Bismillâhirrohmânirrohîm.
Alhamdulillâhirobbil `Âlamîn.
Allohumma sholli `alâ Sayyidinâ Muhammadin an-Nabiyyil Ummiyyi, Imâmil Hudâ wa âlihi wa shohbihi wasallim. Ammâ ba’du.
Dalam versi Syarah Fathul Bari, Kitab al-Adab dimulai dengan Bismillâhirrohmânirrohîm. Akan tetapi menurut sebagian yang lain bismillah itu hilang, seperti disebutkan dalam Umdartul Qari. Setelah itu, dilanjutkan dengan “Bâbul birri wa ash-shillah wa qoulillâh ta`âlâ wa washshoinâl insâna biwâlidaihi husnân”, bab tentang berbuat baik kepada orang tua dan menyambung silaturahmi.
Versi Fathul Bari yang dimulai dengan Bismillâhirrohmânirrohîm, lalu “Bâbul birr…” juga dilakukan dalam Syarah Imam Badruddin Aini, Umdatul Qori. Dalam Syarah yang lain, dalam Minhatul Bari, Imam Zakariya al-Anshori, langsung masuk dengan kalimat “Babu Qaulillâhi ta`alâ…” (IX: 153), tidak dimulai dengan kata “Bâbul birri wa ash-shilah….” Seperti dalam Syarah Minhatul Bari itu, dilakukan juga dalam syarah-syarah Imam al-Kirmani, Imam Ibnu Mulaqqan; Imam Jaluddin as-Suyuthi, dan Imam Ibnu Bathol.
Memulai dengan Bismillâhirrohmânirrohîm, adalah permohonan untuk memohon pertolongan Alloh, dengan memilih huruf ba’ sebagai lil isti`ânah, ba’ yang berfungsi untuk meminta bantuan. Orang-orang sholih selalu memulai perbuatannya dengan Bismillâhirrohmânirrohîm, baik dalam menulis kitab, memulai langkah, gerak, dan ucapannya, agar memperoleh ridho dan pertolongan-Nya. Bahkan kalimat Bismillâhirrohmânirrohîm, sering dijadikan wirid tersendiri, oleh sebagian orang sholih. Salah satu yang membahas mewiridkan kalimat Bismillâhirrohmânirrohîm, adalah Imam ad-Dairabi dalam Kitab Fathul Muluk, atau yang biasa disebut Mujarrobat Dairabi, di pembahasan pertama.
Hadits-hadits tentang Bismillâhirrohmânirrohîm cukup banyak, diaantaranya setiap perbuatan yang tidak diawali dengan Bismiliah, adalah aqtha’, terputus keberkahannya. Imam as-Suyuthi menyebutkan beberapa riwayat, dimana ketika Bismillâhirrohmânirrohîm ini diturunkan Alloh, gunung-gunung bergetar karena kemuliannya (Durrul Mantsur, I: 44-dst). Sahabat Ibnu Mas`ud mengabarkan keutamaan kalimat mulia ini, dengan mengatakan: “Barang siapa yang ingin memperoleh keselamatan dari malaikat Zabaniyah yang 19, maka bacalah Bismillâhirrohmânirrohîm. Sungguh Alloh menjadikan baginya setiap huruf penyelamat dari setiap mereka” (Durrul Mantsur, I: 44). Kanjeng Nabi Muhammad bersabda: “Barang siapa membaca Bismillâhirrohmânirrohîm, maka Alloh menulis dalam setiap hurufnya 4000 kebaikan, menghapus 4000 keburukan, dan mengangkatnya 4000 derajat” (dari Ibnu Mas`ud, diriwayatkan Imam ad-Dailami, hadits No. 5573).
Ada banyak cara mewiridkan Bismillâhirrohmânirrohîm sebagai amalan harian. Salah satu cara yang diberikan Imam Dairabi dalam Mujarobat Dairabi adalah, membacanya dalam jumlah 12.000 x, setiap selesai 1000 x diselingi sholat 2 rekaat dan membaca sholawat kepada Kanjeng Nabi, lalu berdoa kepada Alloh; dan diulang dengan cara yang sama sampai mencapai 12.000 x, maka hajat-hajatnya akan segera terkabut dengan izin Alloh.
