Anak memiliki kedudukan sosial yang penting dalam sebuah struktur keluarga. Tidak heran jika tekanan sosial menjadi sangat kuat ketika sepasang suami istri belum memiliki anak dalam beberapa tahun usia perkawinannya. Dan itulah yang terjadi pada kami selama bertahun-tahun. Kemungkinan juga pada beberapa pasangan suami istri lainnya.
"Kok belum isi juga?"
"Kenapa sih ditunda-tunda?"
"Kapan nih hamilnya?"
"Kurang apa siih, mbok segera punya anak"
"Untuk apa uangnya kalau gak punya anak?"
"Sudah usaha kemana aja?"
"Anaknya si anu sudah SMP, masa kamu belum hamil juga?"
"Apa gak kesepian sih kalo gak punya anak?"
"Mbok coba adopsi anak"
Itu sebagian dari komentar atau pertanyaan yang sering menghampiri saya saat bertemu dengan teman atau saudara. Awalnya sih biasa aja ditanya-tanya begitu... Saya anggap sebagai bentuk perhatian mereka. Namun ada suatu saat di mana saya merasa agak terintimidasi dengan pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Saya merasa kurang nyaman ditanya-tanya sesuatu yang saya anggap menjadi wilayah privat saya. Bahkan ada juga lo yang sok jadi jaksa dan melancarkan dakwaan pada saya atas apa yang saya alami... Sebel gak siiih.... Meskipun sebel, saya tetap pasang muka manis doong... Biar relasi saya tidak terganggu... Tapii, menyimpan rasa sebel itu gak enak kaaan?
Kira-kira 4 bulan setelah menikah saya langsung melanjutkan kuliah profesi psikolog selama 3 semester, yang mengharuskan saya untuk kuliah 5 hari dalam seminggu, pagi sampai sore serta dilanjutkan praktik kerja di luar kota. Praktik kerja di Bandung & Solo menyebabkan saya harus berpisah dengan suami saya, Mas Mohammad Nasikh Ridwan, sehingga menjadi sebuah alasan bagi saya jika tidak kunjung memiliki anak... Setidaknya dalam kurun waktu tersebut saya memiliki alasan eksternal untuk dijadikan kambing hitam, dan menjadi pemakluman bagi orang-orang ... hihi.... Selepas lulus dari program profesi kembali saya dihadapkan pada kenyataan bahwa saya harus menjawab pertanyaan yang sama, kapan hamil? dll... yaah, kembali deh mengalami hal yang membuat saya merasa gak nyaman...
Untung hal tersebut tidak berlangsung lama... Saya mulai bisa menguasai diri dan terbiasa dengan mereka yang mempertanyakan keadaan saya.. Bahkan saya sangat memahami mengapa mereka bertanya... Namanya juga psikolog, hahahah... Saya bisa santai dan cuek mau ditanya apa saja perihal belum hadirnya momongan... Saya tidak bisa melarang orang untuk bertanya. Yang bisa saya lakukan adalah mengatur diri saya sendiri. Ya, saya mulai bisa mengelola emosi agar mental saya tetap sehat, hidup saya tetap produktif dan bermanfaat...
Di antara yang prihatin dengan kondisi saya, ada juga sih teman yang iri... hihi... Salah satu yang membuat iri adalah saya bisa pergi-pergi keluar kota atau kemanapun tanpa banyak pertimbangan... Kelak ketika akhirnya saya hamil dan punya bayi, teman ini bahagia luar biasa karena akhirnya saya harus mengalami hal yang selama ini membuatnya iri pada saya... hahaha, ada-ada saja... ditag gak yaa, orangnyaa...
Meskipun berbagai usaha sudah kami lakukan semampu kami diiringi doa yang tidak terputus, tanda-tanda untuk mendapatkan momongan tidak juga tampak... Bulan berganti bulan, tahun berganti tahun... Sampai tidak ada lagi yang bertanya-tanya... Capek juga kali bertanya hal yang sama dan tidak ada hasilnya... Kalaupun ada, itu hanya beberapa orang... Saya merasa hidup saya normal-normal saja meskipun orang lain memandang kehidupan saya "kurang normal". Saya punya banyak aktifitas, terutama kegiatan akademik di kampus dan kegiatan sosial melalui organisasi perempuan di mana saya aktif di dalamnya...
Apakah saya putus asa? Saya tidak tahu apakah saya putus asa atau tidak... Namun saya percaya bahwa Tuhan akan mengabulkan doa saya dengan memberikan yang terbaik bagi saya.... Barangkali mendedikasikan waktu, tenaga, dan pikiran saya bagi anak2 orang lain itu yang terbaik bagi saya... Mungkin saja mewakafkan energi saya untuk kegiatan sosial itulah yang terbaik bagi saya... Saya percaya bahwa ketika usaha sudah dilakukan, doa-doa sudah dilantunkan... maka percayakan saja semuanya kepada yang Maha Kuasa...
mBantul, 4 Oktober 2017
SITI ROHMAH NURHAYATI, dosen fakultas ilmu pendidikan, universitas negeri yogyakarta
Comments
Post a Comment