Gerimis
malam itu turun melengkapi syahdu.
Gemuruhnya yang lirih seolah menjadi irama yang melantun di kesunyian
malam. Langit sangat gelap, hanya satu dua bintang saja yang menemani. Tengah
malam, 16 mei 2011. Dalam kedamaian malam itulah waktu yang mungkin dipilihkan
Allah SWT untuk mengatarkan jenazah H.M.Satuman dari R.S. Husada Utama Surabaya
ke kediamannya di Bendul Merisi Surabaya. Begitu sunyi, hening dalam
kedamaian. Jalanan sepi, begitu lenggang, tidak ada sedikitpun yang
menghambat perjalanan kami. Sirine mobil ambulance pun tak diperdengarkan.
Hanya gerimis, dan isak tangis kami dalam hati. Di mobil ambulance yang
mengantar jenazah hanya ada kami bertiga,
aku sang menantu, dan kedua anaknya; Dono sang putra kedua, dan Dini putri pertamanya.
Halaman
Depan rumah bendul merisi, tengah malam itu, sudah tertata dan siap menerima
kedatangan jenazah. Keluarga yang menunggu telah menyiapkan banyak hal, dari
ruang yang bersih dan lapang dari sofa-sofa, karpet yang tertata rapi, dipan
kayu dan bunga-bunga untuk jenazah, hingga terop di halaman rumah untuk
pentakziah. Dan juga air mata. Keluarga besar telah kehilangan sosok kakak
tertua dari keenam bersaudara, sosok yang menjadi panutan dari kelima adiknya,
panutan untuk istri, kedua anak dan cucunya. Air mata tak berhenti, meski semua
yang mencoba tegar selalu bilang “sabar”, “yang tabah”, ”sudah, ikhlaskanlah”, dan kata-kata menenangkan lainnya yang
menguatkan hati. Sulit diterima memang, namun ini sudah kehendak Allah, semua
datang pada saatnya, Allah maha tau Dia mengambil almarhum di saat keluarga sudah siap akan
kepergiannya. Hanya detik itu, hari itu, kami masih merasa shock untuk
menghadapi dunia baru yang akan kami lewati tanpa almarhum. Aku kagum pada ibu mertuaku, dia sudah bisa
mengontrol diri dan emosinya malam itu, sangat
tenang hanya lelah yang tampak. Ibu mertuaku,
seorang yang dianggap paling kehilangan almarhum, sejak kebersamaan
mereka 35 tahun yang lalu. Malam itu telah habis sudah air mata dari pelipis
matanya, setelah sejak histeria yang terjadi pagi harinya.
15 Mei 2011
pukul 07.30 pagi saat jantung almarhum berhenti berdetak. Ya...., pagi itu
detak jantung dan nafas bapak terhenti untuk yang
pertama kali. Namun sesuai dengan prosedur Rumah Sakit, bantuan medis tetap diberikan.
Upaya perawat di Rumah Sakit saat itu adalah memacu jantung bapak dengan alat pemacu jantung, dan alhamdulillah Allah masih memberinya kesempatan pada jantung bapak untuk dapat merespon peralatan Rumah Sakit.
Jantung bapak berdetak kembali. Dalam waktu setengah
jam itulah, saat perawat memacu jantung bapak,
ibu begitu histeris, saat kudapati dirinya di ruang perawat rumah sakit, sementara
mbak dini mendampingi bapak di sisi tempat
tidur. Aku langsung menghampiri ibu sementara suamiku
langsung menuju kamar bapak saat kami yang baru
datang tergopoh-gopoh dari rumah bendul merisi (malam itu kami bergantian jaga
malam dengan Ibu dan Mbak Dini, semalam itu kami tidur di rumah bendul, menjaga keponakan kami, Dian).
