-Nomor yang anda hubungi tidak menjawab, silahkan
tinggalkan pesan suara- Gemetar kutekan tombol merah dan secepatnya
kutekan tombol hijau. Nada panggil menyalak nyalak. Senyap. Kuulangi lagi.
Senyap. Dipanggilan kesekian -tit..tit..tit..- telfon di rijek. Sejurus
kemudian berganti androidku yang bergetar getar. SMS kubuka
“
Jangan nelfon! Mas lagi sama istri. Nanti mas kabari” Aku tersengat. Panas.
Lalu terlempar kedalam jurang yang sangat dalam. Sampai didasarnya tulangku
berkeping keping. Aku merasa hilang.
Kupegang tangan Putra anakku . Kubisikkan
padanya
“ Ayah sebentar lagi pulang”. Putra tak perlu
tahu. Ayahnya sedang bersama istrinya dan itu bukan ibunya. Terlalu rumit untuk
menjelaskan pada bayi 9 bulan ini. Thermometer berkedip kedip. 38,5 derajat Celcius. Putra nampak mengaduh. Rupanya
paracetamol, belum menunjukkan
kesaktiannya. Pun kompres air hangat, nampaknya menyerah pada demam. Aku
pun mengaduh. Tapi di dalam hati.
“
Tuhan, pindahkan lah rasa sakit anakku, kepadaku” Doaku sampai kelangit.
Senyap. Siang ini begitu senyap, pengap, bersama kekuatanku yang lesap satu
persatu.
Dan
ini lah aku, Mira Mutia. Aku istri kedua. Dan Putra anakku. Anak Zeinnudin yang tadi mengirim kabar bahwa ia
sedang bersama istrinya. Lantas aku ini? Orang memanggilku pelakor kalau mereka
tahu aku isteri kedua. Perebut Laki Orang. Mendengarnya saja aku sudah
merinding.. Apalagi bila ada yang mengarahkan telunjuknya padaku sambil berkata
“ Dasar Pelakor!”. Aku bisa pingsan. Sebab aku
bukan perebut. Bukan. Aku bisa jelaskan.
Rebut. Mengambil paksa. Siapa yang kuambil
dengan paksa . Tidak ada. Lelaki itu datang sendiri. Ketika kami bertemu
pandang di sebuah warung steak populer.
Dia menghampiri dan menyodorkan senyumnya yang hangat.
“
Ukhti sendirian? Boleh saya duduk disini? Soalnya kursi yang lain penuh” Penuh
sesak. Dan karena aku sendirian tentu saja kursi disampingku satu satunya yang
belum terisi.
“
Lain kali bawa mahram, tempat ramai begini gak aman untuk bidadari yang sendirian
seperti ukhti” Seketika aku merasa tubuhku terbias cahaya kunang kunang.
Zein
memesan makanannya di mejaku. Kami
makan. Tidak banyak bicara. Sesekali beradu pandang. Beradu senyum. Sebab aku
lebih banyak membenamkan diri ku ke meja. Zein membayar makanan kami tanpa
kuminta lalu memburuku ke tempat parkir.
“
Ukhti.. bisa minta nomer telfonnya, kebetulan saya lagi nyari guru les untuk
anak saya “ Aku tersenyum. Ternyata orang yang membayar tagihan makananku ini seorang
bapak. Bapak yang baik. Buktinya dia menyapa perempuan yang tak dikenal hanya
untuk kepentingan anaknya. Jadilah kusodorkan secarik kertas yang sudah
kutulisi nama dan nomer telfonku. Sebab tak ada yang perlu kuhawatirkan dari
orang asing yang kebapakan ini.
Belum sempat
aku melupakan wajahnya, kami sudah bertemu di kantorku. Tentu saja untuk
membicarakan teknis les anaknya yang sampai hari ini tidak pernah terlaksana.
Setelahnya pertemuan demi pertemuan digagasnya dengan menyuguhkan bunga, madu
dan senja. Semua yang serba indah dan manis.
