anto narasoma
MENGHITUNG-HITUNG ASMA-MU DI LIDAHKU
dari butiran zikir
malam membenam dalam batinku
entah, sudah berapa hitungan asma-Mu menjadi orkestra mendayu di batinku.
sejak takbir awal kerinduan itu mengusap-usap mataku dari raut wajah-Mu yang teduh : membasuh tasbih dan tahmid di dadaku
zikir dan tahajud
meleleh dalam sujudku. akupun masih belum menepi dari pencarianku di kedalaman firman-Mu.
Robb, suara rindu ini masih bergetar dalam sejumlah ayat-Mu.
: aku lelah menanti-nanti aroma harum-Mu pada gelaran sajadah penuh kepenatan dayaku.
-- ah, jangan Kau rentangan jarak dariku; dosa dosa keji masih memburu dari belakang perilaku yang terjatuh.
Januari 2018
=======
Puisi penghambaan yang menyentuh. Inilah boleh jadi kesan pertama yang timbul saat kita menyimak puisi ini.
Puisi ini ditutup pengakuan tulus: betapa manusia akan selalu diintai dosa.
Taubat memang sungguh bisa jadi pintu maaf dan pengampunan dari Allah swt. Namun, taubat tanpa disertai kewaspadaan, bukan seratus persen keselamatan.
Dalam puisi ini, di bait penutupnya, aku lirik, terasa amat menyadari hal itu. Maka ia pun menyuarakan lagi kekhawatirannya akan hal itu.
Mari simak lagi penuturannya:
-- ah, jangan Kau rentang(k)an jarak dariku: dosa dosa keji masih memburu dari belakang perilaku yang terjatuh.
Perhatikan diksi yang dipilih Anto Narasoma sebagai penyair.... dosa-dosa keji masih memburu...
Diksi memburu memang lebih tepat dipilih untuk dipergunakan menutup puisi ini--sebagai suatu bentuk puisi penghambaan yang penuh kesadaran, yang ia menjadi jalan pengakuan bagi si aku lirik tentang kedudukannya sebagai makhluk. Makhluk yang berhadapan dengan Al-Kholik: makhluk yang dalam ilmu ma'rifat atau kajian-kajian tarekat acap disebut sebagai "kasbul dhoifun wa dholalah" alias tempatnya khilaf dan salah.
Di sini penyair memilih diksi..... dosa yang memburu.... untuk menyatakan betapa dosa-dosa itu selalu mengintai dan siap menyergap, menjatuhkannya kapan saja--jika ia tidak berhati-hati.
Dosa dalam puisi ini dipersonifikasi sebagai sesuatu yang hidup, sebagai makhluk juga, yang begitu aktif mengintai dan mengejar.
Efek personifikasi dosa sebagai sesuatu yang terus memburu itu, menjadi lebih kuat untuk memberikan pergulatan si aku lirik dengan dosa-dosa yang hendak dilawannya, hendak dijauhi dan ditinggalkannya sebagai suatu bentuk kesungguhan mendekatkan dirinya dengan Al-Kholik.
Efek diksi yang terasa begitu kuat menutup puisi di atas, tentu akan berbeda jika semisal penyair sekadar menuliskannya seperti ini:.... dosa dosa keji masih bertumpuk di belakang perilaku yang terjatuh.
Diksi di atas, kalau semisal itu yang dipilih, terasa kurang kuat menggambarkan pergumulan si aku lirik dengan dosa-dosa yang dipersonifikasi sebagai makhluk itu.
Pemilihan diksi semacam itu boleh jadi disebabkan oleh adanya kesadaran dan pemahaman dari penyairnya sendiri, sebagaimana yang ia pelajari dari sumber-sumber pendalaman agama yang bersangkutan.
Memang dalam kajian ilmu-ilmu hadist atau ilmu-ilmu fiqih yang membahas dimensi amal dab ibadah, hawa nafsu, bisikan syaitan dari kalangan jin, dan lika-liku hidup yang datang berikutnya, bisa jadi membuat manusia--yang tadinya sudah bertaubat--kembali berlumur dosa.
Para sahabat di masa Rasulullah saw pernah mengadukan soal ini. "Wahai Rasulullah, sungguh kami telah menjadi orang munafik."
"Mengapa," tanya Rasulullah kemudian. "Saat kami bersamamu, duduk dalam majelismu, mendengar nasihat-nasihatmu, kami merasa sangat dekat dengan Allah swt, sangat dekat dengan kehidupan akhirat. Namun saat kami kembali dan berkumpul lagi dengan keluarga kami, anak istri kami, kami bersenda gurau, sibuk mengurus keluarga kami. Sampai-sampai kami lalai mengingati akhirat. Lalai mengerjakan perintah-perintah Allah swt."
Begitulah ungkapan para sahabat. Nyaris paralel dengan ungkapan dosa yang selalu memburu, sebagaimana ditegaskan penyair.
Menjawab pengakuan para sahabat tersebut, Rasulullah mengingatkan itulah tandanya iman. Jika kalian memiliki kekhawatiran seperti itu, berarti keimanan masih melekat di dada kalian. Lalu Rasulullah pun menambahkan: "Al imanu yadzidu walyankus. Yadzidu bitho'a walyankussu bilma'siyah. Iman itu bisa bertambah atau berkurang. Bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan."
Sampai pada kondisi ini, penyair terlihat cukup padu menyelaraskan pemahaman terhadap konsep dosa di atas dengan sebab-sebab penambah atau pengurangnya sebagaimana diajarkan dalam kitab-kitab fiqih yang membahas masalah ibadah dan hukum-hukum syariat. Ini tentu tak lepas dari keberadaan penyair sebagai seorang muslim juga, sehingga puisi yang dilahirkannya pun senafas dengan doktrin Islam dalam masalah dosa.
Memang dalam kajian keislaman dosa sesungguhnya bukanlah makhluk, tetapi dia dipahami sebagai akibat dari perbuatan. Karena ia adalah akibat dari perbuatan, maka ia akan lahir dan mengikuti perbuatan. Akan menjadi catatan amal bagi si pelaku. Dosa dimanifestasikan sebagai amal buruk. Lawannya, pahala yang dimanifestasikan sebagai akibat dari amal baik.
Namun tak sepenuhnya salah jika penyair mempersonifikasikan dosa itu seolah sebagai makhluk--sebagai sesuatu yang hidup, yang bisa memburu, mengintai dan mengejar sehingga pergulatan yang ditimbulkan pun lebih kuat. Itulah daya imaji dan kekuatan diksi seorang penyair. Anto Narasoma sebagai penyair yang telah banyak melalui lika liku pengalaman di dunia kepenyairan, memiliki kematangan untuk itu. Puisi ini setidaknya menjelaskan hal itu.
Apalagi dalam kajian hadist yang lain, juga ada penjelasan bahwa di alam kubur nanti, amal perbuatan itu akan menjadi sosok manusia yang menemaninya. Jika ia banyak memiliki amal baik, maka sosok manusia yang menemaninya adalah manusia yang elok rupa, harum baunya.
Sebaliknya, jika banyak amal buruk si mayit, maka sosok manusia yang menemaninya sosok manusia yang buruk rupa, busuk baunya.
Jadi, pilihan personifikasi dosa oleh Anto Narasoma dalam puisi ini, lagi-lagi ada raison de etrat-nya. Wallahu'alam. Tabik.
HERI MULYADI, PENYAIR TINGGAL DI LAMPUNG
Diksi yang sangat indah.... mantap pak Anto
ReplyDeleteDiksi yang sangat indah.... mantap pak Anto
ReplyDelete