Seorang guru memberi ijazah kepada penulis, untuk mengamalkan kalimat Bismillâhirrohmânirrohîm dengan dibaca dalam jumlah 125 x, setelah itu membaca surat al-Baqarah, dan berdoa kepada Alloh, untuk segala keperluan dengan memohon bantuan kepada Alloh.
Orang-orang yang merasa membutuhkan Alloh dalam dirinya, merasa kecil di hadapan keperkasaan Alloh, dan merasa bodoh dalam lautan ilmu Alloh yang tak terbatas itu, akan selalu merasa penting untuk memohon bantuan kepada Alloh. Sampai Kitab al-Adab inipun dimulai juga dengan Bismillâhirrohmânirrohîm.
QS. Al-Ankabut [29]: 8-9 dan QS. Luqman [31]: 14
Kalimat untuk memulai Kitab al-Adab ini setelah Bismillahirrahmanirrohim di atas, adalah ayat yang bunyinya dipotong. Lengkapnya, kalau merujuk pada surtat al-Ankabut adalah:
Teks Arab surat al-Ankabut [29]: 8-9.
Artinya: “Dan Kami wajibkan manusia berbuat baik kepada kedua orang tua, dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku dengan sesuatu yang yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepadamulah kamu kembali, lalu kami kabarkan apa yang telah kamu kerjakan. Dan orang-orang yang beriman dan berbuat amal shaleh sungguh kami masukkan ke dalam golongan sholihin” (QS. Al-Ankabut [29]: 8-9).
Ayat yang memiliki kandungan sama ada dalam surat Luqman, bunyinya demikian:
Teks surat Luqman [31]: 14
Artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Luqman [31]: 14).
Dalam surat al-Ankabut ayat 8, berhenti pada kewajiban berbuat baik kepada orang tua, dan apabila orang tua menyuruh berbuat perbuatan syirik, tidak usah ditaati. Dalam surat Luqman menambah penjelasan: keharusan tetap bersikap “pergaulilah keduanya di dunia dengan baik” (wa shôhib humâ fid dunyâ ma’rûfâ) meskipun ia sudah tidak sejalan dalam soal keyakinan keimanan.
Ayat dalam surat al-Ankabut itu, diturunkan berkaitan dengan kasus sahabat Sa`ad. Imam as-Suyuthi mengetengahkan riwayat sahabat Sa`ad yang berkata bahwa ibunya berkata: “Aku tidak akan makan makanan dan tidak minum minuman sampai engkau mengkufuri Muhammad…, sampai turunlah ayat ini (Tafsir Durrul Manshur, XI: 531). Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari menyebutkan bahwa ibunya itu bernama Hammah binti Sufyan, bin Umayyah. Kata Ibnu Hajar: “Saya tidak menemukan satu riwayat pun bahwa dia telah masuk Islam.”
Ayat ini menjelaskan: pertama, kewajiban berbuat baik secara global kepada kedua orang tua, bahkan ketika mereka tidak beriman kepada agama Nabi Muhammad; dan kedua, kewajiban untuk tidak taat apabila orang tua menyuruh berbuat, seperti dalam kasus Saad, keluar dari agama Kanjeng Nabi Muhammad atau sebagaimana bunyi redaksi ayat, berbuat syirik. Akan tetapi ketidaksepahaman ini, tidak boleh menjadikan hubungan baik si anak kepada orang tua putus dan renggang, karenanya anak harus tetap mempergaulinya dengan cara yang baik di dunia ini.