Apa
yang kurebut dari orang yang bermalam malam menjagaku di rumah sakit ketika
tipes memenjarakanku dalam jarum infus, meneteskan air mata ketika tak satu
suappun makanan yang tidak kumuntahkan lalu aku terhuyung dan jatuh pingsan
ketika hendak berjalan kekamar mandi. Apa yang perlu kurebut dari orang yang
dengan matanya yang hangat, begitu sopan membayar semua tagihan listrik dan air
rumahku
“ Gunakan gajimu buat belanja barang barang
yang kamu suka, bersenang senanglah, mas suka liat kamu senang”. Apa yang perlu
kurebut dari orang yang berwajah kusut tak karuan bila dua hari saja tak menyentuh
pipiku dengan jemarinya
“ Mas kangen banget” Apa yang perlu
kuperebutkan dari lelaki yang sekali lagi meneteskan air mata ketika aku
mengangguk dan berkata di telinganya
“ Saya terima
lamarannya dan bersedia jadi istri mas yang kedua”. Aku tidak merebut apa apa dari orang yang datang sendiri dengan
cintanya yang bertabur bunga, berasa madu, dengan latar belakang senja.
Sebab
aku bukan pelakor. Maka aku menolak Zein
menceraikan istri pertamanya.
“
Suami mbak Salamah harus tetep menjadi suaminya mas.. saya gak mau merebutnya”
“
Tapi, kalau istri mas tahu, dia akan sakit hati”
“
Kalau begitu, jangan memberitahunya. Aku gak mau menyakitinya mas”
Dan banyak
hal yang sudah kubayangkan bisa terjadi dengan sederhana, namun kenyataannya
terlalu rumit hatiku menerima. Karena aku isteri yang disembunyikan maka
kepalaku dibenamkan didasar lautan. Megap megap, mengambil nafas sebentar ke
permukaan, lalu dibenamkan kembali .
“ Takut ada
yang lihat” Seperti tokoh hantu dalam film horor. Dinanti nanti kemunculannya,
dan begitu hadir, penonton menutup mata. Sebab ngeri. Maka segala tentangku adalah
jerawat yang mesti disembunyikan dan tidak pernah diinginkan adanya.
Semua
itu sudah kubayangkan sebelumnya. Aku siap lahir batin. Dan ternyata aku hanya
siap membayangkan saja. Bukan menjalani. Pada gilirannya, aku kerap terhuyung
huyung menangis, sekaligus terhuyung huyung berpura pura bahagia. Sekarang aku
tahu, aku cemburu. Sebab aku bisa
menyaksikan manis madunya pernikahan Zein dengan Istrinya, sementara aku juga
istrinya. Hanya saja siapa yang tahu aku istrinya? Aku sendiri!
“Mas,
kemarin jalan jalan ke taman anggrek ya sama mbak Salamah? Aku juga mau
kesana”. Rengekku suatu hari
“
Pergi aja dengan teman temanmu, gak mungkin mas yang nemani kan? Kalau ada yang
curiga gimana?” Aku membeku
“
Kalau gitu, pergi ketempat yang jauh aja mas..yang gak banyak orang yang kenal”
“
Ya nantilah.. tapi sulit teknisnya. Mas khwatir, istri curiga” Dan aku semakin
membeku. Ternyata, setelah menikah, bunga menjadi layu, madu berubah pahit dan
senja sedemikian muram. Zein berubah. Dari pacar menjadi suami. Dari heroik
menjadi alakadarnya. Dari romantis menjadi realistis. Bagaimana bisa begitu?
Barangkali seorang pacar melakukan semuanya atas dasar kesenangan. Sementara
seorang suami melakukan semuanya atas dasar kewajiban. Dan secara alamiah,
makin bertumpuk kewajiban, makin bertambah beban , maka sudah pasti menyusutlah
pesona.
Lamunanku
buyar. Putra terbatuk. Sejurus kemudian, Matanya terbelalak. Badannya kaku
bergetar hebat. Suara gemeretak giginya memenuhi udara. Putra menggerung . Kesakitan. Namun aku masih bisa mendengar bunyi
jarum jatuh kelantai. Sebab aku takut. Limbung dan bingung. Putra Kejang. Aku
tegang. Sejurus kemudian matanya tertutup. Putra terkulai.
“
Mas Zein tolong...” Suara ku menembus langit. Tapi tak ada yang mendengar.
Aroma kematian meruap samar.
Ditulis
dibulan anniversarry kawinan
Comments
Post a Comment