras tersenyum. Kemudian dibukanya lipaatan kedua, ketiga, dan seterusnya. Sampai lipatan terakhir, lipatan ke 99, Senyum Laras menjadi kecut. “Cinta ini hanya sebatas khayalan.” Laras ingat, Rino-lah yang menuliskannya sebelum mereka berpisah.
***

Masih terbayang dalam ingatannya awal pertemuannya dengan Rino. Di bukit inilah pertama kali mereka bertemu. Sejak kecil, Laras memang suka bermain-main di atas bukit yang letaknya tak jauh dari rumahnya. Waktu itu, sepulang sekolah dia langsung ke bukit dan melakukan kebiasaannya bila sedang marah atau sedih. Menangis dan berteriak. Kedua hal itulah yang membuatnya tenang. Ketika dia sedang melakukan ritual rutinnya, tanpa disadari sudah ada seorang laki-laki yang berdiri di belakangnya. Tentu saja Laras terkejut, karena selama bertahun-tahun dialah sang pemilik bukit ini.
“Sudah lega? Memang terasa melegakan ketika kita sudah melepaskan seruruh beban dengan berteriak,” katanya sambil menatap Laras yang masih terheran-heran.
“Oya, kenalkan, aku Rino. Kamu?” dia memperkenalkan diri dan bertanya, ketika Laras masih belum mampu membuka mulutnya.
“Laras,” jawabnya pendek. Kemudian mengikuti Rino duduk di tepi bukit. Laras masih memandangnya dengan aneh.
“Sejak kapan kamu berada di belakangku?” tanya Laras penuh selidik.
“Hai, santai saja. Aku tidak bermaksud untuk mengikutimu kok,” jawabnya sambil tertawa. “Aku sudah berada di sini sejak kamu sering kemari,” lanjut Rino dan pernyataan itu membuat Laras terkejut. Bagaimana mungkin dia sampai tidak tahu ada orang lain berada di bukit yang sama? Padahal dia sering berlari mengelilingi bukit sambil berteriak-teriak.
“Tapi, aku selalu bersembunyi ketika kakimu mulai menapaki rumput di bukit ini,” lanjut Rino lagi ketika Laras tidak berkomentar.
Laras bingung. Akankah dia marah karena kehadiran Rino sungguh mengusik ritual sucinya? Namun, sisi hatinya juga berkata bahwa Rino adalah orang  yang dikirimkan Tuhan untuk menemaninya bercerita dan menikmati senja di bukit.
Akhirnya, Laras dan Rino menjadi teman dekat. Mereka sering melakukan ritual bersama-sama. Mereka menamai bukit itu, bukit pencerahan. Karena bukit itu membawa pencerahan pada mereka berdua. Setelah selesai, biasanya mereka duduk dan bergantian bercerita. Anehnya, masalah mereka selalu sama. Dan ketika senja mulai turun, mereka selalu menutupnya dengan membuat burung-burungan dari kertas lipat. Namun sebelumnya, mereka menuliskan kalimat-kalimat mutiara yang mereka temukan selepas senja. Kemudian menyimpannya di kotak yang dipersiapkan Laras dari rumah. Selalu begitu setiap Laras datang.  
Suatu saat, Laras tidak bisa datang ke bukit. Ibunya mulai curiga dengan tingkah laku Laras yang makin terlihat aneh setiap pulang dari bukit. Laras mulai suka tersenyum sendiri sambil memandangi kotak berisi burung-burung kertas yang berwarna-warni. Laras tidak pernah bersikap seperti itu semenjak Ibu dan Bapaknya selalu bertengkar membicarakan perceraiaan mereka. Laras selalu murung dan langsung menuju kamar setiap sepulang sekolah, tapi kali ini, Laras berubah 100%.
“Laras, Ibu perhatikan, kamu selalu ceria sepulang sekolah. Ada apa sebenarnya? Apa ada hubungannya dengan burung-burung kertas itu?” tanya ibu penuh selidik.
“Ibu tidak akan mengerti. Percuma Laras cerita. Sudahlah, ibu urus saja perceraian ibu dengan bapak. Pokoknya, setelah ibu dan bapak cerai, Laras ingin tetap tinggal di rumah ini. Titik. Sekarang, tolong izinkan Laras pergi ke bukit. Hanya bukit itu yang mengerti Laras!” pinta Laras. Namun ibunya tetap tidak mengizinkan dan mengunci Laras di dalam kamar. Laras kecewa, marah, dan kesal. Hanya menangis sambil mendekap kotak burung-burungan itu. Tiba-tiba jendela kamarnya diketuk perlahan.
“Rino!” pekik Laras tak percaya. Dengan cepat tangan Laras membuka jendela kamarnya.
