KHOTBAH KANG CHAIRIL: CERITA PENDEK HAIRUS SALIM, YOGYAKARTA



Kang Chairil berdiri agak gemetar. Ia menatap jamaah yang sebagian besar menundukkan wajahnya. Entah sedang tepekur, mendengarkan atau mungkin sedang tidur dengan mimpi indah. Meski spt tak ada yg menatapnya, itu tak membuatnya merasa tenang.

Hingga menaikkan langkah kakinya ke tangga mimbar tadi, ia belum tahu apa yang akan ia sampaikan. Sebuah insiden pecah, khatib yang telah dijadwalkan tidak datang, tanpa kabar berita. Pengurus masjid mengumumkan, adakah yang siap menggantikan untuk memberikan khotbah?

Tak ada yang mengangkat tangan. Tak seorang pun yang beranjak maju ke depan. Khotbah adalah bagian dari ritual jumat yang penting. Ia bukan sekadar presentasi dalam diskusi atau obrolan lepas di meja kopi. Khotbah memiliki syarat dan rukunnya. Tidak semua orang bisa. Tidak semua orang biasa.

Lama terdiam. Orang saling berpandangan. Entah kenapa tiba-tiba Kang Chairil mengacungkan tangan dan maju ke depan. Jamaah sedikit lega. Tapi gemuruh di dada Kang Chairil karena ia belum tahu apa yg hendak disampaikan.

Pujian sudah ia bacakan. Solawat kepada kanjeng nabi sudah ia haturkan. Dan sebuah ayat suci sudah ia sampaikan. Sebagai mantan santri, ia hapal urutan itu semua, dan tentu bisa ia bacakan dengan fasih. Jamaah yang mungkin tadi sedikit ragu karena melihatnya hanya pakai hem pendek, kini jadi yakin. Dari segi bacaan, Kang Chairil, menurut mereka, orang yang pantas berdiri di mimbar itu.

"Ma'asyiral muslimin rahimakumullah... Pada siang ini, marilah kita menghaturkan solawat dan salam kepada nabiyallah Isa bin Maryam, yang baru empat hari lalu, hari kelahirannya dirayakan oleh saudara-saudara kita umat Kristiani..." Seperti ada yang membimbing kalimat itu meluncur dari mulut Kang Chairil.

Ia ingat pesan salah seorang gurunya, khotbah yang baik adalah yang kontekstual. Bukankah baru kemarin Natal. Jadi mengapa bukan tentang Isa, demikian pikirnya.

"Dan hanya dalam hitungan hari, kita akan merayakan pergantian tahun, sebuah sistem penanggalan yang disebut penanggalan Masehi atau Masihiyah dalam Bahasa Arab, yang jelas diambil dari gelar Nabi Isa, gelar yang juga dipakai oleh Quran untuk menyebut nama Nabi Isa."

Sebagian jamaah yang tadi menundukkan kepalanya, kini mendongak, memandang ke arah mimbar, spt hendak mengenali lagi siapa gerangan yang memberikan khotbah.

"Waktu itu seperti peluru. Meluncur cepat tanpa bisa ditarik lagi. Waktu juga kadang laksana debu. Terbang  ditiup angin lalu. Tiba-tiba kita sudah di tahun baru. Kita beranjak tua, umur bertambah, sementara tak banyak karya yang kita buat. Karena itu, beriringan dengan natal dan tahun baru ini, marilah kita merenung, dengan mengambil figur Nabi Isa ini."

Kang Chairil menekankan inti khotbahnya dengan tenang dan perbawa. Ibarat bermain bola, kini ia sudah menemukan irama permainannya dan menguasai lapangan. Tidak canggung dan ragu lagi.

"Dalam suasana sekarang, ketika rasa marah, dendam, dan kebanggaan pada kelompok demikian tinggi, Nabi Isa mungkin menjadi figur yang tepat untuk kita bercermin. Karena Isa adalah seorang yang selalu menjaga hati. Ia selalu lurus, bersih dan terpaut pada Allah. Karena itulah, sebagian para sufi menyebutnya sebagai "guru kaum Sufi."

Hanya suara kipas angin. Tenang dan hening.

"Dalam kitab ihya 'ulumuddin, Imam Al-Ghazali mengutip dialog antara Nabi Yahya, atau di dalam dunia Kristen dikenal sebagai Johanes si Pembaptis, dengan Nabi Isa. Waktu itu Nabi Yahya bertanya, apakah yang bisa mendekatkan seseorang kepada pertolongan Tuhan dan menjauhkan dari Murka-Nya? Lalu Nabi Isa menjawab: "Jauhilah perasaan marah."  Yahya bertanya lagi, "APA yang menyebabkan rasa marah dan mengapa ia bisa berulang?" Nabi Isa menjawab, "rasa bangga, sikap fanatik, kesombongan, dan kemegahan."

Kang Chairil kemudian memberikan sedikit penjelasan pada kutipan tersebut. Ia sangat merasakan berapa  sekarang rasa marah dan permusuhan telah menjadi udara busuk yang telah dihirup sehari-hari.

Penjelasanya kontekstual dengan suasana kekinian, dan para jamaah sangat mengerti dan mafhum, karena ini juga soal lingkungan sosial sehari-hari mereka: rasa benci, marah, mengumpat, dan lain-lain karena perbedaan pilihan politik. Meski Kang Chairil tidak menyebut sama sekali soal pilpres dan pilkada.

Suara Kang Chairil yang tenang Dan isi khotbahnya ternyata telah membangkitkan para jamaah yang mengantuk. Mereka kini ingin mendengarkan lbh serius. Tapi Kang Chairil tak hendak berpanjang kata dan bertele-tele. Khotbah segera hrs diakhiri.

Sebagai penutup khotbah, Kang Chairil kemudian berdoa dengan di antaranya selipkan bagian bait puisi "Al-Masih" karya Djamil Suherman,  yang pernah ia baca bertahun-tahun lampau, tentang kerinduan dan harapan pada figur Isa:

"Tuhan bangkitkan Iman Kami yang redup oleh luka dada kepatahan
dari peristiwa kejora malam yang memancar agung dusun Baitulehem
Pada Hari kebangkitan Al-Masih."

(Ilustrasi foto puisi Djamil Suherman, 'Almasih", yang dimuat di majalah Budaya tahun 1957 dan kemudian di majalah Gema Islam tahun 1961. Di bawah tercatat bahwa puisi ini ditulis pada Natal, 1956. Jelas puisi ini dimaksudkannya sbg hadiah natal {buat umat Kristen}).

Comments