PALU NAN PILU, DONGGALA NAN LUKA: PUISI HERI MULYADI, LAMPUNG



Wajah-wajah itu
pancarkan duka tak berdaya,
kering sudah air mata.

di sini,
tak ada bahtera Nuh saat lidah tsunami menyapu, usai bumi berguncang dahsyat,
rumah-rumah berjalan, tanah-tanah terbelah.

Cuma pilu,
teriak panik, takut mencekam,
kiamatkah? Bumi seakan menggulung tiada ampun.

lalu,
yang tersisa hanya hampa
tatapan kosong.

"makan, makan....
air, air, air....." lamat, lirih terdengar dari mulut-mulut kecil lunglai tanpa kuasa.

mayat-mayat bergelimpangan,
rumah-rumah lebur,
gedung-gedung hancur,
jalan terlipat-lipat,
orang-orang tertimbun lumpur, tanah dan reruntuhan,

jangan kau tanya,
tak cukup kata berkabar.

dan di sana....
lihatlah, di pinggir jalan terlipat itu
setitik jejak hidup memberi tanda,
tubuh-tubuh kecil berbalut lumpur
mengaiskan tangan-tangan mungil,
tanpa jijik, demi sedikit bekas pengganjal perut yang tersisa, ditingkah bau mayat yang mulai menyengat.

Oh, Tuhan....,
takdirkah ini
atau murka yang Engkau tumpah?

aku terkulai
tak mampu tegak di bingkai kuasa-Mu.

"Engkau mengambil apa yang Engkau mau, walau Nuh tak bersama kami."

Palu, 2 Oktober 2018
(Digubah dari status Lismayana, Ketua KKTI yang turun menyalurkan bantuan ke lokasi bencana)

Comments