“Hai, sejak kapan kamu tahu rumahku? Kamu gila ya, nanti kalau ibu tahu, bisa mampus kita!” serobot Laras setengah berbisik.
“Itu tidak penting. Sekarang yang penting, kamu ikut aku. Aku tahu kamu ingin sekali pergi ke bukit. Kita ke sana sekarang,” ajak Rino sambil menarik tangan Laras untuk cepat-cepat loncat dari jendela.
“Tapi, Ibu….,” Laras tak sanggup meneruskan kata-katanya karena dia telah loncat dan berlari mengikuti Rino sambil membawa kotak burung-burung kertas.
Sementara itu, di balik pintu, diam-diam ibu mendengarkan percakapan Laras entah dengan siapa. Ibu langsung membuka pintu ketika mengetahui Laras akan pergi. Namun terlambat, Laras sudah berlari dan mengacuhkan panggilan ibu. Sejenak ibu tersadar, bahwa Laras berlari sendirian. Di mana orang yang bercakap dengan Laras tadi? Tanpa pikir panjang ibu langsung mengikuti Laras ke bukit.
Ketika sampai bukit, ibu sangat terkejut melihat kondisi Laras. Laras memang tidak sedih dan tidak melakukan hal yang ditakutkan, bunuh diri. Namun, Laras berlari mengelilingi bukit sambil berteriak dan tertawa lepas. Sendirian. Ibu tidak melihat ada orang lain di sekitar Laras, meski Laras terlihat sedang berbincang. Lebih terguncang lagi, ketika Laras bercerita sendiri sambil membuat burung-burungan dari kertas lipat.
“Laras!” Jerit ibu. Ibu sudah tidak tahan melihat apa yang dilakukan Laras. Laras terkejut dan memandang ibu dengan takut.
“Mungkin, sudah saatnya aku pergi,” kata Rino kemudian.
“Tidak Rino, kamu akan tetap di sini bersamaku. Kita akan menjelaskan pada Ibu.”
“Belum saatnya. Aku janji, bila sudah saatnya, aku akan bersamamu. Namun, untuk saat ini, aku harus pergi, Laras. Kalau kamu sayang padaku, biarkanlah aku pergi,” Kata Rino sambil beranjak pergi meninggalkan Laras.
“Kamu jahat, Rino! Katamu, kita akan terus bersama-sama! Katamu kamu akan membantuku keluar dari semua masalahku! Katamu kita akan menyelesaikan burung-burungan kertas ini sampai seratus jumlahnya. Tinggal satu, Rino! Kita akan menyelesaikannya kan? Apa ini yang dinamakan sayang? Sayang tidak akan meninggalkan seseorang sendirian! Rino…..!!!” jerit Laras yang sudah berada dipelukan ibu. Laras menangis dan mencoba berontak dari pelukan ibu.
“Laras, ayo kita pulang…,” ajak ibu sambil terus membujuk Laras sambil ikut menangis.
Akhirnya, Laras mau pulang. Sampai di rumah, Laras langsung masuk kamar dan duduk di tepi tempat tidur. Menangis sambil memandangi sekotak burung-burung kertas. Ibu ikut menangis memandangi Laras. Ibu tidak tahu apa yang harus dilakukannya selain menghubungi temannya. Seorang psikolog. Ibu yakin dia akan membantu memulihkan Laras dari penyakitnya.
“Laras, siapa Rino? Apa dia sangat berarti bagimu?” tanya Dokter Lina.
“Rino jahat, Tante. Dia bukan teman Laras lagi. Dia meninggalkan Laras di saat Laras sangat membutuhkan dia. Padahal dia sudah janji kalau dia akan selalu ada buat aku. Dan burung-burung kertas ini.., kami juga janji akan menyelesaikannya bersama sampai seratus. Namun dia ingkar janji. Dia juga ingkar terhadap bukit pencerahan kami. Bukit di mana kami selalu bercengkrama dan melakukan ritual bersama. Menangis dan berteriak. Membuang semua masalah,” kata Laras sambil menitikkan air mata.
“Laras sadarlah, Rino itu tidak ada! Rino itu tidak nyata! Kalau Rino nyata, Ibu akan melihat dia saat kamu bercengkrama dengannya di bukit. Kalau Rino nyata, Ibu akan mencegahnya saat dia akan pergi meninggalkanmu. Namun Ibu tidak melakukannya, karena Ibu tidak melihatnya. Rino cuma ada di dalam pikiran dan khayalanmu…” potong ibu tidak sabar. Dokter Lani berusaha menenangkan ibu.
“Tidak! Rino itu nyata! Dia  selalu bersama Laras disaat Laras bermain di bukit. Rino yang selalu menghibur Laras di saat Ibu tidak memperhatikan Laras, karena sibuk dengan urusan perceraiaan itu!” jelas Laras menentang perkataan ibu.