“nang ndi Abah nduk?”[1]
"Di pindah kamare Abah yo?”[2]
“Pindah kamar yo nduk?”[3]
“Wis lungo yo nduk abah?”[4]
serentetan teriakan pertanyaan ibu yang dibarengi dengan air matanya yang tak
henti. Aku tidak bisa menjawab semua itu, hanya memeluk dan menenangkannya,
sementara jantungku juga berdegup kencang dan seluruh kakiku gemetaran, namun
aku tahu aku harus tenang. Seorang perawat menghampiriku, memberi tahu
bagaimana keadaan bapak, dan persetujuan kami untuk perawatan bapak selanjutnya. Kondisi bapak sangat kritis, jantungnya dapat merespon
peralatan medis namun sangat lemah, satu-satunya jalan adalah bapak harus masuk ruang ICCU untuk perawatan yang lebih
intensif, dengan perhitungan biaya sekian-sekian, aku sudah tidak memikirkan
itu lagi, yang penting Mbak Dini dan Mas Dono setuju, kami tidak menghitung
jumlah berapapun yang harus kami bayar, kami hanya minta perawatan yang terbaik
untuk bapak. Dan siang itu, bapak masuk ruang ICCU.
Satu persatu
keluarga dan kerabat berdatangan. Keluarga bapak
yang di Surabaya yang sudah mengetahui kondisi bapak
sejak pagi yang juga sudah menyiapkan rumah dari kabar ketiadaan bapak pagi tadi, guru-guru
rekan kerja ibu di Probolinggo, keluarga ibu dari
Bojonegoro, keponakan dan cucu, mama dan papaku dari Malang,
hinga rekan kerja Mbak Dini. Semua datang dalam kegalauan dan doa, semua berdoa
di ruang tunggu ICCU, bergantian menengok bapak
dirawat dalam waktu jenguk di ruang ICCU. Pukul 11.00
siang, ada waktu 1 jam untuk melihat kondisi bapak,
namun bergantian masuk satu persatu, selebihnya hanya bisa melihat bapak melalui kaca jendela.
Miris,
sedih, tegang, khawatir, dan rasa takut berkecamuk jadi satu siang itu. Sekian
banyak peralatan medis yang masuk dalam tubuh bapak,
alat bantu nafas, oksigen, infus, pembersih
lambung, saluran kencing, pendeteksi jantung, nafas, tekanan darah, dan banyak
lagi lainnya. Miris melihatnya, kasihan. Pasti itu membuatnya kesakitan, namun hanya itu
satu-satunya jalan bapak untuk dapat bertahan, meski itu membuat
tubuh bapak mengejang tiap beberapa saat. Mbak Dini dan Mas Dono tak henti-hentinya
membacakan doa di telinga bapak, yang saat itu masih
bisa mendengar. ibu yang sudah tenang menguatkan dirinya juga
untuk membisikkan doa di telinga suaminya tercinta, ayah dari kedua anaknya, dan kakek dari seorang cucunya.
Pukul
12.00 waktu jenguk telah habis, seluruh
gorden di ruangan itu ditutup sudah, pintu ruang ICCU juga tertutup kembali
bagi para penjenguk, namun khusus untuk bapak,
kami keluarganya masih diijinkan keluar masuk bergantian membaca surat yasin di samping bapak. Mas Dono tidak henti-henti membaca surat yasin
di samping bapaknya, diulangnya selalu bacaan itu entah
sudah berapa kali. Dia tidak beranjak dari samping bapak, hanya sesaat saat ketegarannya kembali meluruh,
dia pergi menyendiri, menangis, hanya aku terus yang tidak berhenti menggenggam
tangannya mencoba menguatkan dia. Mas Dono hanya selalu merasa bahwa dia belum
sempat membahagiakan bapak, bahwa dia belum
bisa memberi banyak untuk bapak, bahwa dia masih
belum bisa membuat bapak bangga, entah bagaimana aku
menenangkannya, aku hanya bisa bilang “Bapak sudah bangga sama kamu, bapak sudah bahagia kok, lakukan saja apa yang terbaik
sampai kapan pun, karena bapak pasti tau. Dan janji
sama aku, temani bapak sampai waktunya, ya? Kamu harus kuat!”.