Kewajiban manusia untuk berbuat baik kepada orang tuanya, dalam ayat di atas menggunakan kata al-insan, bukan al-basyar, bukan an-nas. Al-Insan lerbih merujuk pada penggunaan Al-Qur’an untuk manusia, yang dihubungkan dengan karakter sebagai makhluk dengan kesadaran spiritual, yang dibedakan dengan an-nas, sebagai makhluk sosial; dan al-basyar sebagai makhluk biologis-jasmani. Ketika memberikan kesadaran tentang berbuat baik kepada orang tua dengan kata al-insan, ayat itu ingin mendorong aspek spiritual dari manusia. Aspek spiritual ini mendorong manusia menemukan kesadaran betapa berbuat baik kepada orang tua itu universal dan diperintahkan Alloh, bahkan ketika tidak sefaham dan orang tua berkata tidak baik kepada sang anak, seperti dalam kasus sahabat Sa`ad. Kesadaran ini, hanya mungkin ditumbuhkan dengan menyingkirkan aspek kemarahan, dendam, dan sejenisnya yang dipengaruhi nafsu muhlikat, yang mencelakakan, manakala orang tua berbuat sesuatu yang tidak disukai anak.
Perintah Al-Qur’an itu, diberi alasan faktual oleh Alloh, salah satunya: karena orang tua telah mengandungnya dalam keadaan yang payah dan harus merawatnya sampai menyampihnya dalam dua tahun. Orang yang berbudi baik akan memiliki kesadaran, untuk berterimakasih dan menyadari keberadaan asalnya, bahwa tidak mungkin keberadannya ada tanpa wasilah dari orang tua. Kesadaran ini, akhirnya dapat disebut sebagai bagian dari ungkapan dan kewajiban bersyukur bagi manusia kepada orang tua, dengan cara berbuat baik kepadanya.
Dalam surat Luqman itu ada kata anisykurlî wa liwaidaik, yang tidak terdapat dalam surat al-Ankabut. Bersyukur dulu kepada Alloh lalu kepada orang tua. Rahasia soal ini diungkapkan Ibnu Arabi dalam Futuhatul Makkiyah, ketika menjelaskan ayat anisykurlî wa liwaidaik, begini:
“Dia mendahulukan diri-Nya untuk memberitahukan kepadamu bahwa Dialah Maha Sebab yang paling awal dan pertama. Baru kemudian Dia memberi penyandaran dan berfirman “dan kepada kedua orang tuamu,” karena kedua orang tua itu, Alloh mewujudkanmu pada dirinya (indaha), dan bukan melaluinya (biha), dengan tujuan supaya engkau menyandarkan sebab-sebab itu kepada-Nya. Mereka (orang tua kita) lebih mulia darimu hanya dari sudut prioritas wujud mereka, bukan karena (mereka) memberikan bekasan, karena pada hakekatnya mereka tidak bisa memberi bekas apa pun. Tetapi mereka itu hanya menjadi sebab-sebab untuk terjadinya bekasan-bekasan tersebut. Berdasarkan hal inilah maka mereka menjadi layak lebih mulia darimu dan engkau dituntut untuk berterimakasih kepada-Nya…”
Berterimakasih dan berbuat baik kepada orang tua, menurut bahasa Ibnu Arabi termasuk maqam universal, yaitu fenomena semua yang terlahir dari setiap pemberi bekasan dan yang diberi bekasan di semesta ini, dijadikan Alloh memeliki kesadaran berterimakasih kepada yang melahirkan. Oleh karena itu, penting kita sadari bawah kewajiban bersyukur itu adalah juga maqam universal, bukan hanya diperuntukkan semata bagi manusia, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Fatihah, di mana segala pujian semesta yang layak itu hanya milik Alloh Rabbbil Alamin.
Pujian itu dilakukan malaikat dan makhluk-makhluk di semesta ini; dan semua makhluk itu berbicara menurut bahasa mereka sendiri, dan karenanya mereka memuji dan bertashbih kepadanya, termasuk manusia dan jin. Hanya saja, di kalangan manusia dan jin ada yang taat ada yang ingkar; ada yang durhaka kepada orang tua dan ada yang berbuat baik kepada mereka, meskipun Alloh telah mewajibkan untuk berbuat baik kepada orang tua. Wallôhul Musta`ân.
Arjû al-Musyaffa’, ya Rabbi sholli `ala Sayyidinâ Muhammad. Walhamdulillâhi Robbil `Âlamîn wal Musta`ân.
NUR KHALIK RIDWAN, pengasuh majelis shalawat dan pengajian
Comments
Post a Comment