Sejenak, mereka terdiam. Laras menjadi semakin resah karena merasa tidak dipercaya. Kemudian dia berharap Rino datang membantunya. Ya, inilah saatnya Rino datang, kalau dia menepati janjinya. Laras memutar matanya ke arah bukit. Dan Laras melihat Rino memandangnya dari kejauhan.
“Oke, Laras bisa buktikan kalau Rino itu nyata. Ibu, Tante, coba lihat ke arah jalan menuju bukit itu, Rino ada di sana sedang memandang ke arah kita,” kata Laras sambil menunjuk arah di mana Rino berdiri.
“Ibu tidak melihat siapa pun, Laras..” isak ibu.
“Tante…,” kata Laras memandang Dokter Lani.
“Laras, mungkin memang benar Rino ada di sana, tapi Rino hanya ingin terlihat oleh kamu saja. Kalau dia benar-benar ingin menepati janjinya, dia akan datang ke sini. Namun, dia tidak melakukannya, karena dia sebenarnya sudah berada di dalam hati dan jiwa kamu. Dia adalah pancaran dari sisi jiwa kamu yang lain,” kata Dokter Lani lembut.
“Tidak, Tante! Rino itu ada. Nyata! Rino adalah….,” Laras tak bisa meneruskan kata-katanya, karena Laras tak melihat lagi sosok Rino berdiri di sana. Hanya butiran-butiran air hujan yang turun menderas.
“Aaaaaarghh……!!!” Laras berteriak menyaingi hujan yang semakin deras mengucurkan airnya.
***
Laras masih terpaku memandangi kotak berisi burung-burungan kertas berwarna warni itu dalam genggamannya. Sekarang ia benar-benar sendiri. Rino tak lagi hadir dan tak akan pernah diizinkan hadir, karena Laras telah benar-benar sadar, bahwa Rino adalah khayalannya. Tiba-tiba muncul kemantapannya untuk membuang seluruh burung-burung kertas itu. Laras telah bersiap melepaskan kotak itu untuk terjun ke bawah, tetapi tangannya terhenti karena panggilan ibunya.
“Laras, Ibu ingin memperkenalkanmu dengan seeorang,” Laras membalikkan tubuhnya melihat siapa yang datang bersama ibunya.
“Rino!!” sesaat Laras terpekik melihat orang yang datang bersama ibunya. Laras mencoba menggeleng-gelengkan kepalanya. Namun ibu dan orang itu semakin mendekat.
“Hai, aku Arian,” katanya memperkenalkan diri sambil menunjukkan burung-burungan kertas di tangannya dan memasukkannya ke kotak yang masih digenggam Laras.
“Dia putra sahabat Ibu waktu kuliah,” lanjut ibu. Namun, Laras masih terdiam memandang ibu dan Arian bergantian, seakan tak percaya dengan apa yang terjadi. Arian begitu mirip dengan Rino.
“Aku sakit, Ar.....” kata Laras pelan saat mereka hanya berdua saja di bukit.
Arian menghela nafas, “Kamu tidak sendiri. Aku juga mengalami peristiwa yang sama. Namun aku selalu meyakinkan diriku sendiri bahwa semuanya tak nyata. Semua adalah khayalanku.”
“Bagaimana aku bisa yakin kalau kamu nyata?” tanya Laras.
“Lihat mereka,” jawab Arian sambil menunjuk keberadaaan di mana ibu mereka sedang memperhatikan Arian dan Laras dengan tersenyum.
“Mereka melihat kita dengan mata yang nyata.” Laras mengikuti dengan pandangan matanya.
Kemudian Arian mengambil satu lembar kertas lipat dan pulpen ia menuliskan sesuatu di atas kertas lipat itu. “Cinta hanya bisa dilihat dengan mata yang nyata bukan khayalan.” Lalu Arian melipat kertas itu menjadi sebuah bentuk burung kecil dan meletakkannya di kotak yang ada ditangan Laras.
Sekarang burung-burung kertas yang berada di dalam kotak yang digenggamnya sudah genap seratus. Dan Arianlah yang berhasil menggenapinya. Menggenapinya dengan kenyataan. Laras tidak tahu apa yang akan dia perbuat, yang jelas dia menjadi urung membuang kotak berisi burung-burung kertas tersebut.



+++++++
Eista Swaesti kelahiran 29 April 1987 berasal dari Kutoarjo, Purworejo ini bergabung di Sanggar Kalimasada Kutoarjo, sebuah sanggar kepenulisan sastra, sejak tahun 1997. pernah aktif di Sanggar Kurusetra FBS UNY, Karangmalang, Yogyakarta.

Comments