Sementara Mbak Dini, sepertinya masih merasa tidak percaya pada apa yang
terjadi pada bapak saat ini sehingga membuat dirinya lemah
dan tak mampu menopang tubuhnya, kesedihan yang mendalam itu membuat dirinya
pingsan. Sama seperti yang dialami beberapa adik perempuan bapak, rasa shock dan kesedihan yang teramat sangat
membuat mereka jatuh pingsan. Namun hanya sesaat, Mbak Dini bisa kembali lagi
tegar, dan ibu duduk di ruang tunggu terdiam, mematuti
kesedihan, segala macam doa tak henti dilantunkannya dalam hati. Kondisi bapak pun lambat laun sedikit bisa menenangkan,
frekuensi kejang sudah tidak lagi sering meskipun masih. Keluarga yang dari
luar kota, satu persatu mulai meninggalkan Rumah Sakit, dan semua berpesan agar
memberi kabar kepada mereka kapan pun jam berapa pun mengenai perkembangan kondisi
bapak.
Menjelang
malam, saat kami sudah pada titik tidak tega lagi melihat bapak tersiksa dengan
puluhan alat medis yang menancap di tubuhnya, dokter
Umi dan beberapa perawat memanggil kami sekeluarga untuk masuk dalam ruang
ICCU. Di sana, dokter Umi menjelaskan
mengenai kondisi bapak yang sudah teramat kritis, hingga bisa
dikatakan sudah dalam kondisi terminal. Hidup bapak
hanya tinggal bergantung pada mesin dan obat saja, jika semua dihentikan, hanya
tinggal kemampuan bapak sendiri untuk bertahan. Dokter Umi
menanyakan, bagaimana kesepakatan dan kerelaan keluarga untuk ini semua. Dan
adalah keputusan yang sangat sulit yang pernah ada dalam hidup kami semua, aku,
ibu, Mas Dono, dan Mbak Dini.... keputusan yang
sulit, mengenai hidup seorang yang sangat kami cintai. Dan kami, aku pun
melihat ketegaran dari semuanya, terlebih ibu, yang
semakin tidak tahan melihat bapak tersiksa dengan
semua peralatan ini, dan pun sama dengan kami.
Hingga kami memutuskan untuk dihentikan saja. Meski
kami mengatakannya dengan suara yang tertahan, tenggorokan yang tercekat, menahan air mata. Mbak Dini, saat
itu selalu masih merasa ragu dan merasa bersalah, ketakutan karena dia yang
tanda tangan tanda persetujuan penghentian ini semua. Ini semua adalah
kesepakatan. Ibu menyalami dokter dan seluruh petugas di ruang ICCU itu,
berterima kasih atas semua yang telah diusahakan pihak Rumah Sakit dan meminta
maaf jika kami dan bapak ada salah. Tak jarang aku mendengar para
perawat itu bilang “yang sabar ya...” seolah tahu
apa yang akan terjadi pada bapak kami. Dan sejak saat
itu, obat perangsang jantungnya dihentikan.
