Oleh Muhammad Thobroni
(Penjaga Kandang Kelinci dan Pecinta Kebun)
Umumnya buku bacaan terbit di dunia ini haruslah memiliki nomer seri. Sebab semua hal yang "beranak-pinak, bertambah-banyak, dan berbudidaya", perlu diberi nama atau identitas tertentu. Nomer seri barangkali pilihan paling mungkin dan mudah dirumuskan. Tujuannya untuk pengenalan setiap buku terbit. Semacam nomer induk siswa, nomer induk sekolah, nomer induk penduduk, atau semacamnya.
Tapi, bagaimana bila sebuah buku diterbitkan tanpa ISBN? Atawa nir-ISBN? bagi banyak penulis hal itu bukan masalah. Mereka yang penting naskah dihonori. Penerbit apalagi. Mungkin tambah tak peduli. Bagi mereka yang penting buku laris manis. Kalau perlu sebelum terbit sudah diinden banyak orang meski hanya diiming tanda tangan basah.
Buku diterbitkan nir-ISBN sebenarnya sangat merugikan. Negara menjadi pihak paling dirugikan bila setiap buku di wilayahnya terbit tanpa ISBN.
Negara rugi besar tidak punya kesempatan merumuskan, mengawal dan mengkontruksi perkembangan intelektual rakyatnya di masa kini dan mendatang.
Buku-buku akan terbit bebas sesuai pikiran penulis. Penulis akan menulis apa saja. Yang dibutuhkan dan dimaui masyarakat pembaca. Tidak punya beban harus bertanggung jawab secara intelektual kepada negara. Pembaca juga bebas merdeka. Menekan penulis dan penerbit dengan buku sesuai hasrat. Mereka akan beli buku yang dimaui. Dan mengabaikan buku yang tidak sejalan hati dan pikiran. Sederhana. Penerbit juga lepas. Bisa pilih naskah, penulis, dan cara berjualan semacam apa. Penting buku laris, pemasukan deras, cashflow surplus, dan bisa bikin cabang penerbit plus reseller di mana-mana.
Negara kehilangan jangkauan untuk turut serta mendokumentasi dan mendesiminisi khazanah intelektual yang lahir di Indonesia. Sebab penerbit dan penulis tidak berkewajiban melaporkan dan mengirimkan buku mereka ke negara. Begitu pula di daerah, penulis, penerbit dan komunitas tidak perlu menitipkan buku mereka ke negara agar dapat dibaca orang lain.
Dampak lain dari situasi ini ialah intelektualitas tidak terwariskan secara baik. Pewarisan khazanah keilmuan Indonesia bakal ambyar. Dan hubungan intelektualitas antar generasi ke generasi jadi terputus. Generasi masa depan tidak butuh intelektual masa kini untuk belajar. Apalagi belajar kepada intelektual yang datang dari masa silam.
Tapi, masalah intelektualitas dan pewarisan nya untuk generasi muda ini bukannya memang hal kurang penting bagi negara. Sehingga sangat mungkin tidak dianggap sebagai sebentuk kerugian.
Kerugian besar lain yang harus ditanggung negara ialah kehilangan peluang merencanakan, memgawal dan mengkontruksi kebudayaan nasional dan daerah. Buku ialah produk kebudayaan. Sekaligus media transmisi kebudayaan. Banyak orang belajar kebudayaan dari buku. Banyak kebudayaan berkembang lewat buku. Banyak kebudayaan diimajinasi dan dikontruksi lewat buku.
Buku-buku yang terbit tanpa ISBN berlepas tangan dari negara. Budayawan di berbagai daerah terus ikhtiar pengembangan budaya. Baik inovasi dan revitalisasi bersumber budaya lokal atau kreasi budaya baru. Peneliti budaya semangat berburu, menggali, menemukan, menganalisis dan ikhtiar publikasi dengan caranya sendiri. Produk budaya terus lahir dan berkembang. Buku dijadikan media untuk mentransmisikan dan mentransformasikan agar budaya dapat bertahan. Bahkan berkembang. Tanpa ISBN, buku semacam ini bisa menemukan kebebasan.
Mungkin kebudayaan Indonesia pada akhirnya harus merdeka belajar. Atau belajar merdeka. Mereka harus terbiasa hidup tanpa negara. Syukur bisa bertahan dan berkembang. Syukur lagi tidak mati suri. Atau malah mati betulan. Dan lantas dikubur tanpa nisan.
Kemana generasi mendatang nyekar dan ziarah kebudayaan? Sebab tak ada jejak kebudayaan yang ditorehkan. Mungkin hal macam ini juga remeh bagi negara.
Kecuali kerugian yang terakhir ini. Negara mungkin harus bersiap rugi secara ekonomi dari salah satu sumber pajak. Buku terbit tanpa ISBN berarti kebebasan bagi penerbit dan penulis. Tidak ada kewajiban pajak. Padahal pajak penghasilan penulis lumayan besar yakni 15 persen dari royalti. Sementara royalti penulis mungkin kisaran 10 persen dari harga jual buku. Belum lagi pajak perdagangan dari penerbit, toko buku, dan kargo yang bantu distribusi.
Industri kreatif Indonesia juga kehilangan salah satu bentuk kreatif yang paling masuk akal yakni penerbitan buku. Banyak buku akan terbit bebas, tidak perlu ribet dan ribut lapor negara. Tulis, terbit dan jual. Simpel. Hasilnya digunakan untuk makan penulis. Untuk menerbitkan ulang atau menerbitkan lain buku. Atau bikin acara semarak terkait buku. Tapi tanpa pajak masuk ke kas negara.
Betapa gembira dan bahagia rakyat yang hidup di negara semacam itu!
Brangsong, Mei 2022
Comments
Post a Comment