Jika semua
pasien yang lain di batasi waktu dan jumlah pengunjungnya, tidak dengan bapak, kami dibolehkan masuk ruang sesering mungkin,
bergantian, karena kami semua ingin ada di samping bapak, mendoakannya. Dan pihak Rumah Sakit seolah tahu, kami semua sedang menunggu waktu. Menunggu waktu
yang tepat yang dipilih Allah SWT untuk mengambil bapak kembali di sisi-Nya. Malam semakin larut, Ruang
tunggu ICCU pun semakin sepi, hanya beberapa kerabat pasien, dan kami, aku, ibu, Mbak Dini, Mas Dono, Galih, Lek Tejo, Oik, Lek Andri, Lek Sukar, Topan, dan Gatut (paman dan sepupu-sepupu
kami). Kondisi ibu sudah tampak lelah sekali, didampingi Lek Tejo yang
tak henti-hentinya menenangkan ibu, hingga
ibu terlelap. Mas Dono, Galih, Oik, dan
Mbak Dini terus berada di samping bapak tak henti-henti membaca surat yasin menyebut asma
Allah. Sementara kakiku masih gemetaran tak berhenti setelah penjelasan yang
kedua dari perawat mengenai kondisi bapak. Dalam ruang ICCU aku
terjatuh, tapi bukan pingsan, hanya kakiku bergetar sangat hebat hingga tak
kuasa menopang tubuhku, hingga aku terpaksa
dibopong sesaat ke tempat tidur pasien. Berempat, Mas Dono,
Galih, Mbak Dini, dan Oik menemani bapak di dalam kamar ICCU,
berdoa dan terus berdoa, selebihnya kami ada di ruang tunggu menunggu keajaiban
dari Allah SWT, meski merelakan bahwa keajaiban itu pasti adalah yang terbaik
yang diberikan Allah SWT kepada
hambanya, kami semua dan bapak. Perkiraan obat perangsang jantung yang
diberikan terakhir kali tadi adalah 5 jam, efek obat itu kami perkirakan akan
habis pada pukul 02.00 dini hari, namun
ternyata efek obat itu lebih cepat selesainya, tepat pukul 23.15 tanggal 15 Mei
2011 Bapak H.M. Satuman menghembuskan nafasnya yang terakhir. Detak jantung bapak berhenti total. Hening langsung menyelimuti Rumah
Sakit Husada Utama malam itu. Berempat, mereka
yang tak berhenti mengaji beranjak keluar ruangan dengan ketabahan yang luar
biasa, sambil berkata “Sudah. Bapak sudah berangkat”. Kami yang di ruang tunggu
pun langsung beranjak, tanpa banyak kata. Sepi. Ibu yang terlelap pun dengan
masih menyimpan keletihan membuka matanya “uwis?[5] Innalillahiwainnailaiji...” tanyanya, dan kami
mengangguk “yo wis, nang mbendul, aku
numpak panther ae, sopo sing neng ambulance?[6]”
lanjutnya, kami berkoordinasi sebentar, dan memutuskan aku bertiga dengan Mas
Dono dan Mbak Dini yang ada di mobil ambulance bersama jenazah bapak.
****
Setibanya
jenazah di kediamannya di Bendul Merisi Surabaya, seluruh rumah dalam kondisi
siap. Dipan kayu jenazah dan bunga-bunga sudah ada, jenazah segera di baringkan
di dipannya. Keluarga besar bergantian menemaninya
sambil tak berhenti mengaji, selebihnya merangkai untuk bunga kematian bapak, sambil berkoordinasi tentang masakan untuk para
penggali kubur dan pentakjiah yang datang dari jauh. Ibu sangat tegar, Mbak
Dini dan Mas Dono juga sudah tenang, kami berbaring sebentar sebelum nanti
pukul 08.00 pagi memandikan jenazah bapak.
Tidak putus yang mengaji di samping jenazah bapak, adik-adik bapak pun terjaga terus untuk menjaga bapak.
Hingga matahari meninggi.
Suasana
sudah riuh pagi itu, semua sibuk menyiapkan segala hal untuk memandikan jenazah
bapak. Dan suamiku, anak laki-lakinya ada memegang kepala dan
punggungnya, Om Jono, adik iparnya ada
memegang sebagian punggung dan pantatnya, sementara di kakinya ada Habib, keponakannya. Sementara
para wanita, berjajar satu persatu menyirami sekujur tubuh jenazah bapak. Dimulai dari ibu,
Mbak Dini, dan adik-adik perempuannya yang meskipun saat itu ada yang belum
kuat menghadapi kenyataan ini sehingga pingsan, serta aku pun turut di dalamnya. Hanya ‘masha Allah’ yang bisa aku bilang, tubuh bapak sangat bersih
sekali, terlihat gemuk dan sawo matang warna kulitnya, bersih, tidak tampak
sedikit pun luka seperti pada masa hidupnya yang 15 tahun bergelut dengan
penyakit gula dimana meninggalkan bekas-bekas luka pada kakinya. Namun saat dimandikan itu
hanya bintik-bintik kecil yang tampak, itupun sedikit. Bapak yang sudah berumur
60 tahun termasuk sudah sepuh dan pada
saat sakit, gigi palsu sudah dikeluarkan semua, namun saat itu sama sekali
tidak tampak ‘kempot’[7]
justru ‘tembem’[8]
dan tersenyum. Ketampanan bapak di masa mudanya
tampak kembali. Aura yang bercahaya melengkapi cahaya matahari pagi itu. Kuning
terang keemasan.
Kami
menyolati jenazah bapak setelah bapak
di kafani di rumah bendul merisi sebelum diberangkatkan ke makam, penjtakjiah
pun juga sudah berbondong-bondong datang untuk memberi semangat mengucapkan bela sungkawa dan berbagi duka. Banyak
sekali pentakjiah yang datang, seluruh keluarga yang ada di Surabaya, para
tetangga, rekan kerja Mbak Dini, keluarga Bojonegoro, keluarga Malang, para
tetangga di leces probolinggo, hingga mantan rekan kerja bapak sendiri. Semua datang memberi semangat dan
ketegaran bagi keluarga yang ditinggalkan. Dan tidak sedikit pentakjiah dan
keluarga yang mengantar bapak hingga ke
peristirahatannya yang terakhir. Semua berjalan begitu cepat, secepat kethel
yang berisi jenazah bapak, semua berbondong
mau mengangkat kethel itu, tak ketinggalan anak lelakinya, Dono. Kethel itu berhenti sejenak di sebuah masjid yang
besar yang dapat menampung seluruh pentakjiah
untuk dapat menyolati jenazah, ada puluhan pentakjiah pagi itu yang
menyolati dan mengantar bapak. Kethel itu seolah terbang, ringan sekali, sampai
kami berlari mengikutinya. Hingga di liang peristirahatan bapak. Dan mashaallah
gerimis semalam tidak menyebabkan liang menjadi basah/sangat berair, padahal
ada yang sempat menanyakan apakah jenazah di peti atau tidak karena
dikhawatirkan tanah basah/sangat berair setelah gerimis itu, Mas Dono meyakinkan bahwa
tidak perlu peti, dan alhamdulillah tanah pekuburan pagi itu tidak basah.
Tiba saat
kami utuk melihat jasad jenazah di dunia untuk yang terakhir kali sebelum jasad
itu terkubur oleh tanah dan bertemankan sekawanan semut tanah. Kami semua telah
ikhlas dan merelakan kepergiannya, meski masih ada air mata yang tertahan. Tiba saatnya jenazah
diturunkan keliang lahat, ada Mas Dono, anak laki-lakinya, lek sukar dan lek
wewo adik laki-lakinya menggendong jenazah hingga di perbaringannya yang
terakhir. Aku sangat bangga pada suamiku, dan aku yakin bapak juga sangat bangga dan bahagia. Kami semua ada di
saat-saat terakhirnya, mendoakannya, memandikannya, menyolatinya, hingga
membaringkan di perbaringannya yang terakhir. Bunga-bunga kematian kami
sebarkan di seluruh tanah kuburnya hingga penuh, keharuman semerbak menyelimuti
duka kami yang tertinggal di Pekuburan Bendul Merisi Surabaya. Doa-doa terus kami panjatkan
tak henti hingga kini.
good i love it i sad cant you write again with another tames
ReplyDelete